Banjir Sumatera dan Aceh dalam Perspektif Al-Qur’an dan Lingkungan: Antara Ujian Ilahi dan Krisis Tata Kelola Alam

Banjir Sumatera 2025

Milenianews.com, Mata Akademisi – Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—membuat warga berjibaku menyelamatkan diri di tengah arus air yang semakin deras dan ketinggian yang terus meningkat. Dalam situasi darurat tersebut, solidaritas warga terlihat nyata ketika mereka saling membantu demi menyelamatkan sebanyak mungkin korban.

Bencana ini tidak hanya mengancam keselamatan jiwa dan harta benda secara langsung, tetapi juga membangkitkan trauma kolektif yang mendalam. Kehilangan orang tercinta, rusaknya tempat tinggal, hingga terguncangnya perekonomian masyarakat menjadi luka yang sulit dilupakan.

Data Korban dan Dampak Bencana

Berdasarkan laporan dari detik.com yang merujuk pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Kamis (11/12/2025), jumlah korban tewas akibat banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut telah mencapai 986 orang. Selain itu, sebanyak 224 orang dilaporkan masih hilang, sementara 5.100 orang lainnya mengalami luka-luka.

Bencana ini berdampak pada 52 kabupaten/kota, dengan kerusakan mencapai 157,9 ribu unit rumah. Sekitar 800 ribu jiwa terpaksa mengungsi. BNPB juga mencatat kerusakan pada 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, serta 498 jembatan.

Bencana sebagai Ayat Kauniyah

Banjir dan longsor yang melanda Sumatera dan Aceh tidak semestinya dipandang semata sebagai peristiwa alam biasa. Dalam perspektif keislaman, fenomena ini dapat dipahami sebagai bagian dari ayat-ayat kauniyah Allah Swt. yang mengajak manusia untuk merenung, mengakui kesalahan, dan memperbaiki kelalaian dalam mengelola lingkungan sebagai amanah kekhalifahan di bumi.

Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 155:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(Q.S. Al-Baqarah: 155)

Ayat ini menegaskan bahwa musibah adalah ujian keimanan sekaligus sarana refleksi bagi manusia.

Kerusakan Alam akibat Ulah Manusia

Fenomena bencana ini juga sejalan dengan firman Allah Swt. dalam Surah Ar-Rum ayat 41:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia.”
(Q.S. Ar-Rum: 41)

Dalam Tafsir Al-Misbah, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kerusakan yang tampak dalam kehidupan manusia—baik sosial, moral, maupun lingkungan—merupakan akibat langsung dari ulah manusia sendiri. Kerusakan tersebut adalah peringatan agar manusia kembali ke jalan kebenaran.

Ibnu Asyur menambahkan bahwa alam semesta diciptakan Allah dalam sistem yang serasi dan seimbang. Namun, aktivitas manusia yang eksploitatif telah merusak keseimbangan tersebut, sehingga melahirkan kepincangan dalam sistem alam.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Faktor Iklim dan Kerusakan Lingkungan

Salah satu pemicu utama banjir adalah hujan ekstrem yang terjadi secara terus-menerus sejak 23 hingga 25 November 2025. Fenomena ini dipengaruhi oleh siklon langka, Siklon Senyar, yang muncul di sekitar Selat Malaka. Hal tersebut disampaikan oleh peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, kepada BBC News Indonesia.

Namun, faktor iklim bukan satu-satunya penyebab. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa bencana ini diperparah oleh masifnya alih fungsi hutan menjadi kebun industri ekstraktif seperti kelapa sawit dan hutan tanaman industri.

Data Nusantara Atlas menunjukkan bahwa pada 2024, luas kebun sawit di tiga provinsi tersebut mencapai 1,5 juta hektare—sekitar 57 kali luas Kota Medan. Sementara kebun serat kayu mencapai 150 ribu hektare. Dalam dua dekade terakhir, luas kebun sawit meningkat 1,4 kali lipat, dan hutan serat kayu hampir dua kali lipat.

Krisis Tata Ruang dan Ekologi

Hatma Suryatmojo, pakar konservasi sumber daya hutan dari Fakultas Kehutanan UGM, menjelaskan bahwa pegunungan vulkanik seperti Bukit Barisan memiliki lereng curam dan lembah sempit. Di bagian hilir terdapat kipas aluvial vulkanik yang datar dan subur, sehingga menarik untuk dijadikan permukiman.

Namun, kawasan tersebut sejatinya adalah “tempat parkir air” yang akan selalu terisi saat hujan ekstrem. Ketika air kembali ke ruang alaminya, manusia yang telah menguasai wilayah tersebut menjadi pihak yang paling terdampak.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai bahwa banjir besar ini mencerminkan krisis tata kelola ruang di Pulau Sumatera. Narasi cuaca ekstrem tidak lagi memadai tanpa mengakui rusaknya ekosistem hulu dan daerah aliran sungai akibat industri ekstraktif.

Antara Ujian dan Peringatan

Bagi para korban yang tidak bersalah, bencana ini adalah ujian kesabaran. Namun, bagi para perusak lingkungan, pejabat yang lalai, dan pihak yang mengambil keuntungan dari eksploitasi alam, musibah ini merupakan peringatan keras untuk segera kembali ke jalan kebenaran.

Kita tidak bisa terus menyalahkan langit, sementara bumi rusak oleh keputusan manusia sendiri. Ke depan, pemerintah wajib menegakkan aturan lingkungan tanpa kompromi, dan masyarakat harus menjaga sungai, hutan, serta tanah tempat berpijak.

Hujan tidak pernah salah. Yang keliru adalah tanah yang tak lagi mampu menahan air, karena telah dilukai oleh keserakahan manusia.

Penulis: Nusaibah, Insitut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *