Yangon, Kota yang Hidup di Antara Masa Lalu dan Doa yang Menggema

Milenianews.com – Ini sebenarnya negara hebat yang punya sejarah panjang sebagai pusat kerajaan besar di masa lampau. Banyaknya candi dan pagoda di negara ini menjadi bukti kebesaran masa lalu. Dulu namanya Burma. Negara ini berbatasan dengan Thailand, Laos, China, dan India, serta merupakan peserta inti Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.

Negara ini memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, menjadi negara berkembang yang kaya akan budaya, tradisi, dan warisan sejarah. Ibu kotanya adalah Naypyidaw, yang baru ditetapkan sejak tahun 2005. Sebelumnya, ibu kotanya adalah Yangon. Saat ini, Yangon tetap menjadi kota terbesar serta pusat ekonomi dan perdagangan. Kota ini terkenal karena perpaduan antara arsitektur kolonial Inggris, bangunan modern, dan kuil-kuil Buddha yang megah.

Baca juga: Jejak Transformasi Uni Emirat Arab: Dari Padang Pasir Menuju Kemakmuran

Maha Bandoola Park, saya berada di sini. Ini adalah “Monas”-nya Myanmar, taman kota yang terletak di pusat kota dan berfungsi sebagai ruang hijau publik. Di sini terdapat Sule Pagoda dan Yangon City Hall. Nama Maha Bandoola diambil dari nama jenderal Myanmar dalam Perang Anglo-Burma.

Perang ini dianggap sebagai awal pergerakan rakyat menuju kemerdekaan, sekaligus peralihan dari era kolonial menuju kebanggaan nasional. Di tengah taman terdapat Monumen Kemerdekaan untuk memperingati kemerdekaan dari Inggris tahun 1948. Monumen setinggi 46 meter ini berbentuk obelisk putih bergaya klasik yang terbuat dari marmer, dikelilingi taman bunga melingkar.

Berada di dalam taman, suasana hiruk pikuk kota serasa mereda. Jalur jalan paving membelah taman, dikelilingi rumput, semak bunga, dan deretan pohon rindang. Dari titik lapang di tengah taman, pengunjung bisa melihat bangunan-bangunan bersejarah yang mengelilingi taman. Balai Kota Yangon menampilkan arsitektur Burma klasik yang berpadu dengan gaya kolonial.

Taman ini tampak seperti taman kota lain di dunia; pagi hari dipenuhi oleh orang-orang berolahraga—senam, lari, jogging, dan yang populer di sini: tai chi. Melihat tata lampu di sekelilingnya, malam hari taman ini tentu menjadi tempat yang nyaman untuk berkumpul.

Pagoda, Lambang Identitas Bangsa

pagoda

Pagoda Shwedagon adalah ikon warisan budaya Buddha yang paling terkenal. Sebuah stupa berlapis emas setinggi 99 meter ini merupakan situs keagamaan yang suci, menjadi lambang spiritual sekaligus kebanggaan masyarakat. Letaknya di puncak Bukit Singuttara, diyakini telah berdiri sejak 2.500 tahun lalu sehingga dianggap sebagai pagoda tertua di dunia.

Bangunan utama yang menjulang tinggi dilapisi emas murni, dan di puncaknya dihiasi ribuan permata, termasuk satu berlian besar. Pagoda tampak semakin sakral dan megah saat berlian di puncak terkena cahaya matahari.

Di sekeliling stupa emas terdapat ratusan kuil kecil, patung-patung Buddha, serta ornamen keagamaan yang menambah keindahan dan keagungan Shwedagon. Setiap hari banyak wisatawan berkunjung ke situs bersejarah ini. Bagi penganut Buddha, datang ke sini bukan hanya wisata, melainkan juga ziarah dan ibadah: berdoa, mempersembahkan bunga, menyalakan lilin, serta memanjatkan harapan. Suasana makin indah dan khidmat ketika matahari terbenam, saat stupa dan patung memantulkan warna keemasan di seluruh permukaan.

Alkisah, di pagoda ini tersimpan relik—jejak Buddha Gautama berupa delapan helai rambut suci yang dibawa oleh dua saudagar penyebar agama Buddha di Myanmar. Lempengan emas yang melapisi pagoda merupakan sumbangan umat Buddha di seluruh Myanmar sebagai bentuk bakti. Ribuan permata di puncaknya berjumlah lebih dari lima ribu butir, termasuk satu berlian besar seberat 76 karat.

Para peziarah mengelilingi stupa utama searah jarum jam sambil berdoa. Di sekeliling kompleks juga terdapat patung hewan yang melambangkan penjaga pagoda, antara lain singa dan gajah putih—simbol kekuatan dan kesucian.

Selain fungsi religius, pagoda ini juga memiliki makna sosial dan budaya. Di sini kerap diadakan berbagai peristiwa budaya dan nasional penting, termasuk pidato nasionalis Aung San pada masa perjuangan kemerdekaan. Hingga kini, Shwedagon tetap menjadi lambang identitas bangsa—tempat spiritualitas, budaya, dan sosial berpadu dalam keagungan.

Myanmar dan pagoda adalah dua hal yang tak terpisahkan. Selain Shwedagon, ada Sule Pagoda yang juga penting, bukan hanya sebagai bangunan suci, tetapi juga landmark kota—penanda sejarah dan titik pertemuan spiritualitas masa lalu serta masa kini di jantung kota. Pagoda ini lebih rendah, tingginya 46 meter, berbentuk segi delapan yang melambangkan keseimbangan dan arah mata angin dalam ajaran Buddhisme. Dikelilingi kuil kecil dan patung Buddha, pagoda ini masih aktif sebagai tempat ibadah. Di sekitarnya banyak pedagang lilin, dupa, dan bunga untuk persembahan.

Lokasinya di pusat kota membuat pagoda ini sering menjadi titik peristiwa sejarah. Pada tahun 1988 dan 2007, kawasan ini menjadi pusat demonstrasi besar, sehingga Sule Pagoda dikenal juga sebagai simbol perjuangan rakyat. Di sekelilingnya terdapat Yangon City Hall, Maha Bandoola Park, dan Immanuel Baptist Church—menunjukkan keragaman budaya.

Wisatawan melepas alas kaki, diizinkan berkeliling pelataran pagoda, melihat umat bermeditasi, menyalakan lilin, membawa bunga, dan berdoa dengan khusyuk. Dari tangga masuk, aroma dupa dan lantunan doa lembut menciptakan ketenangan di tengah hiruk pikuk kota.

Bogyoke Aung San Market: Tempat Mengenal Budaya Rakyat

bogyoke market

Sebagai ciri khas kota di negara berkembang, pasar tradisional tetap menjadi pusat aktivitas sosial yang penting di Yangon. Bogyoke Aung San Market adalah pasar tradisional terbesar di Yangon. Selain tempat jual beli, pasar ini juga menjadi destinasi wisata. Didirikan oleh pemerintah kolonial Inggris tahun 1926 dengan nama Scott Market, setelah kemerdekaan tahun 1948 namanya diubah menjadi Bogyoke Aung San—artinya “Jenderal Besar Aung San,” bapak bangsa Myanmar.

Pasar berbentuk persegi panjang ini memiliki lorong-lorong sempit dengan luas sekitar empat hektare dan menampung sekitar dua ribu kios. Sekitar 40% di antaranya menjual batu mulia seperti rubi, safir, dan giok. Sisanya menjual kain, sutra, obat tradisional, serta suvenir. Ada juga area rempah yang aromanya semerbak, serta tempat berjualan sayur, ikan, dan daging.

Penjualan tekstil dan sutra menjadi daya tarik tersendiri di pasar ini. Sutra Myanmar yang disebut Shwe Chi To—kain emas bersulam—merupakan produk lokal bernilai tinggi. Ditenun secara tradisional menggunakan alat tenun kayu, umumnya bermotif simetris dan bercorak bunga lokal. Kain sarung juga menjadi produk tekstil utama. Berbeda dengan di Indonesia yang identik dengan ibadah, di Myanmar kain sarung (disebut longyi) adalah pakaian tradisional resmi yang dipakai pria dan wanita. Memakai longyi membantu menetralkan udara panas dan lembap, sekaligus menunjukkan rasa hormat terhadap tradisi.

Salah satu hal unik di pasar ini adalah para pedagang—baik laki-laki maupun perempuan—yang berbedak tebal menggunakan thanaka. Bedak tradisional ini dibuat dari kayu thanaka yang dihaluskan dan dicampur air, berfungsi menyejukkan kulit dan melindungi dari panas matahari.

Tradisi ini sudah berlangsung lebih dari 2.000 tahun dan dianggap sebagai simbol kecantikan serta kebersihan diri. Kebiasaan lain yang masih terlihat adalah mengunyah sirih, campuran daun sirih, kapur, dan pinang—kadang dengan tembakau—seperti yang masih ada di Papua dan beberapa daerah Indonesia. Tradisi ini merupakan warisan sosial kuno yang menandakan keramahan dan dipercaya dapat meningkatkan stamina selama bekerja.

Masjid, Bagian dari Kehidupan Masyarakat Yangon

masjid di yangon

Menelusuri Yangon lebih jauh berarti mengikuti jejak kota tua. Seperti banyak kota bekas jajahan, Yangon memperlihatkan pertemuan masa lalu dan masa kini dalam satu ruang—penuh jejak sejarah dan budaya. Di wilayah pusat kota yang sibuk, berdiri deretan bangunan kolonial, tempat ibadah berbagai agama, serta pasar tradisional yang masih hidup hingga kini. Salah satu ciri khas kawasan lama Yangon adalah keberagaman agama dan etnis yang hidup berdampingan. Di antara bangunan-bangunan masa lalu berdiri tempat ibadah yang mencerminkan wajah plural Myanmar.

Ada beberapa masjid di Yangon, dan di setiap masjid biasanya terdapat restoran halal. Di masjid besar seperti Surti Sunni Jame, Bengali Jame, dan Cholia Dargah, para jamaah duduk di bangku mengelilingi pedagang kaki lima sambil menyeruput teh susu atau kopi pahit. Cholia Dargah Mosque menjadi pusat aktivitas muslim keturunan India dan Cholia. Di dekatnya berdiri megah St. Mary’s Cathedral bergaya gotik, serta Sri Kali Hindu Temple yang memancarkan warna-warni khas India Selatan.

Masjid Cholia Dargah berdiri sejak tahun 1886 di kawasan pusat kota, dekat Bogyoke Aung San Market. Lokasinya strategis dan mudah dijangkau, sehingga banyak dikunjungi penduduk setempat maupun wisatawan. Dari kejauhan, menara putih dan kubah hijau zamrudnya tampak menonjol di antara deretan gedung kolonial peninggalan Inggris. Ketika suara adzan bergema di tengah kesibukan kota, itu menjadi penanda keberadaan komunitas muslim di Yangon.

Baca juga: Ho Chi Minh dan Pesona Sungai Saigon di Malam Hari yang Tak Terlupakan

Masjid ini dibangun tahun 1886 oleh komunitas muslim keturunan India Selatan yang dikenal sebagai Chulia—pedagang Tamil dari kawasan Malabar yang datang ke Burma (Myanmar) melalui jalur laut. Mereka menetap dan berniaga pada masa penjajahan Inggris, mendominasi perdagangan rempah, tekstil, dan logistik pelabuhan.

Kata Dargah dalam nama masjid ini menunjukkan adanya makam atau tempat peringatan tokoh sufi yang dihormati. Pada masa penjajahan, masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat berkumpulnya tokoh masyarakat untuk berdiskusi dan mempererat solidaritas sesama imigran.

Arsitektur Masjid Dargah dipengaruhi gaya Mughal dan kolonial Inggris. Sentuhan Mughal khas Asia Selatan terlihat dari kubah utama berwarna hijau zamrud yang menjulang di atas struktur putih pucat—menandakan kesederhanaan dan keanggunan.

Fasad masjid dihiasi ornamen lengkung simetris, sementara bagian dalamnya berhiaskan kaligrafi Arab. Ciri khas Asia Selatan lainnya adalah keberadaan kolam kecil untuk berwudu di halaman masjid. Area wudu ini sering menjadi tempat bersantai jamaah sebelum salat berjamaah dimulai. Ruang utama salatnya luas dan berpendingin—tanda bahwa pengurus masjid merawatnya dengan baik.

Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *