Milenianews.com, Mata Akademisi– Di antara karunia Allah adalah ancaman-Nya. Seperti itu pandangan al-Maraghi dalam memberi interpretasi salah satu ayat ini di Surat Al-Rahman. Yakni, “Kepada kamu berdua, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (dari padanya).” (QS. al-Rahman/55: 35).
Dalam Tafsir Jalalain tertulis nyala api yang dimaksud adalah api yang tidak berasap atau nyala api yang berasap. Sedangkan asap dalam ayat ini adalah asap murni yang tidak ada nyala apinya. Syaikh Nawawi mengatakan bahwa nyala api itu murni tanpa asap.
Fungsi nyala api itu, menurut Muhammad Yusuf Ali, tentu untuk membakar jin dan manusia durhaka. Sedangkan asap berfungsi untuk mencekik. Ancaman Allah ini sebenarnya menggambarkan begitu mengerikannya akhirat bagi para durjana.
Pengarang Tafsir Jalalain dan Syaikh Nawawi berpendapat api dan asap itulah yang berfungsi untuk menggiring jin dan manusia menuju Padang Mahsyar. Padang Mahsyar, menurut Syaikh Nawawi, adalah padang yang menghampar, berwarna putih, rata, dan tidak ada tanjakan dan turunan. Di sana kelak berkumpul makhluk yang pertama kali hidup hingga yang terakhir kali mati.
Bagi al-Maraghi, ancaman Allah yang dialamatkan kepada jin dan manusia terdiri dari dua macam api, yakni kobaran api murni tak berasap yang membentuk cahaya seperti cahaya pelita dan api yang bercampur dengan asap. Mayoritas ulama tafsir tampaknya sebangun dengan yang disampaikan al-Maraghi ini.
Ayat ini sebenarnya masih terkait dengan ayat sebelumnya (al-Rahman/55: 33) di mana jin dan manusia tak berkutik di depan kekuatan dan kekuasaan Allah. Termasuk tak mampu keluar dari takdir mereka masing-masing. Allah mengancam mereka berdua dengan api dan asap murni.
Selain api dan asap murni, menurut al-Zuhaili, jin dan manusia yang berusaha menghindar dari siksa Allah akan dituangkan dari atas kepala mereka cairan tembaga. Dalam bahasa Arab al-Nuhaas selain berarti asap murni, dipahami juga sebagai cairan tembaga panas. Bukan tembaga beku.
Di tengah ancaman itu, jin dan manusia tidak dapat bersekutu untuk tolong-menolong. Lebih tegas, al-Maraghi menulis bahwa makna frasa “falaa tantashiraani” adalah bahwa jin dan manusia tidak dapat menolak hukuman Allah dan tidak ada yang bakal mempunyai pendamping sebagai penolong.
Terkait begitu mengerikannya akhirat, di dalam kitab Nashaihul Ibad, Syaikh Nawawi bercerita bahwa satu hari Ibrahim bin Adham (wafat 777 Masehi) ditanya, “Apa yang membuat kamu sampai pada maqam zuhud terhadap dunia?” Dia menjawab, “Dengan tiga hal. Pertama, aku melihat kuburan itu sangat menakutkan sedangkan tidak memiliki amal yang membuat aku nyaman.
Kedua, aku melihat perjalanan menuju akhirat itu begitu panjang sedangkan aku tidak memiliki bekal. Ketiga, aku meyakini Allah Maha Pemaksa sementara aku tidak memiliki argumentasi apa-apa pada saat menjumpai-Nya”.
Tampaknya, perlu disepakati apa yang diungkap al-Maraghi di atas bahwa ancaman Allah juga karunia yang harus disyukuri, di samping neraka dan surga-Nya. Dengan ancaman itu diharapkan para makhluk bertobat. Maka pantas kalau Allah bertanya, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. al-Rahman/55: 36).
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Dai Lembaga Dakwah Darul Akhyar (LDDA) Kota Depok.