Mata Akademisi, Milenianews.com – Di tengah retorika pembangunan yang gemerlap, ketidaksetaraan ekonomi dan sosial telah mencapai titik kronis. Rasio Gini, indeks harga, hingga akses pada layanan dasar berulang kali menunjukkan bahwa “kue pembangunan” hanya dinikmati oleh segelintir elite. Secara sinis namun filosofis, kegagalan sistemik ini harus kita rayakan. Anggap saja inilah hadiah terbaik dari negara untuk rakyat jelata: sebuah kebenaran telanjang.
Hadiah ini bukan berbentuk subsidi tunai, bukan infrastruktur megah yang hanya memperlancar mobilitas kaum borjuis. Hadiah ini adalah pencabutan total dari ilusi, pembebasan dari narasi palsu, dan penemuan kembali daya kritis kolektif yang selama ini terbius oleh janji-janji kemakmuran yang akan “menetes” dari atas (the trickle-down fantasy).
Baca juga: Perayaan Perlawanan Ekonomi: Waktunya Bawa Peradaban Kembali
“Hadiah” ini sangat kompleks karena ia memicu trauma epistemologis—guncangan atas cara kita memahami realitas. Negara, yang seharusnya menjadi manifestasi common will, justru menjadi arsitek utama jurang pemisah.
Hadiah ini hadir dalam dua bentuk kritis:
A. Disrupsi Ketergantungan (The Gift of Abandonment)
Selama puluhan tahun, rakyat jelata dididik untuk menjadi konsumen politik yang pasif—hanya menunggu bantuan (bansos), mengharapkan belas kasih (subsidi), dan memilih berdasarkan popularitas (pencitraan). Ketika bantuan itu dihentikan, dicabut, atau disunat oleh birokrasi, sistem justru memberikan sebuah kejutan: “Kamu ditinggalkan. Kamu bebas.”
Kebebasan ini memaksa lahirnya otokritik massal: mengapa kita masih percaya pada tatanan yang secara historis terbukti hanya melanggengkan kekuasaan segelintir orang? Rakyat dipaksa meninggalkan status sebagai objek belas kasihan negara dan harus berevolusi menjadi subjek yang berdaya, berorganisasi, dan menuntut.
B. Penghentian “Narkotika” Infrastruktur (The Falsity of Progress)
Pembangunan masif sering kali dipasarkan sebagai simbol kemajuan untuk semua. Padahal, bagi rakyat jelata, jalan tol yang membelah desa sering kali hanya menjadi rute bagi logistik elite atau turisme kaum menengah atas, sementara lahan pertanian mereka tergusur.
Hadiah sejati dari negara adalah dengan secara tidak sengaja mempertontonkan fiktifnya kemajuan tersebut. Rakyat dipaksa melihat bahwa yang dianggap “kemajuan” oleh negara adalah investasi yang hanya menguntungkan pemodal, bukan kesejahteraan mereka. Kesadaran ini adalah fondasi bagi gerakan akar rumput yang sadar kelas.
Dialektika Kesulitan dan Solidaritas
Kesulitan yang nyata melahirkan solidaritas yang otentik, sedangkan ilusi kemakmuran melahirkan individualisme yang terisolasi.
Di negara-negara yang berhasil menutupi ketidaksetaraan dengan janji utang murah (kredit konsumtif) dan hiburan massal, rakyat jelata terfragmentasi—masing-masing sibuk mengejar ilusi “naik kelas” secara individual. Mereka tidak lagi melihat tetangga sebagai sekutu dalam perjuangan, melainkan sebagai pesaing dalam antrean mendapatkan remah-remah sistem.
Hadiah negara yang terbaik adalah dengan menjadikan kesulitan hidup sebagai kurikulum wajib bagi semua. Kenaikan harga minyak, tarif listrik, atau biaya pendidikan yang mencekik dirasakan oleh semua lapisan jelata—pedagang kecil, buruh pabrik, hingga guru honorer. Penderitaan yang merata ini menciptakan ruang komunal untuk kesadaran kolektif.
Ini adalah pembalasan yang elegan: saat elite penguasa sibuk merayakan angka-angka pertumbuhan di laporan kuartalan, rakyat jelata di tingkat dasar sedang sibuk membentuk ekonomi perlawanan mereka sendiri—koperasi kecil, barter komoditas lokal, dan mekanisme pertahanan sosial nonformal yang sepenuhnya terpisah dari intervensi negara.
Deklarasi Kemerdekaan Epistemologis
Maka, rakyat jelata seharusnya berterima kasih. Negara telah memberikan kejutan terbesarnya—bukan kemakmuran, tapi kejernihan yang menyakitkan. Ia telah mengakhiri “Mitos Prometheus” modern, di mana rakyat selalu menunggu api (kemakmuran) diturunkan dari langit (negara/elite).
Mari kita simpulkan hadiah tak ternilai ini:
- Bukan Janji, Tapi Bukti: Bukti bahwa sistem yang ada tidak dirancang untuk keadilan.
- Bukan Bantuan, Tapi Kemandirian: Dorongan keras untuk membangun jaring pengaman vertikal dan horizontal sendiri.
- Bukan Ketergantungan, Tapi Kedaulatan: Deklarasi Kemerdekaan Epistemologis bagi rakyat jelata untuk mendefinisikan sukses dan kesejahteraan mereka sendiri—di luar kamus resmi penguasa.
Baca juga: Sudah Saatnya Reformasi Kebijakan Moneter dan Sistem Kurs dalam UU Perekonomian Nasional
Anggap saja ini hadiah. Hadiah termahal yang membuat kita sadar bahwa selama ini, kita mencari solusi di tangan masalah itu sendiri. Sekarang, kita tahu di mana meletakkan harapan sejati: di tangan kita, dan tangan sesama rakyat jelata.
Penulis: Syarifudin Brutu, Mahasiswa Universitas Syiah Kuala
Instagram: @aksara_arunika
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













