Milenianews.com – Bayangkan peta Timur Tengah. Di Jazirah Arab, ada Arab Saudi—rasanya kita hafal bentuknya. Di jazirah itu, Arab Saudi memiliki wilayah paling luas. Selain itu, ada juga Yaman, Oman, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UAE), negara berukuran kecil dibandingkan keseluruhan wilayah Jazirah Arab.
UAE adalah negara federasi, gabungan dari tujuh emirat yang masing-masing dipimpin oleh seorang penguasa sendiri—seorang emir atau raja. Mereka bersama-sama membentuk Dewan Tertinggi, yang memilih presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dipilih di antara mereka.
Sebelum bekerja sama dengan Inggris pada tahun 1820, wilayah UAE oleh bangsa Eropa disebut sebagai Pantai Perompak. Wilayah ini dihuni oleh berbagai suku Arab yang masing-masing mandiri, dengan kehidupan ekonomi yang bertumpu pada perdagangan, perikanan, dan pencarian mutiara. Saat itu tidak ada pemerintahan terpusat; masing-masing suku memiliki aturan dan pemimpinnya sendiri. Persaingan serta kepentingan ekonomi sering menimbulkan perompakan dan pertempuran di laut. Kerusuhan ini merepotkan Inggris dan India yang memiliki kepentingan ekonomi di wilayah tersebut sebagai mitra dagang utama.
Baca juga: Menjejak Keajaiban Laut Utara: Dari Rennes ke Mont Saint-Michel, Pesona Abadi Prancis
Lahirnya Uni Emirat Arab dan Awal Pembangunan Modern
Melalui kekuatannya, Inggris dan India pada tahun 1820 berhasil menekan para pemimpin suku untuk menandatangani perjanjian agar tidak saling menyerang di laut. Inggris juga memperoleh hak menempatkan pasukan untuk mengamankan jalur perdagangan di wilayah ini, khususnya menuju India—daerah jajahan Inggris saat itu, sekaligus pusat perdagangan mereka di Asia. Pada tahun 1968, seiring perkembangan global, Inggris mulai menarik pasukannya dari wilayah ini dan menyerahkan pengamanan kepada masing-masing negara.
Untuk mengatasi persaingan perdagangan yang semakin tinggi serta masalah keamanan, pada tahun 1971 enam negara emirat membentuk Uni Emirat Arab (UAE). Selanjutnya, pada tahun 1972, Ras Al Khaimah bergabung sehingga UAE terdiri dari tujuh emirat. Pada tahap awal, Kepala Negara Emir Abu Dhabi, Sheikh Zayed, menjadi presiden pertama. Ia menjadi pemimpin awal sekaligus peletak konsep pembangunan yang melahirkan keajaiban ekonomi di daerah padang pasir ini. Atas kesuksesan membangun UAE di tahap awal, Sheikh Zayed dinobatkan sebagai Bapak Bangsa.
Menelusuri ke belakang, pada tahun 1960 Abu Dhabi sudah bekerja sama dengan Inggris mengekspor minyak bumi. Setelah pembentukan federasi, UAE melangkah cepat dalam pembangunan ekonomi. Abu Dhabi dan Dubai, dua wilayah dengan cadangan minyak besar, memperkuat industri sektor minyak dan gas bumi. Hasil perdagangan digunakan untuk membangun infrastruktur. Sejak itu, mereka dengan cepat membangun jalan lintas negara, jembatan, pelabuhan, dan bandar udara.
Pembangunan ini menjadi tonggak bahwa negara tidak hanya bergantung pada minyak dan gas, tapi juga mengandalkan konektivitas global. Bandara Abu Dhabi dan Dubai disiapkan menjadi pusat penerbangan antara Eropa, Asia, dan Afrika.
Jejak sejarah di tenda-tenda Bedu, yang dahulu umum dihuni penduduk, mulai tergantikan dengan rumah beton. Jalan lebar dan lurus menggantikan jalan berdebu. Kesadaran bahwa ekonomi berbasis minyak tidak akan bertahan lama mendorong para emir melakukan diversifikasi. Dubai mulai mengembangkan sektor pariwisata, properti, dan keuangan. Investor asing diundang melalui berbagai kemudahan seperti potongan pajak dan kepemilikan properti bagi warga asing di lokasi tertentu. Abu Dhabi melangkah searah, membangun kawasan baru untuk pemukiman, properti, hiburan, dan budaya.
Burj Al Arab dan Burj Khalifa: Mengubah Pandangan Dunia

Tidak sampai tiga puluh tahun setelah terbentuknya UAE, akhir dekade 1990-an, dunia terpesona dengan Burj Al Arab—hotel ikonik di Dubai. Dengan hotel ini, Uni Emirat Arab memproklamasikan simbol kemajuan, kemewahan, dan identitas modern kepada dunia. Nama besar seperti Hilton atau Ritz-Carlton pun terasa biasa saja.
Bentuk hotel yang terinspirasi dari dhow—kapal layar tradisional Arab—menjadikannya bangunan yang tak bisa diabaikan ketika orang memasuki kawasan Pantai Jumeirah. Dari kejauhan, orang akan tahu: ini Dubai, UAE. Hotel setinggi 321 meter ini seluruh kamarnya berupa suite mewah dengan marmer langka, atrium tinggi, dan dekorasi berlapis emas 24 karat, menegaskan kelas ekstra-premium.
Lalu, pada tahun 2010, dunia kembali dibuat takjub oleh hadirnya Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia. Dengan ketinggian 828 meter, Burj Khalifa jauh melampaui Taipei 101 (508 m) yang dibangun tahun 2004. Bahkan, gedung legendaris Empire State Building (381 m, 1931) dan Menara Eiffel (330 m, 1889) pun tampak kecil di hadapannya.
Burj Khalifa menjadi ikon kebanggaan sekaligus pencapaian arsitektur modern. Terletak di pusat kota Dubai, menara ini simbol kemajuan dan kemewahan yang lahir di tengah gurun pasir. Desainnya terinspirasi dari bunga gurun Hymenocallis yang elegan dan simetris.
Menara ini memiliki 163 lantai; sekitar 200 meter di puncak tidak dihuni, namun tetap menjadi bagian penting struktur dan arsitektur. Kawasan Burj Khalifa berdiri di atas lahan 34 hektare, termasuk mal seluas 11 ha dan Burj Lake 12 ha. Dengan 1.200 toko, 200 restoran, dan taman luas, kawasan ini menarik lebih dari 100 juta pengunjung per tahun, termasuk sekitar 17 juta wisatawan asing. Sebagai perbandingan, wisatawan asing ke Indonesia tahun 2024 mencapai 13,9 juta orang.
Mutton Kabsa, Nasi Kambing Berbumbu yang Jadi Pilihan

Mampir di Wahda Mall, Abu Dhabi—tak ada mall kecil di sini. Dari luar tampak mewah dan elegan, bagian dalamnya modern dan luas, mencerminkan kemewahan khas Timur Tengah. Saya datang karena ini disebut mall favorit, menawarkan pengalaman belanja yang lengkap dan nyaman.
Saya bukan tipe yang berbelanja, tapi suka melihat budaya setempat, perilaku penduduk dan wisatawan, juga kulinernya. Berkeliling cukup lama, cuci mata di kehidupan ultra mewah Timur Tengah—ini unik dan meningkatkan kepercayaan diri umat Muslim. Dulu, kemewahan seperti ini hanya ditemui di Barat, Hong Kong, atau Singapura.
Setelah beberapa kali naik eskalator, saya tiba di lantai tiga. Di sini ada food court ramai pengunjung: warga lokal dan orang asing. Banyak gerai mandiri dengan hidangan Timur Tengah dan mancanegara. Makanan khas UAE sulit dibedakan karena kuliner Timur Tengah mirip satu sama lain: ada chicken biryani, shawarma rice, dan mutton kabsa—disajikan oleh restoran bergaya Lebanon, Arab, atau India.
Saya memilih mutton kabsa—nasi kambing berbumbu. Nasi basmati dimasak bersama potongan daging kambing dan rempah seperti kapulaga, kayu manis, jintan, cengkih, dan lada hitam. Aromanya harum, rasanya kaya, dan dagingnya lembut karena dimasak perlahan. Saya makan sendirian, tapi keluarga yang datang bersama menyantapnya di nampan besar, dihiasi kismis, kacang almond, dan irisan tomat.
Dari Padang Pasir ke Pusat Dunia
Tak sampai setengah abad, UAE—dimotori Abu Dhabi dan Dubai—berubah dari kota pesisir sederhana menjadi dua pusat ekonomi global. Perubahan ini hasil perpaduan visi kepemimpinan, konsistensi kebijakan, serta pengelolaan sumber daya alam dengan bijak.
Para penguasa tidak hanya berperan sebagai raja tradisional, tapi juga arsitek bangsa. Kekayaan dari minyak digunakan untuk membangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan cadangan investasi nasional.
Untuk tumbuh cepat, diberlakukan kebijakan imigrasi longgar dan keterbukaan budaya. Abu Dhabi dan Dubai menjadi rumah bagi ribuan pekerja asing, menciptakan masyarakat kosmopolitan yang produktif dan inovatif.
Mereka membuktikan bahwa dengan visi masa depan dan perhatian pada keberlanjutan ekonomi, sosial, serta lingkungan, bangsa muda pun bisa tumbuh menjadi kekuatan global.
Masjid Sheikh Zayed yang Penuh Pesona

Kunjungan ke Sheikh Zayed Grand Mosque di Abu Dhabi adalah salah satu yang paling berkesan. Kubah putih megah dan menara berkilau disinari matahari gurun. Area masjid yang luas menciptakan suasana tenang dan anggun, seolah menyambut pengunjung untuk datang dengan hati bersih dan penuh syukur.
Keindahan arsitektur Islam berpadu dengan sentuhan modern. Ada seni dari berbagai negara—kaligrafi Islam dan ukiran bunga dari China hingga Jerman. Masjid ini berdiri di atas lahan 12 hektare dengan panjang 420 meter, lebar 290 meter, dan 82 kubah. Kubah utama setinggi 84 meter berdiameter 32,6 meter. Masjid ini mampu menampung 40.000 jemaah, menjadikannya salah satu yang terbesar di dunia.
Setelah melewati pemeriksaan panjang, akhirnya saya masuk ke ruang utama dengan karpet raksasa buatan Iran tanpa sambungan. Lampu kristal Swarovski memancarkan cahaya lembut, melengkapi keagungan ruangan. Suasana hening dan sakral mengetuk hati. Banyak yang salat, berdoa, atau hanya diam mengagumi keindahan interiornya.
Baca juga: Bandar Sri Begawan, Ibu Kota yang Tidur dalam Kemewahan
Selain tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai pusat pendidikan, kajian, dan dialog lintas budaya. Pengunjung non-Muslim bisa berwisata sekaligus belajar tentang nilai Islam yang penuh toleransi.
Sheikh Zayed, Bapak Bangsa, menggagas pembangunan masjid ini pada akhir 1980-an. Konstruksi dimulai tahun 1996 dan dibuka untuk pertama kalinya pada Iduladha 2007. Ia ingin masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga simbol budaya Islam, dialog antarbangsa, dan toleransi antarumat. Sheikh Zayed wafat tahun 2004 dan dimakamkan di halaman masjid ini.
Menjelang sore, cahaya matahari bergeser ke barat, menciptakan bayangan keemasan di kubah. Pantulan dari kolam-kolam di sekitar masjid menambah keindahan yang menenangkan.
Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.









