Milenianews.com, Mata Akademisi– Siapa bilang mengungkap keburukan calon pemimpin dilarang? Pro dan kontra terkait boleh tidaknya mengungkap kekurangan bahkan keburukan calon pemimpin mewarnai kentesitas pemilihan presiden dan wakil presiden.
Masing-masing pendapat kental dengan unsur subjektivitas. Bisa jadi mereka yang melarang pengungkapan keburukan calon pemimpin disebabkan calon yang diusung nyata-nyata memiliki banyak kekurangan dan keburukan serta tidak memiliki kriteria calon pemimpin sesuai ajaran Islam sehingga apabila terungkap berpotensi tidak terpilih.
Termotivasi oleh tujuan agar umat Islam tidak terpedaya dan tertipu oleh doktrin yang keliru dari mereka yang haus kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, berikut goresan kami yang bersumber dari literatur ilmiah.
Dalam memilih calon pemimpin perlu kiranya menggunakan metode kritik terhadap keperibadiannya. Dalam Islam metode tersebut secara eksplisit ada pada ilmu hadis, yaitu ilmu al-Jarah wa at-Ta’dîl, walau ilmu ini hanya untuk mengkritisi kredibilitas periwayat hadis. Tapi, untuk menentukan kepribadian calon pemimpin, sejatinya ilmu kritik rawi dapat dipakai untuk memilih pemimpin ataupun wakil rakyat. Maka, Teori kredibilitas sebagai pendukung juga sangat punya peranan penting untuk menjadikan teori al-Jarah wa at-Ta’dîl menjadi bermakna untuk menentukan calon pemimpin baik eksekutif maupun legeslatif yang sebentar lagi dilaksanakan di Indonesia.
Selain kita berkewajiban untuk berpartisipasi, mengawasi dan mengawal pelaksanaan penyelenggaraan pemilu kita dituntut untuk bisa mengenal lebih baik para calon yang ikut berkompetisi.
Secara fiqhiyah, pemilihan presiden dan bisa dianalogikan (qiyas) dengan jual beli atau pernikahan. Proses pemberian suara dapat disebut sebagai “aqd” pernikahan atau “ijab kabul” dalam jual beli. Karena itu, sebelum proses pemilihan semua pemilih harus mengenal lebih baik siapa yang akan dipilih. Jika dikaitkan dengan hadits, maka pemilih harus mengetahui benar siapa yang akan memimpinnya. Calon pemimpin adalah orang yang diharapkan membawa aspirasi rakyat dengan amanah dan jujur.
Al-jarh secara bahasa berarti melukai, mencaci-maki, membatalkan. Al-ta’dil berarti menyucikan, menunjukkan kebaikan, memuji. Jika kedua kata tersebut digabungkan, jarh wa ta’dil berarti menunjukkan kelemahan dan kelebihan seseorang dengan disertai bukti-bukti dan sikap apa yang harus dilakukan terhadapnya. Dalam ilmu hadits, seorang dianggap cacat (dhaif) apabila ingatannya lemah, akhlaknya tercela dan pernah berdusta. Apabila seseorang ingatannya lemah, tetapi akhlaknya baik dan tidak pernah berdusta maka hadits yang diriwayatkan masih bisa diterima apabila tidak bertentang dengan hadits yang shahih. Jadi kriteria utama yang menjadi ukuran cacat atau ‘adilnya seseorang adalah akhlaknya, terutama kejujurannya.
Dari penjelasan tersebut dapat diambil dua kesimpulan:
Pertama, kualitas seorang perawi hadits sangat ditentukan oleh kepribadian dan akhlaknya, terutama kejujurannya. Jika seorang pendusta atau pernah berdusta meriwayatkan sebuah hadits, besar kemungkinan dia berdusta hingga riwayatnya ditolak.
Kedua, kelebihan dan kekurangan seseorang tidak perlu ditutup-tutupi. Penyampaian kelebihan dan kekurangan seseorang justeru bisa menimbulkan dampak positif bagi orang yang bersangkutan dan bagi masyarakat. Dengan mendengarkan kritik atau celaan orang lain, diharapkan dia dapat memperbaiki kekurangannya dan sadar akan dirinya.
Karena itu, agar masyarakat tidak salah memilih sebaiknya dilakukan jarh wa ta’dil terhadap para calon pemimpin. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengenal dengan baik kualitas, integritas dan akhlak para calon pemimpin sehingga mereka dapat memilih calon pemimpin yang tepat. Publikasi atau political tracking calon pemimpin tidak bertentangan dengan agama dan tradisi para sahabat. Yang penting, publikasi calon pemimpin disampaikan secara fair dengan menyebutkan kekurangan dan kelebihannya.
Tidak ada manusia yang sempurna. Tetapi, sebagaimana tradisi periwayatan hadits, akhlak dan kejujuran seseorang merupakan penilaian utama yang menentukan kualitas hadits. Seseorang yang kurang kuat ingatan tetapi jujur dan berakhlak mulia masih lebih baik dibandingkan dengan seorang yang ingatannya kuat tetapi pendusta dan akhlaknya tercela. Calon pemimpin yang jujur, memiliki integritas moral-agama lebih baik dibandingkan dengan mereka yang cerdas tetapi tidak jujur, korup dan ahli maksiat. Yang terbaik adalah mereka yang ingatannya kuat (tsiqqah), cerdas dan berkahlak mulia. Jika ada calon pemimpin seperti yang terakhir ini, pilihlah mereka. Jangan pilih yang busuk.
Penulis: Ustadz Hasan Yazid Al-Palimbangy
*) Sumber: diramu dari buku “Deformalisasi Islam”