Fenomena Overthinking ala Remaja

fenomena overthinking ala remaja

Milenianews.com, Mata Akademisi Overthinking atau berpikir berlebihan merupakan fenomena yang banyak terjadi di era sekarang. Remaja hidup dalam lingkungan yang penuh tuntutan dan tekanan, baik dari orang tua, teman sebaya, maupun kehidupan di media sosial. Kondisi tersebut membuat pikiran menjadi jenuh dan mendorong remaja untuk semakin sering membandingkan diri dengan orang lain.

Istilah overthinking merujuk pada kondisi ketika seseorang mengalami kecemasan, ketakutan, dan ketidaknyamanan secara emosional akibat memikirkan sesuatu secara berlebihan. Saat ini, overthinking bukan lagi sekadar masalah pribadi, tetapi telah menjadi persoalan sosial yang banyak dialami oleh remaja.

Fenomena seperti FOMO (Fear of Missing Out), budaya pamer pencapaian, serta tekanan untuk menampilkan kehidupan yang sempurna di media sosial membuat remaja semakin rentan mengalami tekanan mental. Oleh karena itu, memahami overthinking menjadi hal yang penting agar remaja mampu mengenali penyebabnya dan mengetahui cara mengatasinya.

Baca juga: Hidup di Dunia yang Serba Cepat

Salah satu penyebab utama overthinking adalah kehidupan di media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok dipenuhi dengan tampilan hidup yang tampak sempurna: standar kecantikan tertentu, pertemanan yang terlihat harmonis, barang-barang mewah, pencapaian akademik, hingga gaya hidup yang serba estetis. Remaja yang terus mengonsumsi konten tersebut cenderung membandingkan dirinya dengan para influencer. Hal inilah yang memicu pikiran negatif seperti, “Aku kurang bagus,” “Aku kalah jauh,” atau “Kenapa hidupku tidak seenak mereka,” tanpa menyadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial tidak selalu mencerminkan kehidupan yang sebenarnya.

Selain media sosial, tekanan akademik juga sangat memengaruhi kondisi mental remaja. Tuntutan untuk selalu memperoleh nilai tinggi, aktif dalam organisasi, meraih banyak prestasi, serta keinginan untuk membanggakan orang tua sering kali membuat remaja memikirkan masa depan secara berlebihan. Akibatnya, pikiran menjadi penuh dan memicu overthinking yang sulit dikendalikan.

Faktor lainnya adalah lingkungan sosial. Tidak semua remaja memiliki ruang aman untuk bercerita. Hubungan pertemanan terkadang kurang suportif, komunikasi di rumah terbatas, atau bahkan bersifat menghakimi. Padahal, yang dibutuhkan remaja sering kali hanyalah didengarkan dan diyakinkan. Ketika remaja tidak dapat mengekspresikan perasaan dan kebingungannya, mereka cenderung menyimpan semuanya sendiri, yang akhirnya berkembang menjadi overthinking.

Overthinking adalah menggunakan terlalu banyak waktu untuk memikirkan suatu hal dengan cara yang merugikan, dan overthinking dapat berupa ruminasi serta kekhawatiran,” ujar Wirdatul Anisa, seorang Psikolog, dalam Kuliah Online CPMH UGM pada Jumat, 18 Mei silam.

Overthinking memberikan dampak yang cukup besar terhadap kesehatan mental remaja. Salah satu dampaknya adalah gangguan tidur. Remaja yang terus-menerus memikirkan suatu masalah cenderung sulit tidur atau tidur tidak nyenyak. Selain itu, overthinking juga memengaruhi fokus dan produktivitas, sehingga remaja sulit berkonsentrasi dalam belajar maupun menjalankan aktivitas sehari-hari.

Dari sisi emosional, overthinking dapat memicu kecemasan, perubahan suasana hati (mood swings), hingga perasaan tidak berharga. Remaja menjadi mudah cemas, merasa sedih, atau marah tanpa alasan yang jelas. Kondisi ini dapat berujung pada burnout atau kelelahan mental.

Secara sosial, overthinking membuat remaja cenderung menarik diri dari lingkungan dan lebih memilih menyendiri. Mereka merasa tidak pantas untuk bergaul, takut melakukan kesalahan, atau merasa tidak disukai oleh orang lain. Akibatnya, kemampuan bersosialisasi menurun dan hubungan pertemanan terganggu.

Mengatasi overthinking bukan berarti berhenti berpikir, melainkan belajar bagaimana cara berpikir yang sehat. Remaja perlu mengurangi kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain, misalnya dengan membatasi penggunaan media sosial atau mengikuti konten yang lebih positif. Selain itu, pengaturan waktu antara belajar dan istirahat juga sangat penting.

Baca juga: AI sebagai Mufti Digital? Mengurai Tantangan Dakwah di Era Teknologi

Latihan seperti menulis jurnal (journaling), meditasi, pernapasan sadar (mindful breathing), dan afirmasi diri dapat membantu menenangkan pikiran. Remaja juga membutuhkan dukungan sosial dari keluarga dan teman. Memiliki ruang aman untuk bercerita dapat membantu mengurangi beban pikiran.

Tidak kalah penting, sekolah juga perlu berperan dengan memberikan edukasi terkait kesehatan mental dan literasi digital. Dengan demikian, remaja dapat memahami kondisi dirinya dengan lebih baik dan bersikap bijak dalam menghadapi ekspektasi sosial serta tekanan dunia maya.

Fenomena overthinking pada remaja di era digital merupakan masalah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari media sosial, tekanan akademik, hingga lingkungan sosial. Overthinking bukan sekadar pikiran berlebihan, tetapi kondisi yang dapat memengaruhi kesehatan mental, fisik, dan sosial remaja. Oleh karena itu, penting untuk memahami penyebab dan dampaknya agar remaja dapat menemukan strategi yang tepat dalam mengelola pikiran. Dengan dukungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, remaja dapat menghadapi era digital dengan lebih sehat dan percaya diri.

Penulis: Hijratus Sakinah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *