Ilmu, Pragmatism, dan Spiritualitas: Perspektif QS. Al-Mujādilah:11 bagi Gen Z

ilmu dan spiritualitas
ilmu dan spiritualitas

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era digital yang serba instan, ilmu sering dijadikan alat meraih kesuksesan duniawi, bukan sebagai jalan kemuliaan spiritual. Fenomena ini semakin terlihat pada Gen Z, yang cenderung memilih pendidikan dan karier berdasarkan manfaat praktis, tanpa mempertimbangkan implikasi jangka panjang terhadap nilai iman dan ketakwaan. Perkembangan teknologi dan budaya digital membentuk pola pikir pragmatis, di mana pendidikan dan ilmu dinilai dari hasil instan. Media sosial dan arus informasi cepat semakin memperkuat orientasi pragmatis ini di kalangan generasi muda.

Sebagai respons, QS. Al-Mujādilah:11 menawarkan perspektif Qur’ani yang menegaskan kedudukan ilmu sebagai jalan menuju kemuliaan spiritual. Ayat ini mengingatkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu, sehingga nilai ilmu tidak hanya terletak pada manfaat praktis, tetapi juga kedalaman iman dan ketakwaan yang mengiringinya.

Sekularisasi Ilmu dan Pragmatism Gen Z

Sekularisasi ilmu adalah proses ketika pengetahuan dilepaskan dari fondasi metafisik dan nilai transendental, sehingga dipahami sebagai aktivitas netral dan duniawi. Salah satu pintu masuknya adalah pragmatisme. Dalam filsafat Barat, pragmatisme menurut William James dan John Dewey menilai kebenaran berdasarkan kegunaan dan hasil praktisnya. Survei IDN Research (2024) menunjukkan 78% Gen Z Indonesia memilih jurusan atau pekerjaan berdasarkan prospek penghasilan, bukan minat atau nilai spiritual. Pertanyaan sehari-hari seperti, “Apakah ini berguna sekarang?” menandakan dominasi pola pikir pragmatis.

Fenomena ini terlihat dari rendahnya minat terhadap ilmu dasar dan keislaman, meningkatnya pemilihan jurusan cepat menghasilkan, serta maraknya shortcut learning melalui konten singkat. Konten “cara cepat kaya” lebih viral dibanding nilai keagamaan atau keilmuan mendalam, menunjukkan sekularisasi aksiologis: ilmu tidak lagi dipandang sebagai jalan ibadah, tetapi alat mencapai tujuan duniawi.

Kritik Pemikiran Nurcholish Madjid

Dalam konteks Indonesia, Nurcholish Madjid relevan mengkritik pragmatisme Gen Z. Ia menekankan bahwa modernisasi berarti rasionalisasi untuk daya guna maksimal sesuai nilai Islam, bukan pemisahan mutlak dari iman. Madjid mendorong islamisasi ulang ilmu, sehingga manfaat praktis terintegrasi dengan iman. Pendekatan ini menyeimbangkan efisiensi digital dengan kedalaman spiritual, mengubah ilmu dari komoditas instan menjadi ijtihad dinamis yang selaras QS. Al-Mujādilah:11.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Ilmu dalam Tradisi Islam

Dalam Islam, ilmu tidak dapat dipisahkan dari iman. QS. Al-Mujādilah:11 menegaskan bahwa Allah meninggikan derajat orang beriman dan berilmu. Kata darajāt menunjukkan kemuliaan ilmu bersifat bertingkat dan tidak diukur dari hasil duniawi. Mufasir seperti Ibn Kathir dan Al-Qurthubi menegaskan kemuliaan ini bersifat moral dan spiritual, bukan status sosial atau material. Quraish Shihab menambahkan bahwa ilmu yang dimuliakan adalah yang mengarah pada kebaikan dan ketaatan, bukan sekadar keahlian teknis.

Kritik Aksiologis terhadap Pragmatism Ekstrem

QS. Al-Mujādilah:11 memberikan kritik aksiologis terhadap pragmatisme ekstrem:

  1. Ilmu tidak pernah netral dan harus terikat iman.

  2. Kemuliaan ilmu tidak ditentukan oleh hasil material.

  3. Ilmu merupakan bagian dari proses penyempurnaan diri.

  4. Orientasi belajar harus diarahkan pada ibadah.

Kritik ini bukan menolak manfaat praktis ilmu, tetapi menolak reduksi ilmu menjadi sekadar komoditas.

Paradigma Belajar Seimbang untuk Gen Z

QS. Al-Mujādilah:11 menawarkan paradigma belajar seimbang:

  • Mengintegrasikan ilmu dunia dan agama.

  • Menjadikan belajar sebagai ibadah.

  • Memanfaatkan teknologi sebagai sarana, bukan tujuan.

  • Menghargai kedalaman dan proses keilmuan.

Dengan paradigma ini, Gen Z tetap adaptif terhadap zaman digital tanpa kehilangan orientasi spiritual.

Pragmatisme Gen Z yang menjadikan ilmu sekadar komoditas praktis adalah bentuk sekularisasi aksiologi, yang dikritik oleh QS. Al-Mujādilah:11: “wa al-lażīna ūtū al-‘ilma darajāt”. Ayat ini mengembalikan esensi ilmu sebagai jalan kemuliaan duniawi sekaligus kedekatan spiritual, bukan sekadar manfaat instan.

Gen Z yang akrab teknologi harus merevolusi etos belajar: satukan kecakapan digital dengan taqwā. Pendidikan harus mengintegrasikan nilai moral dan spiritual agar ilmu menjadi nūr (cahaya), bukan sekadar komoditas. Sebagaimana firman Allah: “wa fawqa kulli żī ‘ilmin ‘alīm” (QS. Al-Baqarah:269), Gen Z harus meningkatkan derajat kemuliaan di sisi Allah, melampaui pengakuan sosial semu, demi keberhasilan hakiki yang langgeng.

Penulis: Maulida Afifah, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *