Milenianews.com, Mata Akademisi – Bagi banyak orang di luar Aceh, berita banjir 2025 mungkin hanya menjadi laporan singkat. Namun, bagi mereka yang mengalaminya langsung, air yang membanjiri jalan, rumah, dan sawah lebih dari sekadar hujan deras. Fenomena ini seperti jawaban tegas alam atas sikap manusia selama ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “buat apa hutan? Apakah hanya untuk kayunya? Apa tanggung jawab kita pada tanah ini? Apa arti keindahan alam?” menemukan jawaban melalui genangan air dan lumpur, yang secara reflektif menyampaikan pelajaran penting tentang etika (tindakan baik) dan estetika (keindahan yang bermakna).
Sebagai mahasiswa baru, saya diajarkan untuk melihat akar masalah, bukan hanya gejala. Saat menyaksikan bencana ini, jelas terlihat kegagalan mendasar dalam cara manusia menilai, memilih, dan memperlakukan alam.
Akar Masalah: Etika yang Terabaikan
Akar masalah ini bersumber dari ranah etika. Bukan etika yang rumit dalam buku filsafat, tetapi etika sederhana yang nyata: sikap baik, keadilan, dan tanggung jawab terhadap sesama serta alam. Kegagalan ini terlihat dalam kebijakan sebelum banjir: pembukaan hutan untuk perkebunan besar, pertambangan, atau proyek pembangunan yang hanya menekankan keuntungan ekonomi. Nilai hutan diremehkan. Fungsi hutan sebagai penyimpanan air, penjaga iklim, dan pelindung tanah sering diabaikan.
Data menunjukkan luas hutan di Aceh yang digunduli meningkat 426,59% antara 2020–2025. Kegagalan etika ini menunjukkan bagaimana prinsip kehati-hatian sering kalah oleh kepentingan pembangunan. Suara masyarakat lokal yang hidup harmonis dengan hutan kerap diabaikan.
Respon Alam: Banjir sebagai Konsekuensi Logis
Hutan di daerah aliran sungai penting seperti Gayo Lues dan Aceh Tengah yang terus berkurang membuat alam merespons. Banjir bandang bukan kemarahan alam atau takdir semata, tetapi konsekuensi logis dari pilihan manusia yang salah. Tragedi akhir November 2025 memperlihatkan hal ini. Siklon Tropis Senyar membawa hujan ekstrem hingga 411mm/hari di beberapa wilayah, namun kerentanan Aceh sudah terbentuk akibat hilangnya hutan. Fungsi hutan sebagai “spons raksasa” penyerap air hujan sudah rusak.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Kehancuran Estetika Ekologis
Selain kegagalan etika, muncul tragedi estetika. Estetika ekologis tidak hanya soal keindahan visual, tetapi keseimbangan dan fungsi sistem alam. Aceh dulu dikenal dengan perbukitan hijau, sungai jernih, dan hutan tropis lebat. Keindahan ini bukan sekadar visual, tetapi hidup dan memberi manfaat ekologis.
Banjir 2025 meninggalkan kehancuran: pohon tumbang terbawa lumpur, sawah berubah menjadi kolam besar, sungai meluap meninggalkan bekas lumpur, dan bau tanah basah menggantikan aroma alam. Selama 1990–2024, Aceh kehilangan hutan seluas 379.309 hektar, setara dengan 530.000 lapangan sepak bola. Proses ini menghancurkan estetika ekologis secara sistematis.
Banjir sebagai Akumulasi Kesalahan Nilai
Banjir Aceh 2025 adalah titik pertemuan tiga masalah: kelalaian etika dalam kebijakan, kehancuran estetika ekologis, dan respon alam yang wajar namun menghancurkan. Bencana ini menunjukkan bahwa isu lingkungan, pembangunan ekonomi, dan penanggulangan bencana tidak bisa dipisah.
Menggunduli hutan untuk proyek ekonomi adalah tindakan:
Tidak etis, karena mengabaikan keselamatan banyak orang demi keuntungan sedikit orang, serta tidak adil bagi generasi mendatang.
Merusak estetika, karena menghancurkan sistem alam yang indah dan bermanfaat, diganti dengan lanskap seragam dan rapuh.
Banjir merupakan gejala dari kesalahan memberi nilai: nilai ekonomi jangka pendek ditempatkan di atas kelestarian alam dan kearifan lokal. Akibatnya tragis: 366 jiwa hilang, lebih dari 900 ribu orang mengungsi.
Solusi: Mengubah Pola Pikir dan Memberi Nilai pada Alam
Sebagai mahasiswa, saya menyadari bahwa ini bukan masalah teknis semata. Perbaikan sungai dan sistem peringatan dini penting, tetapi lebih mendasar adalah masalah nilai. Solusi jangka panjang dimulai dari perubahan cara menilai alam: dari barang yang bisa dieksploitasi menjadi mitra hidup yang perlu dijaga.
Ini berarti menanamkan etika kelestarian yang menekankan kehati-hatian, keadilan, dan tanggung jawab dalam setiap keputusan. Estetika ekologis juga dihargai, bukan sekadar menanam pohon, tetapi memulihkan ekosistem agar seimbang kembali.
Aceh, dengan ketangguhan dan kekayaan alamnya, bisa menjadi awal babak baru. Banjir 2025 adalah akhir dari cerita lama eksploitasi. Sudah waktunya anak muda menulis babak baru, yang dimulai dengan rasa hormat dan pertanyaan bijak: “Bagaimana kita bisa hidup lebih baik, dan membiarkan alam hidup bersama kita?”
Penulis: Naa’ilah Khairunnisa, Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.








