Ontologi Ilmu di Era Digital: Antara Fakta, Validasi, dan Informasi Virtual

ontologi ilmu di era digital

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era digital saat ini, manusia hidup dalam arus informasi yang bergerak sangat cepat dan nyaris tanpa batas. Perkembangan internet, media sosial, serta teknologi komunikasi telah mengubah cara manusia memperoleh, mengakses, dan memahami pengetahuan. Informasi kini tidak lagi bergantung pada ruang akademik formal, melainkan dapat dihasilkan dan disebarkan oleh siapa saja.

Pada masa sebelumnya, ilmu pengetahuan hadir melalui proses yang ketat dan berlapis, melibatkan penelitian sistematis, observasi empiris, penalaran logis, serta validasi akademik. Namun, di era digital, informasi dapat muncul secara instan dan menyebar luas tanpa proses penyaringan yang memadai. Perubahan ini memunculkan pertanyaan ontologis yang mendasar: apa hakikat ilmu di era digital? Apakah ilmu masih berdiri di atas fakta objektif, atau justru memperoleh keberadaannya melalui mekanisme baru yang dibentuk oleh ruang digital?

Ilmu, Fakta, dan Kaburnya Batas Kebenaran

Secara tradisional, ilmu dipahami sebagai pengetahuan yang benar, terstruktur, dapat diuji, serta memiliki dasar rasional dan empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu tidak lahir dari opini semata, melainkan dari proses ilmiah yang panjang dan berkesinambungan. Dalam kerangka ini, fakta menjadi elemen utama yang menopang keberadaan ilmu.

Namun, di era digital, batas antara fakta, opini, dan informasi semakin kabur. Informasi yang beredar sangat melimpah, tetapi tidak semuanya memiliki dasar kebenaran yang kuat. Banyak informasi bersifat dangkal, instan, bahkan keliru, tetapi tetap diterima sebagai kebenaran oleh sebagian masyarakat. Kondisi ini menyebabkan fakta tidak lagi secara otomatis diakui sebagai ilmu, karena keberadaannya harus melalui proses validasi yang lebih kompleks.

Algoritma dan Transformasi Ontologis Pengetahuan

Salah satu faktor penting yang memengaruhi perubahan ontologi ilmu adalah peran algoritma digital. Mesin pencari dan media sosial menyajikan informasi berdasarkan preferensi pengguna, bukan berdasarkan tingkat kebenaran. Akibatnya, pengetahuan yang diterima seseorang sering kali ditentukan oleh sistem digital yang bersifat selektif.

Secara ontologis, hal ini mengubah cara ilmu hadir dalam kesadaran manusia. Ilmu tidak hanya dicari secara aktif, tetapi juga “diberikan” oleh algoritma. Fenomena ini menimbulkan persoalan serius, karena informasi yang viral atau populer sering kali dianggap benar, meskipun tidak memiliki dasar ilmiah yang memadai. Popularitas pun kerap menggantikan bukti, dan viralitas disalahartikan sebagai validasi kebenaran.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Validasi sebagai Fondasi Ilmu di Era Digital

Oleh karena itu, di era digital, ilmu tidak lagi cukup berlandaskan fakta semata. Fakta harus disertai dengan validasi agar dapat diakui sebagai pengetahuan. Validasi menjadi unsur ontologis penting dalam menentukan apakah suatu informasi layak disebut ilmu atau tidak.

Bentuk validasi tersebut beragam, mulai dari verifikasi data, pengecekan sumber, peninjauan sejawat (peer review) terbuka di platform ilmiah, hingga keterlacakan informasi digital. Tanpa proses validasi ini, sebuah informasi mungkin tersebar luas, tetapi tetap tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu. Dengan demikian, ontologi ilmu modern semakin menekankan proses penjaminan kebenaran, bukan sekadar keberadaan fakta.

Ilmu sebagai Entitas Sosial-Digital

Selain itu, produksi ilmu pengetahuan tidak lagi dimonopoli oleh ilmuwan di laboratorium atau akademisi di universitas. Komunitas digital, platform kolaboratif, serta jaringan open-source turut berperan dalam membentuk pengetahuan. Hal ini menjadikan ilmu sebagai entitas sosial-digital yang bersifat terbuka dan kolaboratif.

Perubahan ini membawa dua sisi sekaligus. Di satu sisi, ilmu menjadi lebih demokratis dan inklusif. Di sisi lain, keterbukaan tersebut meningkatkan risiko tersebarnya informasi yang tidak tervalidasi atau menyesatkan. Oleh sebab itu, meskipun struktur ilmu menjadi lebih cair, kebutuhan akan standar validasi tetap tidak dapat ditinggalkan.

Ontologi Ilmu: Bertahan di Tengah Percepatan Informasi

Pada akhirnya, ilmu di era digital mengalami perubahan secara ontologis, bukan dalam tujuannya sebagai pencarian kebenaran, melainkan dalam cara ia hadir, dibangun, dan diakui. Ilmu tetap membutuhkan fondasi rasional dan bukti empiris, namun kini harus disertai mekanisme validasi digital agar dapat dibedakan dari informasi yang keliru.

Dalam lautan data yang begitu luas, validasi berperan sebagai kompas yang menjaga ilmu tetap berada pada jalurnya sebagai pengetahuan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Era digital tidak meruntuhkan keberadaan ilmu, tetapi menantang manusia untuk bersikap lebih kritis dalam memilah antara fakta, opini, dan pengetahuan.

Dengan demikian, ontologi ilmu di era digital menunjukkan bahwa ilmu tidak lagi sekadar kumpulan fakta, melainkan sistem pengetahuan yang harus melalui proses verifikasi ketat untuk mempertahankan nilai kebenarannya. Di tengah percepatan informasi, ilmu tetap memiliki peran sentral sebagai tolok ukur kebenaran, selama ia disertai validasi yang tepat, terbuka, dan bertanggung jawab.

Penulis: Siti Salwa Naylal Fida, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *