Milenianews.com, Mata Akademisi – Teori komunikasi semiotik Roland Barthes menawarkan lensa yang tajam untuk membedah bagaimana makna dibangun, disampaikan, dan direproduksi dalam sebuah praktik komunikasi. Teori yang berpusat pada sistem tanda bertingkat—denotasi, konotasi, dan mitos—serta mekanisme penanda-petanda ini, sebagaimana diaplikasikan pada dakwah Buya Hamka, ternyata masih sangat relevan untuk menganalisis fenomena komunikasi keagamaan di era digital. Jika Hamka mengoptimalkan media cetak, lisan, dan siaran radio/TV, para pendakwah era kini bertransformasi menjadi influencer di media sosial. Esai ini akan mengaitkan kerangka teori tersebut dengan kasus aktual yang booming di media sosial, yaitu dakwah dan representasi keagamaan yang dilakukan oleh para selebritas atau influencer hijrah, dengan mengambil contoh kasus yang kerap menjadi perbincangan.
Analisis kasus: Dakwah dan personal branding di Instagram dan TikTok
Maraknya figur publik yang mengusung konten keagamaan di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dapat dianalisis menggunakan tiga aspek utama teori Barthes yang telah disintesiskan.
1. Konstruksi tanda dakwah digital: Denotasi dan konotasi
Denotasi (Makna Literal): Tanda tanda denotatif dalam dakwah digital sangat kasat mata. Ini meliputi: (a) Bahasa langsung berupa kutipan ayat Al-Qur’an, hadits, atau nasihat agama yang ditampilkan dalam teks di layar atau diucapkan langsung. (b) Simbol fisik nyata seperti pakaian muslim (gamis, cadar, sorban), alat shalat (sajadah, tasbih digital), latar belakang ruangan yang penuh buku agama, atau aktivitas seperti mengaji dan beramal. (c) Deskripsi riil aktivitas dakwah mereka, seperti mengadakan pengajian virtual, live charity, atau dokumentasi perjalanan umrah/haji.
Konotasi (Makna Simbolik):Di sinilah makna budaya dan emosional bekerja. Pakaian muslim tertentu tidak hanya menandakan ketaatan (denotasi), tetapi juga bisa dikonotasikan sebagai gaya hidup modern, trendy, dan terkini (“hijrah gaya”). Kutipan ayat yang dibacakan dengan backsound musik instrumental lembut menciptakan konotasi ketenangan, estetika, dan spiritualitas yang mudah diakses. Aktivitas sedekah yang diviralkan tidak sekadar amal, tetapi juga membangun citra dermawan dan peduli sosial yang menjadi bagian dari personal branding.
2. Signifikasi dan pembentukan makna kultural: Mitos dan interaksi audiens
Mitos (Ideologi yang Dinaturalisasi): Media sosial banyak melahirkan mitos baru. Salah satunya adalah mitos “hijrah instan dan glamor”. Narasi bahwa perubahan religius dapat dikemas secara estetis, didukung materi yang memadai, dan diakui secara sosial (dengan bertambahnya followers) dinaturalisasi sebagai “wajah baru Islam yang modern”. Figur pendakwah digital sering kali di-mitos-kan sebagai “ustad/ustadzah selebritas” yang menyatukan kharisma religious authority dengan daya tarik dunia hiburan. Ini mirip dengan mitos Hamka sebagai “pemikir modern Muslim”, tetapi dalam konteks pop culture.
Interaksi Audiens: Aspek ini sangat dinamis di media sosial. Respons audiens tidak hanya penerimaan pasif, tetapi terwujud dalam like, comment, share, duet, dan pembentukan komunitas online (fanbase). Interpretasi personal terhadap konten dakwah bisa beragam, dari yang menginspirasi hingga menuai debat di kolom komentar. Konteks sosial audiens (misalnya, kecemasan generasi muda, pencarian identitas) sangat mempengaruhi bagaimana mereka memaknai pesan dakwah yang diterima. Sebuah konten tentang kesabaran bisa dimaknai berbeda oleh seseorang yang sedang stres pekerjaan vs yang sedang lancar rezekinya.
3. Mekanisme penandaan dakwah digital: Penanda dan petanda
Penanda (Ekspresi Fisik): Mediumnya adalah platform digital itu sendiri. Feed Instagram yang terkurasi rapi, video TikTok dengan editing cepat dan efek menarik, podcast dengan kualitas audio premium, serta tulisan caption yang puitis atau provokatif semua itu adalah penanda fisik dakwah era baru. Gestur, intonasi suara, dan ekspresi wajah yang camera friendly juga menjadi penanda penting.
Petanda (Konsep Mental): Konsep yang ingin disampaikan melalui tanda-tanda fisik tersebut bisa beragam. Beberapa petanda yang umum adalah: (a) Spiritualitas yang mudah dan praktis (Islam yang mudah dipahami dalam durasi 60 detik). (b) Integrasi iman dan gaya hidup (bahwa menjadi religius tidak berarti meninggalkan dunia modern). (c) Pencarian legitimasi dan otoritas (dengan tampil sebagai sumber inspirasi agama, figur publik membangun otoritas baru di luar struktur keagamaan tradisional).
Teori komunikasi semiotik Roland Barthes membuktikan ketajamannya tidak hanya untuk menganalisis dakwah konvensional ala Buya Hamka, tetapi juga untuk membedah fenomena dakwah digital yang kompleks. Kasus booming-nya influencer hijrah di media sosial menunjukkan bahwa proses konstruksi tanda (dari pakaian hingga editing video), pembentukan mitos (seperti hijrah glamor), dan mekanisme penandaan telah beradaptasi dengan logika platform digital dan budaya pop. Jika dakwah Hamka, melalui media cetak dan radio, membangun makna kultural dalam konteks nation-building dan pemikiran Islam modern, dakwah digital hari ini membangun makna dalam konteks personal branding, ekonomi perhatian (attention economy), dan pencarian identitas di ruang virtual.
Analisis semiotik seperti ini mengingatkan kita untuk tidak hanya melihat konten keagamaan di media sosial pada tataran denotatif (apa yang dikatakan), tetapi lebih kritis pada tataran konotatif dan mitos (bagaimana ia dikatakan, dan ideologi apa yang sebenarnya bekerja di baliknya), serta bagaimana audiens secara aktif terlibat dalam memproduksi makna tersebut. Dengan demikian, teori Barthes tetap menjadi alat vital untuk memahami transformasi dan kompleksitas komunikasi dakwah dari mimbar ke timeline media sosial.
Penulis: Doa Ashfa El Nisa, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













