Krisis Etika Media Sosial Dan Relevansi Ilmu Akhlak Dalam Filsafat Islam

Media Sosial

Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan media sosial yang semakin pesat membawa berbagai dampak etis seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, manipulasi digital, dan hilangnya adab komunikasi publik. Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan digital bukan semata isu teknologi, tetapi juga masalah moral yang memerlukan pendekatan keilmuan. Dalam klarifikasi ilmu pengetahuan islam, persoalan etika semacam ini berkaitan erat dengan ilmu akhlak, sebuah cabang dari ilmu aqliyah dalam tradisi filsafat islam yang berfokus pada pengaturan perilaku manusia menuju kebaikan.

Baca juga: Peran Berpikir Kritis dalam Menghadapi Informasi di Media Sosial

Selain masalah hoaks, deepfake, dan ujaran kebencian, krisis moral didunia digital juga terlihat dari budaya viral yang mengutamakan sensasi dibandingkan manfaat. Banyak konten yang dibuat hanya untuk mencari perhatian dan popularitas, tanpa mempertimbangkan nilai kebenaran atau dampaknya bagi orang lain. Hal ini sejalan dengan berbagai penelitian tentang etika digital yang menemukan bahwa algoritma media sosial memang lebih sering menaikkan konten yang memicu emosi negative seperti marah atau provokatif karena jenis konten seperti itu lebih cepat menarik perhatian. Dalam pandangan ilmu akhlak, kondisi ini menunjukkan kuatnya dorongan negative (nafs amarah) dalam diri pengguna, padahal tujuan akhlak adalah membentuk kepribadian yang tenang, terarah, dan selalu memilih kebaikan (nafs muthmainnah).

Fenomena ini tidak berdiri sendiri, karena data terbaru juga menyatakan bahwa perkembangan media sosial dan teknologi AI pada 2024-2025 menunjukkan pola krisis etika yang semakin kompleks. Data Mafindo 2024-2025 mencatat lonjakan kasus hoaks dan deepfake, menandakan bahwa teknologi digital kini menjadi alat manipulasi informasi yang sulit dikendalikan. Fenomena ini diperkuat oleh laporan internasional, misalnya investigasi The Guardian (2025) tentang deepfake dokter yang digunakan untuk mempromosikan produk Kesehatan palsu serta maraknya konten anti-imigran dan AI generated pornografi yang meraih miliaran tayangan. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa persoalan etika digital bukan sekesar isu teknis, tetapi masalah moral yang lebih mendalam.

Analisis akademik memperkuat temuan tersebut. Jurnal dari Abdira (2024-2025) menekankan bahwa pengguna sering gagal menerapkan prinsip moral saat berinteraksi di ruang digital, sehingga memicu sikap impulsive, misinformasi, dan hilangnya adab komunikasi. Sementara itu, penelitian dalam International Journal of Online Safety (2025) menunjukkan bahwa remaja Indonesia adalah kelompok paling rentan terhadap konten manipulative karena rendahnya literasi digital dan ketidakmampuan membedakan konten asli dan hasil AI.

Jika temuan berita menggambarkan krisis nyata dilapangan, jurnal-jurnal filsafat justru menghadirkan kerangka penyelesaian yang lebih konseptual. Tradisi keilmuan islam, melalui ilmu akhlak sebagai bagian dari ilmu aqliyah, mengajarkan bahwa perilaku manusia hanya dapat diarahkan menuju kebaikan melalui pembinaan moral, bukan semata melalui regulasi. Konsep-konsep seperti Amanah (tanggung jawab), sidq (kejujuran), iffah (menjaga kehormatan), dan tabayyun (verifikasi informasi) sangat relevan dalam menghadapi disinformasi digital. Artikel-artikel akademik lain menegaskan bahwa etika islam, bila diterapkan dalam runag digital, mampu menjadi Kompas moral yang mengimbangi kebebasan berekspresi dengan kewajiban sosial untuk tidak menyakiti orang lain.

Di Indonesia, Antara News (2025) melaporkan meningkatnya penipuan digital menggunakan suara dan wajah palsu yang dibuat dengan AI, diman Masyarakat kesulitan membadakan percakapan asli dan imitasi digital. Kasus ini memperjelas urgensi Pendidikan moral dan literasi digital sebagai bagian dari pembinaan akhlak. Sebagaimana dipaparkan dalam jurnal Abdira (2024-2025), lemahnya internalisasi nilai sidq (kejujuran) dan Amanah (tanggung jawab) pada pengguna membuat ruang digital menjad tempat yang rawan manipulasi. Ketika nilai kahlak tidak menjadi landasan berperilaku, teknologi apapun dapat menjadi sarana keburukan. Dengan kata lain, penipuan digital tidak hanya karena adanya teknologi canggih, tetapi karena lemahnya akhlak dalam diri individu.

Baca juga: Aksiologi dan Krisis Lingkungan: Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Kaidah Ilmu Lingkungan dalam Menghadapi Banjir dan Kerusakan Ekosistem Indonesia

Keseimbangan antara teknologi dan nilai moral juga didukung oleh penelitian terbaru seperti studi forensic digital (arXiv 2025) yang mengembangkan sistem deteksi multimodal untuk mengidentifikasi deepfake dan manipulasi konten. Teknologi dapat membantu, tetapi jurnal-jurnal etika komunikasi islam menegaskan bahwa alat deteksi hanya efektif jika diimbangi karakter moral penggunanya. Oleh sebab itu, Solusi ideal haru smencakup tiga ranah yaitu regulasi dan kebijakan platform, pengembangan teknologi verifikasi dan pembinaan etika berbasis nilai akhlak dalam Pendidikan dan keluarga.

Jika kita menyatukan fakta-fakta terbaru dari berbagai berita dengan penjelasan ilmiah dalam jurnal, kita bisa melihat bahwa masalah etika di dunia digital hanya bisa diselesaikan dengan cara menyeluruh yakni dengan menggabungkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai moral. Dengan menggabungkan Solusi dari penelitian seperti pembiasaan nilai akhlak, Pendidikan moral, dan kebiasaan tabayyun dengan Langkah praktis yang idsarankan dalam berita seperti meningkatkan literasi digital, memakai teknologi pendeteksi deepfake, dan memperketat aturan media sosial. Maka kita akan mendapatkan cara yang lebih lengkap dan efektif untuk mengatasi masalah etika di dunia digital.

Penulis: Trianisa Zaitur Rahma, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *