Milenianews.com, Mata Akademisi – Analisis implementasi paradigma tauhid dalam program berita dan talkshow televisi Indonesia mengungkap proses sistematis dalam mengislamisasi praktik jurnalistik dan produksi konten. Beberapa stasiun televisi, seperti yang tercermin dalam studi terhadap program-program bernuansa Islami antara 2020-2023, secara sadar melakukan redefinisi terhadap konsep berita. Berita tidak lagi dilihat semata sebagai komoditas informasi yang mengejar sensationalism, tetapi sebagai amanah yang harus disampaikan dengan prinsip tabayyun (klarifikasi) dan kejujuran. Dalam format talkshow, terjadi pergeseran dari model debat konfrontatif menuju forum syura yang mengedepankan pencarian solusi dengan etika menghindari ghibah dan fitnah. Transformasi ini juga terlihat dalam pemilihan narasumber yang mengutamakan kedalaman ilmu dan integritas, serta dalam framing pemberitaan yang menghubungkan isu sosial-lingkungan dengan konsep khalifah fil ardh dan kemaslahatan umat.
Islamisasi ilmu komunikasi di televisi Indonesia merepresentasikan upaya transformasi paradigma dari kerangka sekuler-Barat menuju kerangka berbasis nilai tauhid. Proses ini terwujud dalam redefinisi praktik jurnalistik dan produksi konten pada beberapa stasiun televisi antara 2020-2023. Berita tidak lagi dipandang sebagai komoditas informasi yang mengejar sensasi, melainkan sebagai amanah yang harus disampaikan dengan prinsip tabayyun dan kejujuran profetik. Dalam format talkshow, terjadi pergeseran dari debat konfrontatif menuju forum syura yang mengedepankan pencarian solusi dengan etika Islam, khususnya penghindaran terhadap ghibah dan fitnah. Transformasi ini juga tampak dalam pemilihan narasumber yang mengutamakan integritas dan kedalaman ilmu keislaman, serta dalam framing pemberitaan yang menghubungkan isu sosial-lingkungan dengan konsep khalifah fil ardh dan tanggung jawab kemaslahatan.
Implementasi paradigma tauhid ini menghadapi berbagai tantangan struktural dan kultural. Tekanan pasar dan logika rating industri media sering berbenturan dengan visi Islamisasi, menyebabkan beberapa program mengalami penurunan pemirsa awal karena dianggap kurang menghibur. Konflik internal muncul dari profesional media yang terbiasa dengan standar jurnalisme Barat, sementara resistensi eksternal hadir dalam kritik sebagian LSM yang menilai pendekatan ini sebagai pembatasan kebebasan pers. Tantangan teknis operasional mencakup kesulitan menemukan narasumber yang mumpuni dalam bidangnya sekaligus memiliki pemahaman keislaman yang memadai, serta kebutuhan menciptakan elemen produksi visual dan audio yang modern namun selaras dengan nilai syariah.
Dampak positif implementasi ini dapat dilacak melalui beberapa indikator. Survei terhadap pemirsa setia pada 2023 menunjukkan peningkatan kesadaran kritis terhadap berita sensasional, dengan mayoritas responden berpendapat media seharusnya lebih bersifat edukatif. Pada tataran kelembagaan, inisiatif ini melahirkan model “Jurnalisme Maslahah” yang mulai diadopsi secara parsial oleh stasiun lain. Praktik-praktik tersebut juga masuk ke dalam kurikulum kajian komunikasi di beberapa perguruan tinggi Islam, serta mendorong pengembangan instrumen evaluasi konten berbasis maqashid syariah.
Secara keseluruhan, studi kasus ini membuktikan islamisasi ilmu komunikasi dapat dioperasionalkan dalam media arus utama. Keberhasilannya bergantung pada komitmen institusional yang kuat, kapasitas kreatif merekonstruksi format, dan pendekatan edukatif yang sistematis. Proses ini menegaskan karakter dinamis Islamisasi ilmu sebagai proyek peradaban yang terus bernegosiasi dengan realitas sosial-politik-ekonomi. Dengan demikian, televisi berpotensi menjadi lentera aktif yang menuntun masyarakat menuju tatanan komunikasi yang beretika, bermartabat, dan berorientasi transendental sesuai visi tauhid.
Contoh islamisasi di layar kaca: Studi kasus TV Al-Hikmah
Dalam konteks media Indonesia yang mayoritas Muslim, paradigma komunikasi dominan masih dipengaruhi kerangka Barat yang sekuler dan cenderung mengabaikan dimensi spiritual. Dominasi ini terlihat dalam format berita yang mengutamakan objektivitas semu dan acara talkshow yang dirancang memancing konflik demi rating. Menanggapi hal ini, beberapa stasiun televisi dalam studi ini disebut TV Al-Hikmah secara sadar mengintegrasikan paradigma tauhid ke dalam produksi program berita dan talkshow mereka antara 2020-2023. Inisiatif ini merupakan respons terhadap kegelisahan mengenai peran media yang sekadar menjadi alat hiburan dan kapitalisme informasi.
Proses implementasi dimulai dengan rekonstruksi konsep kunci. Di redaksi TV Al-Hikmah, definisi berita bergeser dari “yang baru dan penting” menjadi “informasi valid yang mengandung maslahah dan bebas mudarat”. Prinsip tabayyun menjadi prosedur wajib sebelum penyiaran. Dalam liputan konflik, fokus kamera beralih dari eksploitasi penderitaan ke upaya resolusi dan perdamaian. Pemilihan narasumber mengutamakan kedalaman ilmu, kapasitas analitis, dan integritas moral-ketakwaan, dengan porsi lebih besar pada ulama dan cendekiawan Muslim untuk analisis isu publik.
Pada ranah talkshow, transformasi terjadi dari debat antagonistik ke model syura. Program “Duduk Bersama” dirancang dengan host sebagai moderator bijak, bukan provokator. Aturan diskusi dirumuskan untuk mencegah ghibah, fitnah, dan su’udzan, mendorong penyampaian argumentasi dengan hikmah. Setiap diskusi diakhiri kesimpulan yang merujuk prinsip universal Islam seperti keadilan dan kasih sayang. Framing berita sengaja mengaitkan isu kontemporer dengan kerangka nilai Islam, misalnya membingkai bencana lingkungan sebagai konsekuensi kelalaian peran khalifah fil ardh.
Jalan integrasi ini diwarnai tantangan serius. Tekanan rating dan ekonomi menyebabkan penurunan pemirsa awal pada program berbasis nilai, berdampak pada minat sponsor. Resistensi internal datang dari jurnalis dan produser yang terlatih dalam paradigma Barat, menganggap pendekatan baru mengancam “kebebasan pers”. Kritik eksternal dari LSM memandang inisiatif ini sebagai “Islamisasi paksa” ruang publik. Tantangan teknis mencakup kesulitan mencari narasumber yang ahli sekaligus mendalam ilmu Islamnya, serta menciptakan elemen produksi yang modern namun sesuai syariah.
Di balik tantangan, implementasi memberikan dampak positif. Survei 2023 mengungkap 72% pemirsa setia merasa lebih kritis terhadap berita sensasional, dan 65% setuju fungsi media seharusnya “mendidik dan mencerahkan”. Pada tingkat kelembagaan, praktik di TV Al-Hikmah dirujuk sebagai studi kasus di perguruan tinggi Islam, melahirkan istilah “Jurnalisme Maslahah”. Tim internal mengembangkan pedoman evaluasi konten berbasis maqashid syariah. Pengakuan datang dari MUI yang memberikan penghargaan pada program “Duduk Bersama” tahun 2022. Prinsip-prinsip seperti tabayyun mulai diadopsi stasiun lain meski tanpa label Islam eksplisit.
Kesimpulannya, studi kasus TV Al-Hikmah membuktikan islamisasi ilmu komunikasi dapat dioperasionalkan dalam industri media modern. Keberhasilan bergantung pada komitmen institusional kuat, rekonstruksi kreatif format, dan pendekatan edukatif berkelanjutan. Proses ini menegaskan islamisasi ilmu adalah negosiasi dinamis antara nilai ideal Islam dan realitas industri media. Keberlanjutan model ini ditentukan kemampuan menciptakan ekosistem media alternatif yang mandiri finansial dan unggul konten, sehingga televisi dapat menjadi lentera penuntun masyarakat menuju peradaban etis-transendental sesuai visi tauhid.
Penulis: Zavia Defatimah K.M, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













