Mata Akademisi, Milenianews.com – Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab secara mutawatir, yang membacanya merupakan ibadah. Begitulah definisi Al-Qur’an dalam buku Tauhid karya Syeikh Abdullah bin Abdul Wahab. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia dan menjadi sumber hukum pertama sebelum sunnah dalam berbuat dan beramal di muka bumi.
Dipandang sebagai sumber hukum Islam yang utama, para tokoh klasik kemudian mempertanyakan bagaimana kedudukan atau status Al-Qur’an itu sendiri. Pertanyaan ini menimbulkan perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh dari berbagai aliran teologi Islam mengenai status Al-Qur’an. Aliran-aliran yang memperdebatkan permasalahan tersebut di antaranya adalah Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Murji’ah.
Baca juga: Generasi Muda dan Krisis Akar Teologi: Ke Mana Asy’ariyah Pergi?
Ketiga aliran ini—Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Murji’ah—masih bertumpu pada sumber hukum yang sama, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Perbedaannya terletak pada pendapat dan keyakinan yang mereka pegang. Masing-masing aliran dalam teologi Islam ini muncul sebagai respons terhadap konflik yang ada.
Mu’tazilah lahir dari pandangan mengenai al-manzilah baina al-manzilataini terhadap pelaku dosa besar, yang dikemukakan oleh Washil bin Attha. Dalam hal ini, Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar berada pada satu posisi di antara dua posisi: tidak mukmin, namun juga tidak kafir.
Perjalanan Pemikiran Imam al-Asy’ari
Berbeda halnya dengan Asy’ariyah, yang lahir dari seorang tokoh Mu’tazilah, yaitu Hasan bin Ali al-Asy’ari. Beliau awalnya adalah murid dari seorang guru yang menganut aliran Mu’tazilah. Imam al-Asy’ari menghabiskan waktu dan tenaganya selama empat puluh tahun untuk mempelajari pandangan Mu’tazilah. Ia kemudian meninggalkan aliran tersebut pada usia keempat puluh karena ketidakpuasan terhadap jawaban gurunya mengenai keadilan Tuhan yang dianggap bisa diukur oleh akal manusia.
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa Imam al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena mengajukan gagasannya sendiri. Ia menyatakan bahwa semua golongan memiliki kebenaran dan kekuatan argumen yang setara, namun akhirnya menyatakan bahwa ia meninggalkan Mu’tazilah atas dasar petunjuk dari Allah SWT.
Perbedaan aliran dalam teologi Islam tidak hanya bertumpu pada dua aliran di atas. Masih banyak aliran lain yang muncul akibat perbedaan pendapat, salah satunya adalah Murji’ah, yang juga membahas mengenai status Al-Qur’an. Murji’ah lahir dari perseteruan politik antarsahabat yang dikenal dengan sebutan Perang Shiffin.
Mereka muncul bersamaan dengan Khawarij dan Syi’ah yang sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah. Khawarij menentang Bani Umayyah dengan alasan bahwa mereka menyeleweng dari ajaran Islam, sedangkan Syi’ah menolak karena menganggap Bani Umayyah merebut kekuasaan khilafah dari Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Bersamaan dengan peristiwa Perang Shiffin, muncullah aliran Murji’ah sebagai aliran netral—tidak berpihak kepada Khawarij maupun Syi’ah.
Awal Pemikiran tentang Kemakhlukan Al-Qur’an
Pemikiran mengenai status Al-Qur’an dalam teologi Islam bermula dari gagasan Jahm, yang merupakan murid dari Ja’ad. Ja’ad adalah seorang penganut Mu’tazilah pada masa Dinasti Umayyah. Ia menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dengan berpegang pada dalil-dalil pemikiran Mu’tazilah tentang sifat Allah. Pemahaman ini ia sebarkan kepada masyarakat sekitar di Damaskus.
Penyebaran doktrin kemakhlukan Al-Qur’an ini kemudian diketahui oleh pemerintah yang berkuasa saat itu. Karena dianggap menimbulkan kekacauan, Ja’ad melarikan diri ke Kufah untuk menghindari penangkapan. Namun, keberadaannya diketahui oleh pemerintah Bani Umayyah setelah dilaporkan oleh pihak keluarganya sendiri.
Perseteruan yang timbul akibat pemikiran Mu’tazilah tentang status Al-Qur’an terus berlanjut, mulai dari masa akhir Daulah Bani Umayyah hingga Dinasti Abbasiyah, terutama pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Pada akhirnya, masing-masing aliran memiliki perspektif tersendiri mengenai status Al-Qur’an.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan qadim dan bukan pula kalam. Pada masa Khalifah Al-Ma’mun, diadakanlah mihnah, yaitu proses pemeriksaan terhadap para tokoh besar mengenai pandangan mereka tentang Al-Qur’an. Orang-orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bersifat qadim dikenai siksaan.
Kesimpulan utama dari aliran Mu’tazilah adalah bahwa Al-Qur’an merupakan makhluk, bukan kalam. Menurut mereka, jika Al-Qur’an adalah kalam Allah, maka Al-Qur’an bersifat qadim. Mereka menganggap mustahil adanya dua hal yang qadim karena bertentangan dengan konsep tauhid murni.
Asy’ariyah memiliki pandangan yang menarik mengenai status Al-Qur’an. Mereka menganggap bahwa Al-Qur’an bersifat qadim atau eternal. Ke-qadiman Al-Qur’an merupakan konsekuensi logis dari ke-qadiman Allah SWT, yang bermakna Zat yang telah ada sejak sebelum segala sesuatu ada. Karena Allah SWT bersifat qadim, maka kalam-Nya pun niscaya bersifat qadim.
Murji’ah, yang lahir sebagai reaksi terhadap pertikaian antarsahabat, memiliki pendekatan yang berbeda. Mereka tidak memperdebatkan status Al-Qur’an karena fokus utama mereka adalah pada aspek ketauhidan dan keimanan seseorang. Bagi Murji’ah, Al-Qur’an wajib diimani sebagai sumber hukum, tanpa perlu memperdebatkan apakah ia bersifat makhluk atau qadim.
Penulis: Hana Natasya, Dosen serta Yusni, Siti Asmiyanun Hasibuan, Naila Azfi Atifah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.