Ketergantungan Media Sosial (Tik Tok) dalam Mengikuti Tren Budaya atau Gaya di Indonesia

Media Sosial

Milenianews.com, Mata Akademisi – Media sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan digital. Salah satu platform yang memiliki pengaruh paling besar adalah TikTok. Platform ini tidak hanya digunakan sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai ruang informasi, pembentukan identitas sosial, serta sumber tren budaya dan gaya baru yang berkembang sangat cepat. Dalam beberapa tahun terakhir, TikTok berhasil menciptakan berbagai fenomena viral yang membentuk selera masyarakat, termasuk dalam hal mode dan gaya berpakaian. Salah satu contoh yang tampak jelas adalah tren fesyen kemeja Wispie, yang menyebar cepat melalui konten video para kreator dan afiliator TikTok. Fenomena ini mencerminkan bagaimana masyarakat, khususnya generasi muda, semakin bergantung pada media sosial sebagai rujukan utama dalam mengikuti tren yang sedang populer.

Baca juga: Analisis Menyemai Kebencian di Era Digital: Ancaman Nyata bagi Demokrasi dan Kelompok Rentan

Fenomena tersebut dapat dianalisis melalui Media Dependency Theory yang dikembangkan oleh Ball-Rokeach dan DeFleur. Teori ini menjelaskan bahwa semakin tinggi seseorang bergantung pada media untuk memenuhi kebutuhan informasi, identitas, dan orientasi sosial, maka semakin besar pengaruh media terhadap perilaku dan pola pikirnya. Dalam konteks TikTok, ketergantungan ini terbentuk secara kuat karena platform tersebut menghadirkan konten yang pendek, padat, mudah dicerna, dan relevan dengan minat pengguna. Algoritma TikTok yang sangat personal menampilkan serangkaian video sesuai preferensi, sehingga pengguna akan terus terpapar jenis konten yang sama secara berulang. Paparan semacam ini membangun persepsi bahwa tren yang ditampilkan memang sedang mendominasi secara sosial dan layak untuk diikuti. Jurnal yang menjadi rujukan penelitian menunjukkan bahwa para informan, yakni perempuan berusia 18–25 tahun yang aktif menggunakan TikTok, mengaku bahwa TikTok adalah sumber utama mereka dalam menemukan inspirasi gaya berpakaian, termasuk tren kemeja Wispie. Hal ini menunjukkan bahwa media, melalui TikTok, telah menjadi rujukan utama dalam menentukan tren budaya dan gaya hidup.

Ketergantungan ini tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga menyentuh aspek afektif atau emosional. Para pengguna TikTok menunjukkan adanya kecenderungan Fear of Missing Out (FoMO), yakni rasa takut tertinggal dari tren yang sedang viral. FoMO membuat pengguna merasa perlu selalu terhubung dengan TikTok agar tidak ketinggalan informasi baru atau gaya fesyen yang sedang berkembang. Beberapa informan dalam penelitian mengaku merasa lebih percaya diri ketika mampu mengikuti tren TikTok, dan sebaliknya merasa kurang nyaman atau tertinggal ketika tidak mengikuti tren tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya memengaruhi apa yang mereka ketahui, tetapi juga bagaimana mereka menilai diri sendiri. Media Dependency Theory menekankan bahwa ketika media digunakan untuk membentuk identitas sosial, maka hubungan antara individu dan media menjadi semakin kuat. Dalam kasus ini, TikTok tidak hanya menjadi sumber hiburan, tetapi juga menjadi sarana pembentuk citra diri dan eksistensi sosial.

Selain ketergantungan informasi dan emosional, TikTok juga menciptakan ketergantungan perilaku, terutama dalam pola konsumsi. Pengguna TikTok kerap terdorong untuk membeli produk fesyen tertentu setelah melihat rekomendasi dari kreator, influencer, atau afiliator dalam bentuk konten singkat yang menarik. Fenomena “racun TikTok” memperlihatkan bagaimana pengguna terdorong melakukan pembelian impulsif karena video yang secara visual mempengaruhi mereka. Dalam tren kemeja Wispie, informan mengaku merasa tertarik untuk membeli setelah melihat berulang kali konten mengenai kemeja tersebut di beranda TikTok mereka. Konten visual yang singkat namun menarik menciptakan kesan bahwa produk tersebut penting untuk dimiliki agar tetap relevan secara sosial. Pada titik ini, TikTok berfungsi sebagai pemicu konsumsi dan memperkuat budaya konsumerisme di kalangan generasi muda. Ketergantungan jenis ini menggambarkan bagaimana media dapat memengaruhi tindakan nyata, bukan hanya pola pikir.

Namun, meskipun media memiliki pengaruh yang kuat, tidak semua individu sepenuhnya tunduk pada arus tren. Beberapa informan menunjukkan adanya kontrol diri, yakni kemampuan untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Mereka menyadari bahwa tren di TikTok sangat cepat berubah dan tidak semuanya sesuai dengan gaya pribadi maupun kebutuhan mereka. Beberapa dari mereka menolak mengikuti tren yang dinilai tidak sesuai proporsi tubuh atau tidak relevan dengan aktivitas sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa literasi media berperan penting dalam meredam dampak ketergantungan berlebihan. Individu yang memiliki kesadaran diri yang kuat cenderung lebih selektif dalam mengikuti tren dan tidak mudah terbawa oleh pengaruh media sosial. Dalam perspektif Media Dependency Theory, kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ketergantungan tinggi, media tidak selalu memiliki kontrol penuh atas perilaku pengguna. Faktor internal seperti nilai pribadi, prinsip berpakaian, dan kesadaran finansial masih berperan sebagai penyeimbang.

Baca juga: Teori Komunikasi Kontekstual Menurut Deddy Mulyana

Meski demikian, fakta bahwa sebagian besar informan menjadikan TikTok sebagai acuan utama menunjukkan betapa besar posisi media dalam membentuk gaya hidup generasi saat ini. TikTok, secara tidak langsung, membangun standar-standar baru mengenai apa yang dianggap menarik, modern, dan layak diikuti. Gaya hidup digital ini menciptakan pola konsumsi budaya yang cepat, instan, dan terus bergerak mengikuti arus tren yang selalu berubah. Media Dependency Theory menegaskan bahwa ketika kebutuhan individu terhadap media meningkat, maka dampak media juga meningkat. Dalam hal ini, kebutuhan generasi muda untuk memperoleh hiburan, informasi tren, inspirasi gaya, serta rasa keterhubungan sosial membuat mereka semakin terikat dengan TikTok sebagai media utama.

Pada akhirnya, ketergantungan terhadap TikTok dalam mengikuti tren budaya dan gaya di Indonesia merupakan gambaran nyata hubungan kuat antara media dan masyarakat digital. TikTok membentuk cara individu mencari informasi, bagaimana mereka melihat diri, serta bagaimana mereka bertindak dalam konteks sosial dan konsumsi. Fenomena tren kemeja Wispie hanyalah salah satu contoh kecil dari besarnya pengaruh TikTok dalam kehidupan budaya kontemporer. Oleh karena itu, penting bagi pengguna, terutama generasi muda, untuk memiliki literasi media yang baik agar mampu menyikapi arus tren dengan kritis, selektif, dan bijaksana. Media dapat menjadi alat positif ketika digunakan dengan kontrol diri yang cukup, namun dapat menjadi sumber tekanan sosial dan konsumtivisme apabila diikuti tanpa pertimbangan. Dengan memahami ketergantungan ini melalui kerangka Media Dependency Theory, masyarakat dapat lebih menyadari bagaimana media memengaruhi mereka dan bagaimana seharusnya mereka memposisikan diri dalam era budaya digital yang dinamis.

Penulis: Aliya Az Zahro, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *