Kedudukan dan Peran Wanita dalam Islam: Kesetaraan Spiritual dan Pilar Peradaban

peran wanita dalam Islam

Milenianews.com, Mata Akademisi – Dalam lembaran sejarah dunia, status sosial wanita kerap berada pada posisi marjinal sebelum hadirnya risalah Islam. Pada masa Jahiliyah, kelahiran anak perempuan dianggap sebagai aib yang harus disembunyikan, bahkan dimusnahkan. Tradisi ini mencerminkan ketidakadilan struktural terhadap perempuan yang berlangsung secara turun-temurun.

Islam datang membawa revolusi kemanusiaan yang radikal dengan mengangkat derajat wanita dari titik terendah menuju kedudukan yang sangat terhormat. Dalam pandangan Islam, wanita tidak diposisikan sebagai objek, melainkan sebagai subjek yang memiliki hak, kewajiban, serta tanggung jawab yang setara dalam membangun peradaban manusia.

Kesetaraan Spiritual dalam Al-Qur’an

Landasan utama kedudukan wanita dalam Islam adalah kesetaraan spiritual. Al-Qur’an secara tegas menegaskan prinsip ini dalam Surah An-Nahl ayat 97:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl: 97)

Ayat ini menegaskan bahwa kualitas iman dan amal saleh menjadi ukuran utama kemuliaan manusia, bukan jenis kelamin. Islam sekaligus menghapus stigma bahwa wanita adalah penyebab dosa asal. Dalam Islam, Adam dan Hawa sama-sama bertanggung jawab atas perbuatannya dan sama-sama menerima pengampunan dari Allah SWT.

Kesetaraan tersebut juga mencakup aspek intelektual. Rasulullah SAW menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menjadi legitimasi teologis bagi wanita untuk mengakses pendidikan dan mengembangkan potensi akalnya secara maksimal.

Al-Ummu Madrasatul Ula: Wanita sebagai Pembentuk Generasi

Peran wanita yang paling krusial dalam struktur sosial Islam adalah sebagai ibu. Ungkapan “Al-Ummu Madrasatul Ula” (ibu adalah sekolah pertama) bukan sekadar kiasan, melainkan amanah strategis dalam pembentukan generasi.

Di tangan seorang ibu, fondasi akidah, moral, dan karakter anak bangsa diletakkan. Jika seorang ibu terdidik dengan baik, maka sesungguhnya ia sedang mempersiapkan masa depan sebuah peradaban. Islam memberikan penghormatan luar biasa terhadap peran ini, bahkan perintah berbakti kepada ibu disebutkan setelah perintah untuk bertauhid kepada Allah.

Rasulullah SAW juga menegaskan dalam sebuah hadis bahwa “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”, yang menunjukkan bahwa rida Allah dan keselamatan akhirat seorang anak sangat bergantung pada sikapnya terhadap ibunya.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Peran Wanita dalam Ruang Publik dan Intelektual

Islam tidak pernah mengurung wanita dalam ruang domestik semata. Sejarah Islam justru mencatat banyak tokoh perempuan yang berkontribusi besar dalam ruang publik dan intelektual, di antaranya:

  1. Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, seorang pengusaha sukses yang menjadi pendukung finansial dan emosional pertama dakwah Islam. Ia membuktikan bahwa wanita Muslimah dapat mandiri secara ekonomi dan berperan strategis dalam perjuangan umat.

  2. Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar, seorang intelektual besar yang menguasai ilmu hadis, fikih, sastra, hingga kedokteran. Ia meriwayatkan lebih dari 2.000 hadis dan menjadi rujukan ilmu bagi para sahabat laki-laki.

  3. Fatimah al-Fihri, pendiri Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko yang diakui UNESCO sebagai universitas tertua di dunia yang masih beroperasi hingga kini.

Tokoh-tokoh tersebut menunjukkan bahwa Islam membuka ruang luas bagi wanita untuk berkiprah di ranah publik selama tetap menjaga nilai-nilai syariat.

Hak Ekonomi dan Perlindungan Hukum bagi Wanita

Salah satu keunggulan hukum Islam adalah pengakuan terhadap hak ekonomi wanita. Sejak abad ke-7, Islam telah memberikan hak waris kepada wanita, hak kepemilikan penuh atas harta, serta hak melakukan kontrak dagang tanpa bergantung pada wali atau suami.

Dalam pernikahan, mahar sepenuhnya menjadi hak pribadi istri. Bahkan, jika seorang istri memiliki kekayaan, ia tidak diwajibkan menafkahi keluarga, karena tanggung jawab nafkah sepenuhnya berada di tangan suami. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi wanita dari eksploitasi ekonomi dan ketergantungan struktural.

Wanita sebagai Mitra Peradaban

Secara komprehensif, Islam memposisikan wanita sebagai mitra sejajar bagi laki-laki dalam mengemban amanah sebagai khalifah di bumi. Wanita ditempatkan sebagai jantung keluarga sekaligus guru peradaban.

Pemuliaan wanita dalam Islam tidak berhenti pada retorika, tetapi diwujudkan dalam sistem nilai, aturan hukum, dan etika sosial yang melindungi hak-haknya. Oleh karena itu, kemajuan sebuah umat sangat ditentukan oleh sejauh mana wanita diberikan ruang untuk berkembang, terdidik, dan dihormati sesuai dengan fitrah serta kedudukannya yang mulia.

Penulis: Najwa lathifah izzati, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *