Koherensi Berpikir Nabi Ibrahim: Rasionalitas, Wahyu, dan Pencarian Tuhan dalam Perspektif Filosofis

koherensi berpikir Nabi Ibrahim

Milenianews.com, Mata Akademisi – Koherensi dalam kisah Nabi Ibrahim a.s merujuk pada cara membangun keyakinan terhadap Tuhan yang benar melalui pengamatan empiris, penalaran logis, serta penolakan terhadap keyakinan yang saling bertentangan. Proses ini mengantarkan Nabi Ibrahim pada keyakinan yang utuh, konsisten, dan tidak terbantahkan. Dalam sejarah kenabian, kisah ini menjadi salah satu contoh paling jelas tentang pencarian kebenaran yang dilakukan secara rasional, logis, dan koheren.

Di tengah masyarakat yang memiliki kebiasaan menyembah berhala serta mengagungkan benda-benda langit seperti bintang, bulan, dan matahari, Nabi Ibrahim tidak menerima kepercayaan tersebut secara begitu saja. Keyakinan yang diwariskan secara turun-temurun justru dipertanyakan secara kritis. Melalui pengamatan terhadap alam semesta, Nabi Ibrahim menggunakan akalnya untuk menimbang dan menguji setiap klaim ketuhanan.

Koherensi Rasional dalam Pencarian Tuhan

Koherensi berpikir Nabi Ibrahim terlihat dari proses logis yang ia tempuh. Ia mengamati fenomena alam dan membandingkannya dengan konsep ketuhanan yang sejati. Ketika melihat bintang bersinar, Nabi Ibrahim berkata, “Inilah Tuhanku.” Namun, saat bintang tersebut tenggelam, kesimpulan logis pun diambil: sesuatu yang berubah dan menghilang tidak layak dijadikan Tuhan.

Proses yang sama dilakukan terhadap bulan dan matahari. Setiap kesimpulan ditarik berdasarkan apa yang diamati dan dialami secara langsung. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keyakinan Nabi Ibrahim tidak dibangun atas asumsi, melainkan melalui proses observasi dan analisis yang koheren.

Akal dan Wahyu: Relasi yang Saling Menguatkan

Rasionalitas Nabi Ibrahim tidak berhenti pada akal semata. Setelah melalui proses berpikir yang logis, ia sampai pada pengakuan akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, yang melampaui segala benda alam. Pada titik inilah, akal dan wahyu tidak dipertentangkan, tetapi justru saling menguatkan dalam pencarian kebenaran sejati.

Kisah Nabi Ibrahim menegaskan bahwa rasionalitas bukan alat untuk menolak Tuhan, melainkan sarana untuk menemukan Tuhan yang benar. Akal digunakan untuk memisahkan kebenaran dari kebohongan, sementara wahyu hadir sebagai penguat dan penegas keyakinan.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Penolakan terhadap Berhala dan Ketidakkonsistenan Logis

Penolakan Nabi Ibrahim terhadap penyembahan berhala juga didasarkan pada pertimbangan rasional. Berhala merupakan benda mati yang diciptakan manusia, tidak mampu berbicara, tidak dapat menolong dirinya sendiri, apalagi orang lain. Secara logis dan empiris, penyembahan terhadap benda semacam itu tidak memiliki dasar yang masuk akal.

Dengan demikian, koherensi berpikir Nabi Ibrahim tercermin dari konsistensi antara pengamatan empiris, logika rasional, dan kesimpulan teologis. Tuhan sejati harus bersifat kekal, tidak bergantung pada hukum alam, dan tidak mengalami perubahan.

Koherensi antara Pemikiran, Keyakinan, dan Tindakan

Koherensi Nabi Ibrahim tidak hanya tampak dalam pencarian kebenaran secara internal, tetapi juga dalam tindakannya menyampaikan kebenaran tersebut kepada orang lain. Hal ini terlihat dalam dialognya dengan Raja Namrood, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 258). Dalam perdebatan tersebut, Nabi Ibrahim kembali menggunakan penalaran rasional untuk membuktikan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.

Ia menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Ketika Raja Namrood mencoba menyanggah, Nabi Ibrahim menantangnya untuk menerbitkan matahari dari barat. Tantangan ini tidak mampu dijawab, sehingga menunjukkan keterbatasan kekuasaan manusia dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan.

Relevansi Kisah Nabi Ibrahim di Era Digital

Kisah Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa kebenaran tidak seharusnya diterima hanya karena popularitas atau kebiasaan mayoritas. Pesan ini sangat relevan di era informasi dan media sosial saat ini, ketika berita, opini, dan hoaks bercampur tanpa filter yang memadai.

Setiap informasi perlu diuji secara rasional, dianalisis secara koheren, dan ditimbang dengan akal sehat. Tanpa kemampuan berpikir kritis, manusia berisiko terjebak dalam kesesatan massal, sebagaimana kaum Nabi Ibrahim yang mengikuti kepercayaan tanpa berpikir.

Koherensi sebagai Fondasi Iman dan Nalar

Kisah Nabi Ibrahim memberikan pelajaran berharga bahwa pencarian kebenaran spiritual tidak harus memisahkan pikiran dan hati. Keduanya justru dapat disatukan untuk membangun keyakinan yang lebih dalam dan kokoh. Rasionalitas dan iman bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Dalam dunia yang penuh kebingungan dan beragam pandangan, kemampuan berpikir koheren menjadi fondasi penting dalam membangun keimanan sekaligus menyaring informasi secara bijak. Dengan meneladani cara berpikir Nabi Ibrahim, manusia diajak untuk berani berpikir kritis, bersabar dalam pencarian kebenaran, dan teguh dalam menggabungkan logika serta nurani.

Penulis: Fahrija Mahyuddina, Mahasiswa Semester 1 A (IAT) Institut Ilmu Quran (IIQ)

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *