Mata Akademisi, Milenianews.com – Dunia saat ini menghadapi dua tantangan besar yang saling terkait: radikalisme dan Islamofobia. Radikalisme, seperti serangan teror di Indonesia (Bom Bali 2002, JW Marriott 2003), dan Islamofobia, seperti diskriminasi terhadap tokoh Muslim di Singapura (2022), telah merusak citra Islam sebagai agama damai.
Kedua isu ini berakar pada pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam, terutama dalam aspek teologi. Radikalisme sering kali muncul dari penafsiran literal atas ayat-ayat konfrontatif, sementara Islamofobia tumbuh akibat stigma negatif yang dikaitkan pada Muslim secara global.
Baca juga: Jejak Khawarij dalam Konteks Modern: Tantangan dan Solusi bagi Umat Islam
Konsep sifat Tuhan (shifatullah) dalam Islam menjadi kunci untuk menjawab tantangan ini. Sifat-sifat ilahiah seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahiim (Maha Penyayang), Al-‘Adl (Maha Adil), dan Al-Hakim (Maha Bijaksana) bukan hanya abstraksi teologis, tetapi fondasi etika yang menuntun umat Muslim dalam merespons isu kontemporer. Empat aliran teologis Islam—Mu’tazilah, Murji’ah, Maturidiyah, dan Asy’ariyah—menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami sifat Tuhan.
Mu’tazilah menekankan rasionalitas dan keadilan (Al-‘Adl), serta menolak kekerasan tanpa proses hukum yang adil. Murji’ah mengedepankan kesederhanaan dan menyerahkan penilaian akhir kepada Tuhan, sehingga menolak tindakan gegabah seperti mengkafirkan kelompok lain. Maturidiyah dan Asy’ariyah, sebagai landasan Ahlussunnah wal Jamaah, menekankan keseimbangan antara kekuasaan Tuhan dan kasih sayang-Nya, serta menolak reduksi sifat Tuhan hanya pada aspek kekerasan.
Dalam konteks radikalisme, pemahaman teologis yang seimbang dapat menjadi penangkal narasi ekstrem. Misalnya, kasus Ahmadiyah di Lombok (2016) menunjukkan bagaimana pendekatan Murji’ah dan Asy’ariyah—yang menekankan kebijaksanaan Tuhan (Al-Hakim) dan penundaan penghakiman—dapat mencegah kekerasan atas nama agama.
Melawan Islamofobia melalui Sifat Inklusif Tuhan
Sementara itu, Islamofobia perlu diatasi dengan memperkenalkan sifat-sifat Tuhan yang inklusif seperti Al-Hadi (Pemberi Petunjuk) dan As-Salam (Sumber Kedamaian), yang menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi dan kemanusiaan.
Peran ulama dan media sosial juga penting dalam melawan radikalisme digital. Konten-konten yang menonjolkan kisah Nabi Muhammad saw. yang penuh kasih sayang atau ayat-ayat tentang perdamaian dapat menjadi tandingan bagi propaganda ekstrem. Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dengan penekanannya pada sifat Tuhan yang pengasih dan adil, relevan untuk membangun narasi Islam yang moderat.
Di sisi lain, Mu’tazilah—meski sering dikritik—menawarkan prinsip keadilan yang sesuai dengan konteks modern, menolak pembenaran kekerasan tanpa dasar hukum yang jelas.
Rekrutmen online oleh kelompok radikal seperti ISIS dan JAD menunjukkan ancaman radikalisme di kalangan pemuda. Ancaman ini harus dihadapi tidak hanya dengan melawan narasi ekstrem, tetapi juga dengan alternatif menarik seperti konten digital tentang kisah Nabi yang penuh pengampunan dan kerja sama antaragama. Ini perlu didukung oleh peran aktif ulama dan influencer agama dalam menyebarkan Islam yang menolak kekerasan dan mengutamakan dialog.
Di sisi lain, Islamofobia—yang muncul akibat ketidaktahuan dan pemberitaan media yang bias—perlu diatasi melalui pendekatan teologis yang menonjolkan sifat Tuhan sebagai sumber kedamaian, seperti konsep ru’yatullah dalam Asy’ariyah, yang menggabungkan wahyu dan akal. Ini membuktikan keselarasan Islam dengan modernitas serta menawarkan kerangka responsif terhadap tantangan global tanpa kehilangan identitas keislaman.
Adapun persamaannya, mereka sepakat menekankan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang, Adil, dan Bijaksana sebagai dasar melawan Islamofobia dan radikalisme. Meski berbeda pendekatan, mereka bersama-sama menolak tafsiran sempit pembenaran kekerasan: Mu’tazilah dengan keadilan rasional, Murji’ah dengan toleransi penghakiman, sementara Maturidiyah dan Asy’ariyah menyeimbangkan kekuasaan dan kasih sayang Ilahi.
Relevan dengan nilai modern, pemahaman ini menjadi penangkal efektif terhadap ekstremisme dan stigma negatif. Bersama, mereka menawarkan solusi teologis atas tantangan global umat Muslim.
Baca juga: Generasi Muda dan Krisis Akar Teologi: Ke Mana Asy’ariyah Pergi?
Radikalisme tidak jarang menjadi reaksi atas Islamofobia, dan sebaliknya, Islamofobia sering kali tumbuh sebagai respons terhadap tindakan radikal. Keduanya muncul dari pemahaman yang sempit tentang Islam. Dengan kembali pada konsep sifat Tuhan yang seimbang—antara keadilan dan kasih sayang, antara kekuasaan dan kebijaksanaan—umat Muslim dapat membangun resistensi terhadap ekstremisme sekaligus melawan stigma negatif.
Di saat yang sama, media massa dan platform digital memiliki peran strategis untuk menyebarkan narasi-narasi alternatif yang menampilkan wajah Islam yang sebenarnya: agama yang menghargai perbedaan, mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, dan aktif berkontribusi dalam membangun peradaban global.
Penulis: Iffaty Zamimah, Dosen serta Lailatul Badriyah, Syarifah Khaira Amalia, Nafisatussakiroh, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.