Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam dan Relevansinya di Era Modern

klasifikasi ilmu pengetahuan Islam

Milenianews.com, Mata Akademisi – Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam memiliki struktur dan klasifikasi yang khas, yang telah dikembangkan oleh para ulama sejak masa klasik. Klasifikasi ini tidak hanya mencakup ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu duniawi yang berkaitan dengan kehidupan sosial, politik, dan teknologi.

Di era modern, ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung sangat pesat, relevansi klasifikasi ilmu pengetahuan Islam menjadi kajian penting. Warisan intelektual ini perlu dipahami kembali agar dapat diaplikasikan secara kontekstual tanpa kehilangan nilai etika dan spiritual yang menjadi fondasinya.

Integrasi Wahyu dan Akal dalam Klasifikasi Ilmu Islam

Klasifikasi ilmu pengetahuan Islam mengintegrasikan warisan pemikiran Yunani dengan nilai-nilai wahyu. Para ulama seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd membagi ilmu ke dalam kategori teoretis dan praktis yang saling melengkapi.

Pendekatan ini tetap relevan hingga kini karena mendorong harmoni antara ilmu agama (naqliyyah) dan ilmu rasional (aqliyyah). Dengan kerangka ini, umat Islam didorong untuk menghadapi tantangan teknologi modern tanpa melepaskan dimensi etika dan spiritual.

Pandangan Para Ulama Klasik tentang Ilmu

Al-Farabi dan Hirarki Keilmuan

Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu menjadi ilmu aqliyyah yang bersifat filosofis dan ilmu naqliyyah yang bersandar pada wahyu. Ilmu tersebut kemudian dibagi ke dalam cabang teoretis, praktis, dan doktrinal. Penilaian terhadap ilmu didasarkan pada kemuliaan objek kajian, kekuatan argumen, serta manfaat praktisnya bagi kehidupan manusia.

Ibn Sina: Hubungan Konsep dan Praktik

Ibn Sina membagi ilmu ke dalam ilmu teoretis, seperti ilmu alam, matematika, dan teologi, serta ilmu praktis, seperti akhlak, pengelolaan rumah tangga, tata kota, dan syariah. Pembagian ini menegaskan keterkaitan erat antara pemahaman konseptual dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat.

Ibn Rusyd: Rasionalitas dan Pengalaman Indrawi

Ibn Rusyd menekankan pembedaan antara objek indrawi yang melahirkan sains dan objek rasional yang melahirkan filsafat. Ilmu kemudian dibagi menjadi nadhari (teoretis) dan ‘amali (praktis), sehingga rasio dan pengalaman empiris ditempatkan secara proporsional.

Al-Ghazali dan Dimensi Spiritual Ilmu

Al-Ghazali memberikan penekanan kuat pada sumber pengetahuan, yakni wahyu, akal, dan kasyf. Wahyu ditempatkan sebagai pengetahuan ilahi yang melampaui jangkauan rasio. Ia membedakan ilmu syar’iyyah yang berbasis wahyu dan ilmu ‘aqliyyah yang berbasis akal.

Selain itu, Al-Ghazali mengembangkan konsep ‘ilm mu’amalah yang berkaitan dengan praktik lahiriah dan ‘ilm mukasyafah yang berkaitan dengan kedalaman ruhani. Dengan kerangka ini, pencarian ilmu tidak berhenti pada manfaat duniawi, tetapi diarahkan pada penyucian jiwa dan kedekatan dengan Allah, tanpa mengabaikan fungsi sosial ilmu.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Relevansi Klasifikasi Ilmu Islam di Era Modern

Klasifikasi ini memastikan bahwa kemajuan ilmu tidak hanya menghasilkan capaian material, tetapi juga membangun peradaban yang beradab di tengah dominasi sekularisme Barat. Perpaduan naqliyyah–aqliyyah memungkinkan umat Islam terlibat dalam inovasi global, seperti ekonomi sirkular berbasis syariah atau teknologi halal, sambil menjaga keseimbangan spiritual.

Dalam konteks modern, pembedaan antara ilmu teoretis dan praktis, serta antara naqli dan ‘aqli, membantu menempatkan sains dan teknologi dalam kerangka etika yang benar. Ilmu pengetahuan modern dapat dipahami sebagai bagian dari fardu kifayah yang wajib dikuasai sebagian umat demi kemaslahatan bersama.

Tantangan Kehidupan Digital dan Krisis Makna

Perubahan pola hubungan sosial akibat digitalisasi telah menggeser interaksi manusia dari tatap muka ke ruang virtual. Interaksi daring membuka peluang kolaborasi luas, tetapi juga berpotensi melemahkan kedekatan emosional dan kualitas komunikasi.

Selain kemajuan, kehidupan modern juga menghadirkan tekanan psikologis berupa stres, kecemasan, kesepian, dan kelelahan mental (burnout). Di tengah kelimpahan informasi, manusia modern sering mengalami kekosongan makna dan kehilangan arah hidup, karena waktu refleksi diri dan pendalaman nilai spiritual semakin berkurang.

Klasifikasi Ilmu Islam sebagai Solusi Holistik

Di sinilah klasifikasi ilmu pengetahuan Islam memainkan peran penting. Kerangka ini menawarkan solusi holistik terhadap krisis psikologis, degradasi etika digital, dan kekosongan spiritual. Integrasi wahyu dan akal sebagaimana dirumuskan Al-Ghazali memberikan pegangan moral yang menenangkan jiwa, sekaligus mendukung efisiensi dan produktivitas modern tanpa kehilangan dimensi ruhani.

Manfaat utamanya terletak pada pendidikan holistik yang mengintegrasikan sains dan teknologi dengan akhlak. Pendekatan ini membantu generasi muda menghadapi krisis identitas di media sosial serta menjaga keseimbangan antara produktivitas, refleksi diri, dan ibadah.

Secara keseluruhan, klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Islam memastikan bahwa kemajuan material tidak berujung pada kekosongan spiritual. Ilmu diposisikan sebagai jalan ibadah dan sarana membangun peradaban yang beretika. Umat Islam diharapkan mampu menghidupkan kembali struktur keilmuan ini dalam pendidikan dan penelitian, sehingga kehidupan modern tetap berlandaskan pengabdian kepada Tuhan dan menjawab kebutuhan sosial secara berkelanjutan.

Penulis: Hana Dzati Najwa, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta (IIQ)

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *