Milenianews.com, Mata Akademisi – Imam al-Ghazali merupakan salah satu tokoh besar Islam abad ke-5 Hijriah yang diakui sebagai fuqaha dan pemikir paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Islam. Kontribusinya tidak hanya terbatas pada fikih, tetapi juga mencakup teologi, filsafat, dan tasawuf. Dalam memahami ilmu, al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang benar harus bersumber dari ajaran Islam.
Oleh karena itu, banyak sarjana menyebut bahwa dasar epistemologi al-Ghazali adalah epistemologi Islam, yakni sistem pengetahuan yang berlandaskan pada wahyu, akal, dan pengalaman spiritual. Menurutnya, ilmu sejati bukan hanya memberi pemahaman rasional, tetapi juga menuntun manusia menuju kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Ihyā’ ‘Ulūmiddīn dan Pentingnya Klasifikasi Ilmu
Pemikiran Imam al-Ghazali tentang ilmu menjadi tonggak penting dalam tradisi keilmuan Islam. Dalam karya monumentalnya Ihyā’ ‘Ulūmiddīn, khususnya pada Kitab al-‘Ilm, al-Ghazali tidak hanya menjelaskan keutamaan ilmu, tetapi juga menekankan pentingnya pengelompokan ilmu agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam kehidupan seorang Muslim.
Atas dasar itu, al-Ghazali membagi ilmu ke dalam dua kelompok utama, yakni ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Pembagian ini dimaksudkan sebagai panduan agar umat Islam mampu menentukan prioritas keilmuan sesuai kebutuhan hidup, baik secara personal maupun sosial.
Ilmu Fardhu ‘Ain: Kewajiban Individual Setiap Muslim
Menurut Imam al-Ghazali, ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib dikuasai oleh setiap Muslim demi keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat. Ilmu ini bersifat mutlak dan tidak dapat ditinggalkan oleh siapa pun.
Ilmu fardhu ‘ain terbagi ke dalam dua bagian utama. Pertama, ilmu mu‘amalah, yaitu ilmu yang berkaitan dengan praktik ibadah dan kehidupan keagamaan. Ilmu ini mencakup akidah, karena berkaitan dengan keyakinan, serta ilmu tentang perbuatan yang wajib atau terlarang dalam kondisi dan sebab tertentu. Dalam konteks ini, kewajiban mempelajari suatu ilmu bergantung pada situasi yang dihadapi seorang hamba.
Kedua, ilmu mukāsyafah, yakni ilmu yang dianugerahkan langsung oleh Allah kepada seorang hamba. Ilmu ini dapat diperoleh melalui sebab dan potensi tertentu, atau bahkan tanpa sebab yang tampak, sebagai bentuk karunia ilahi yang bersifat spiritual.
Ilmu Fardhu Kifayah dan Dimensi Sosial Keilmuan
Berbeda dengan fardhu ‘ain, ilmu fardhu kifayah merupakan ilmu yang tidak wajib dipelajari oleh setiap individu Muslim. Kewajiban tersebut gugur apabila telah ada sebagian umat Islam yang menguasainya. Ilmu hadis, tafsir, kedokteran, biologi, dan ilmu berhitung termasuk dalam kategori ini.
Imam al-Ghazali secara khusus menempatkan ilmu kedokteran dan ilmu hitung sebagai contoh utama ilmu fardhu kifayah. Melalui penegasan ini, al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa menuntut ilmu tidak hanya berkaitan dengan kesalehan pribadi, tetapi juga dengan tanggung jawab sosial demi kemaslahatan umat.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Makna Kedokteran dan Ilmu Hitung dalam Perspektif Tasawuf
Pemilihan ilmu kedokteran dan ilmu hitung sebagai contoh utama fardhu kifayah dapat dipahami melalui perspektif tasawuf. Ilmu kedokteran berkaitan erat dengan kesehatan jasad manusia, sementara ilmu hitung berhubungan dengan pengelolaan muamalah dan kehidupan sosial.
Tubuh manusia (jasad) dipahami sebagai tempat manifestasi kehidupan, di mana darah mengalir sebagai penopang fungsi tubuh. Dalam konteks spiritual, kesadaran akan keberadaan darah dan tubuh mengingatkan manusia akan kedekatannya dengan Allah, sebagaimana disebutkan bahwa Allah lebih dekat daripada urat nadi. Kesadaran ini mendorong kehati-hatian dalam bertindak sesuai hukum syariat.
Sementara itu, ilmu hitung berkaitan erat dengan akal dan cara berpikir. Ketertiban dalam muamalah sangat ditentukan oleh kejernihan berpikir, keadilan, dan logika. Dengan pemikiran yang sehat, seseorang dapat terhindar dari prasangka buruk, hasad, dan konflik sosial.
Menentukan Prioritas Ilmu dalam Kehidupan
Dalam pandangan al-Ghazali, pembagian ilmu ini sangat penting agar umat Islam tidak salah menentukan prioritas. Ia mengingatkan bahwa ada orang yang tenggelam dalam perdebatan intelektual, tetapi lalai mempelajari dasar-dasar agama. Sebaliknya, ada pula yang fokus pada ibadah personal, namun mengabaikan ilmu yang dibutuhkan masyarakat.
Karena itu, ilmu harus ditempatkan sesuai kadarnya: mana yang menjadi kewajiban individu dan mana yang menjadi tanggung jawab kolektif.
Relevansi Pemikiran Al-Ghazali di Era Modern
Pemikiran al-Ghazali tetap relevan dalam kehidupan modern. Masyarakat masa kini membutuhkan tenaga profesional seperti dokter, guru, ekonom, dan insinyur. Mereka yang menekuni bidang tersebut sejatinya sedang menjalankan kewajiban fardhu kifayah.
Namun demikian, ilmu fardhu ‘ain tidak boleh diabaikan. Keseimbangan antara tanggung jawab pribadi dan kewajiban sosial menjadi pesan utama al-Ghazali yang melampaui zamannya.
Melalui konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, Imam al-Ghazali mengajarkan bahwa menuntut ilmu bukan sekadar pemenuhan hasrat intelektual, melainkan jalan untuk memperbaiki diri dan memberi manfaat bagi sesama. Inilah pesan keilmuan al-Ghazali yang tetap hidup dan relevan dari zaman ke zaman.
Penulis: Raisya Nayyara Ismaila, Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.








