Milenianews.com, Mata Akademisi – Pada akhir November 2025, media sosial Indonesia kembali dihebohkan oleh sebuah kasus viral yang berawal dari unggahan seorang pengguna Threads bernama Anita Dewi. Ia menuliskan keluhan mengenai kehilangan sebuah tumbler bermerek Tuku yang disimpannya dalam cooler bag ketika menaiki KRL rute Tanah Abang–Rangkasbitung. Dalam unggahan tersebut, Anita menarasikan bahwa tumbler miliknya hilang akibat kelalaian petugas KRL. Ia menggambarkan petugas sebagai pihak yang tidak responsif, tidak berhati-hati, dan lalai dalam menjalankan tugas sehingga menimbulkan kerugian baginya. Unggahan ini segera menyebar luas, memancing respons emosional, dan menjadi bahan perdebatan nasional.
Ketika unggahan tersebut viral, perhatian publik beralih dari sekadar hilangnya sebuah tumbler menjadi perdebatan mengenai etika pelayanan, perilaku penumpang, tanggung jawab petugas, dan dinamika hubungan antara konsumen dengan institusi layanan publik
Baca juga: Teori Komunikasi Kontekstual Menurut Deddy Mulyana
Kasus ini pada dasarnya adalah kejadian sehari-hari: seseorang kehilangan barang pribadi. Namun, dalam ekosistem media sosial yang sangat cepat dan emosional, ia berubah menjadi isu berskala nasional dengan dampak yang sangat besar bagi pihak-pihak yang terlibat. Kenyataan bahwa sebuah kehilangan kecil bisa berubah menjadi peristiwa besar menunjukkan betapa mudahnya masyarakat modern membentuk dan mempercayai realitas berdasarkan narasi yang menyebar di ruang digital. Fenomena ini dapat dianalisis menggunakan teori lingkungan semu (pseudo-environment) yang dikemukakan Walter Lippmann dalam Public Opinion (1922).
Lippmann berpendapat bahwa manusia tidak pernah berhadapan langsung dengan realitas dalam keseluruhan bentuknya. Realitas dunia terlalu kompleks, terlalu luas, dan terlalu rumit untuk dapat dipahami sepenuhnya oleh individu. Karena itu, manusia menciptakan representasi mental tentang dunia sebuah gambaran sederhana yang terbentuk dari potongan-potongan informasi yang diberikan oleh media, simbol-simbol budaya, opini publik, rumor, dan narasi yang beredar. Ini yang disebut Lippmann sebagai pseudo-environment atau lingkungan semu: dunia imajiner yang kita gunakan untuk menafsirkan dan merespons dunia nyata. Lingkungan semu ini sering kali lebih menentukan perilaku manusia daripada realitas faktual itu sendiri.
Dalam konteks digital, teori ini menjadi jauh lebih relevan. Media sosial mempercepat pembentukan lingkungan semu melalui algoritma yang mengutamakan konten emosional, penyebaran cepat, dan kecenderungan publik untuk mempercayai narasi yang sesuai dengan biasnya. Kasus Anita merupakan
contoh nyata bagaimana lingkungan semu terbentuk: publik tidak menyaksikan kejadian secara langsung, tetapi langsung membangun opini berdasarkan narasi tunggal yang viral.Unggahan pertama Anita adalah titik awal terbentuknya lingkungan semu tersebut. Ia tidak hanya menyampaikan fakta bahwa tumbler hilang, tetapi memberikan interpretasi bahwa petugas KRL lalai, tidak peduli, dan bertanggung jawab atas hilangnya barang tersebut. Dengan demikian, publik sejak awal menerima gambaran realitas yang sudah dibingkai secara emosional. Karena sebagian besar masyarakat tidak berada di lokasi dan tidak mengetahui kejadian sebenarnya, narasi ini menjadi fondasi persepsi mereka. Di sinilah teori Lippmann bekerja: realitas yang kita yakini sering kali adalah realitas hasil produksi narasi, bukan realitas aktual.
Peran algoritma memperbesar proses ini. Media sosial bekerja dengan prinsip bahwa konten yang paling menarik emosi akan mendapatkan distribusi paling luas. Unggahan Anita memiliki semua unsur tersebut: ada keluhan, ada kesan ketidakadilan, ada tokoh petugas sebagai pihak yang dituduh, dan ada barang tertentu (tumbler Tuku) yang secara budaya cukup dikenal. Emosi seperti marah, kecewa, dan simpati menjadi bahan bakar sempurna untuk viralitas. Ketika unggahan itu menyebar, narasi awal yang belum diverifikasi menjadi “kebenaran sementara” yang dianut publik.
Masyarakat kemudian membutuhkan figur yang dapat dijadikan simbol moral dalam cerita tersebut. Anita diposisikan sebagai pihak yang bersalah atau berlebihan, sementara petugas Argi diposisikan sebagai korban dari tuduhan tidak berdasar. Peran-peran ini tercipta bukan karena fakta lengkap, tetapi karena lingkungan semu yang terbentuk oleh narasi viral. Publik mencari siapa yang harus didukung dan siapa yang harus disalahkan. Proses ini memperlihatkan fenomena yang disebut Lippmann sebagai stereotyping kecenderungan publik untuk menyederhanakan persoalan dengan menempatkan aktor dalam kategori-kategori moral yang mudah dipahami.
Ketika fakta-fakta baru muncul penjelasan PT KAI, klarifikasi kampus, laporan media terkait PHK Anita lingkungan semu sudah terlanjur terbentuk. Publik sulit menerima informasi baru karena persepsi awal sudah mengakar. Fakta datang terlambat dan gagal menandingi kekuatan narasi viral. Inilah salah satu inti dari teori Lippmann: opini publik tidak didasarkan pada kenyataan utuh, tetapi pada gambaran yang sudah dibentuk sebelumnya, yang kemudian diperkuat oleh berbagai mekanisme sosial seperti framing, agenda setting, dan echo chamber.
Mekanisme komunikasi modern memperkuat lingkungan semu secara intensif. Framing atau pembingkaian terjadi ketika media memilih sudut tertentu dalam melaporkan kasus. Ada yang menonjolkan sisi kasihan petugas, ada yang mengangkat “arogansi konsumen”, dan ada pula yang menyajikan kasus sebagai kegagalan komunikasi institusional. Agenda setting terjadi ketika media menjadikan kasus ini sebagai isu utama selama berhari-hari, seolah-olah ini adalah persoalan nasional yang tak boleh dilewatkan. Priming terlihat ketika publik dinilai berdasarkan eksposur berulang terhadap gambaran tertentu misalnya, petugas yang bekerja keras dianggap lebih kredibel daripada keluhan penumpang. Echo chamber muncul ketika pengguna media sosial hanya menerima informasi yang menguatkan posisinya. Sementara itu, digital vigilantism atau penghukuman sosial digital terlihat ketika publik menyerang akun pribadi Anita, menekan tempat kerjanya, hingga mendorong pemecatannya.
Baca juga: Ketergantungan Media Sosial (Tik Tok) dalam Mengikuti Tren Budaya atau Gaya di Indonesia
Dampak kasus ini menjalar dari dunia digital ke dunia nyata. Anita kehilangan pekerjaan setelah kasus tersebut membesar. Ia harus membuat pernyataan maaf publik. Identitasnya terlacak dan menjadi bahan perbincangan nasional. Petugas yang dituduh juga mengalami tekanan meskipun banyak pihak memberikan dukungan moral. Reputasi institusi seperti PT KAI pun dipertaruhkan, memaksa mereka untuk melakukan komunikasi krisis berulang kali meskipun hasil investigasi belum selesai. Dunia maya yang semu menciptakan konsekuensi yang sangat nyata.
Lingkungan semu lebih kuat dari realitas karena ia lebih sederhana, lebih emosional, dan lebih mudah dipahami. Hilangnya sebuah tumbler adalah peristiwa kecil, tetapi ketika diberi muatan emosional dan dibingkai sebagai isu ketidakadilan, publik dengan cepat menempelkan makna sosial yang lebih besar. Media sosial memperkuat makna tersebut. Realitas digital menjadi lebih menentukan daripada realitas fisik.
Penulis: Marwah Ebony Moksen R, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













