Milenianews.com, Mata Akademisi– Beriman tidak memadai tanpa berilmu. Pun berilmu terasa pincang tanpa beriman. Frasa beriman dan berilmu bukan pilihan. Keduanya padu jadi satu atau two in one. Beriman dan berilmu adalah kesempurnaan seorang muslim. Mempersiapkannya butuh waktu dan tahapan.
Dalam al-Qur’an, frasa ini digandeng jadi satu, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah/58: 11). Artinya, orang yang hanya beriman atau berilmu saja tidak diangkat derajatnya.
Dalam kitab Tafsir Jalalain, ditulis bahwa orang beriman diangkat derajatnya oleh Allah karena ketaatannya dan orang berilmu diangkat derajatnya ke surga sebagai hadiah kelak. Jadi derajat yang tinggi bagi orang beriman tidak hanya bersifat profan di dunia, tapi juga transenden di akhirat. Tentu hal ini lebih menjanjikan.
Di dunia, perlakuan Allah kepada orang beriman dan berilmu juga sudah berbeda. Misalnya, Allah memuji orang beriman dan berilmu (yakni ulama) sebagai pribadi yang takut kepada Allah. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir/35: 28).
Dengan kata lain, yang hanya beriman bukan ulama. Pun yang hanya berilmu bukan ulama dalam kategori ini. Ulama adalah orang yang karena iman dan ilmunya membuat dia takut kepada Allah. Akhirnya, imannya bukan pajangan. Ilmunya bukan komoditas. Jadi, di luar ulama adalah orang-orang bodoh. Apabila dia kafir dan jahat, bagi pengarang tafsir Tafsir Jalalain, dia seperti orang kafir Mekkah.
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengungkap bahwa sesungguhnya semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang Allah bahwa Allah Mahabesar, Mahakuasa, Maha Mengetahui dan menyandang semua sifat sempurna dan memiliki nama-nama yang terbaik (superlatif), maka kian bertambah sempurnalah ketakutannya kepada Allah.
Di dunia. perlakuan manusia kepada ulama juga berbeda. Dalam kitab Ta’lim Muta’allim diceritakan oleh Syaikh al-Zarnuji bahwa Khalifah Harun al-Rasyid mengirim putranya ke pesantren milik Imam al-Ashma’i. Satu hari Khalifah melihat sang imam sedang berwudhu dan membasuh sendiri kakinya. Sementara putra Khalifah menuangkan air.
Melihat hal itu, Khalifah menegur sang ulama, “Aku mengirim anakku ke pesantren untuk dididik ilmu dan adab. Mengapa tidak kamu perintahkan kepada anakku agar tangan kanannya menuangkan air dan tangan kirinya mencuci kakimu?” Inilah kemuliaan iman dan ilmu yang diperagakan seorang penguasa kepada seorang ulama.
Masih dalam kitab Ta’lim Muta’allim, disebutkan bahwa seorang ulama yang sedang terbujur tidur lebih ditakuti oleh setan ketimbang seribu orang bodoh yang sedang beribadah. Jadi, orang bodoh adalah orang tidak ditakuti setan. Sedangkan ulama adalah orang yang takut kepada Allah dan ditakuti setan. Karena ulama beriman dan berilmu.*
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung, Kota Depok