Milenianews.com, Mata Akademisi– Sekian nikmat telah dianugerahkan, seperti dinyatakan oleh Allah di dalam Surat Al-Rahman. Mula-mula Allah memperkenalkan diri sebagai al-Rahman, Tuhan Yang Maha Pemurah. Lalu Allah mengajarkan al-Qur’an dan menciptakan manusia. Ayat berikut ini meneguhkan nikmat Allah berikutnya untuk manusia, “(Allah) mengajarinya pandai berbicara.” (QS. al-Rahman/55: 4).
Bagi Syaikh Nawawi, inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan nikmat ini, Allah memberi ilham kepada manusia dengan memberi nama pada segala sesuatu, seperti makhluk hidup yang meliputi flora dan fauna. Pun benda mati dengan miliaran jumlahnya. Dengan nama-nama itu, terjadilah komunikasi lisan. Manusia saling berbicara dengan sesamanya.
Dengan pandai berbicara, tulis al-Maraghi, manusia dapat mengungkapkan semua yang ada di dalam benak. Dengan pandai bicara Nabi dapat mengajari para sahabat membaca al-Qur’an secara tartil. Dengan pandai berbicara al-Qur’an dibaca saat shalat dan di luar shalat. Menariknya, secara harfiah, al-Qur’an bermakna “yang dibaca”.
Selanjutnya dengan pandai bicara, manusia menciptakan bahasa melalui proses budaya. Bicara dan bahasa inilah yang membuat manusia saling memahami, saling membutuhkan satu sama lain.
Pada gilirannya, kesamaan bahasa menjadikan manusia satu bangsa. Dengan kesamaan bangsa, untuk mengatur kepentingan hidup bersama, manusia mendirikan negara-bangsa (nation-state). Umumnya, nation-state dibentuk berdasar fakta bahwa entitas teritorial negara sama besarnya dengan bangsa.
Secara pedagogis, dalam pandangan al-Maraghi, di awal surah al-Rahman mula-mula Allah menitikberatkan pada apa yang harus dipelajari, yakni al-Qur’an. Dalam mempelajari al-Qur’an ada proses komunikasi lewat bicara. Berikutnya Allah memberi motivasi untuk belajar, guru pertama tentu Allah dan Nabi. Pesertanya adalah para sahabat.
Selanjutnya, Allah mengurai cara belajar, yakni dengan metode atensi-komunikatif dengan media mulut atau lisan yang Allah ajarkan pandai berbicara. Dalam ayat lain, Allah menyinggung, “Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata. Dan lidah serta sepasang bibir?” (QS. al-Balad/90: 8-9).
Di dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengutip satu hadits qudsi yang sangat menarik. “Aku telah menjadikan lisan bagimu dan Aku menjadikan pula baginya penutupnya. Maka berbicaralah dengan apa yang telah Aku perintahkan kepadamu dan apa yang telah Aku halalkan bagimu. Dan jika ditawarkan kepadamu apa yang telah Aku haramkan bagimu, maka diamlah.”
Namun, kendati Allah mengajarkan manusia pandai bicara, Allah menegaskan, “Katakan kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (dan benar).” (QS. al-Israa/17: 53). Nabi juga mewanti-wanti, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Dai Lembaga Dakwah Darul Akhyar (LDDA) Kota Depok.