Ketergantungan Media Sosial dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental Remaja

kesehatan mental remaja

Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia modern, khususnya di kalangan remaja. Media sosial yang pada awalnya diciptakan sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi, kini telah menjelma menjadi ruang hidup kedua bagi mereka. Di dalam platform digital tersebut, remaja membangun identitas diri, menjalin relasi sosial, sekaligus mencari hiburan.

Namun, seiring dengan meningkatnya intensitas penggunaan media sosial, potensi munculnya dampak negatif terhadap kesehatan mental remaja juga semakin besar. Ketergantungan digital kerap dikaitkan dengan munculnya kecemasan berlebih, depresi, serta menurunnya rasa percaya diri pada remaja masa kini.

Budaya Perbandingan Sosial di Media Digital

Fenomena gangguan kesehatan mental akibat media sosial kini bukan lagi persoalan individual, melainkan telah berkembang menjadi gejala sosial. Salah satu penyebab utamanya adalah budaya perbandingan sosial yang terbentuk di ruang digital. Media sosial menyediakan panggung bagi setiap orang untuk menampilkan versi terbaik dari kehidupannya.

Foto yang estetis, tubuh ideal, prestasi akademik, keluarga harmonis, pertemanan luas, hingga gaya hidup mewah sering kali mendominasi linimasa. Remaja yang masih berada dalam fase pencarian jati diri dan memiliki kebutuhan besar untuk diterima lingkungan menjadi kelompok yang paling rentan terpengaruh oleh standar semu tersebut.

Akibatnya, mereka mulai membandingkan kehidupan pribadi dengan gambaran “sempurna” yang ditampilkan di media sosial. Padahal, konten tersebut umumnya telah melalui proses kurasi dan filterisasi agar tampak menarik. Perbandingan yang tidak sehat ini memicu perasaan rendah diri, kecemasan, ketakutan akan kegagalan, hingga munculnya pikiran negatif terhadap diri sendiri.

Standar Kesuksesan Semu dan Tekanan Psikologis

Di era digital, remaja tidak hanya bersaing di dunia nyata, tetapi juga di ruang maya. Prestasi, bakat, dan kreativitas kerap diukur dari jumlah pengikut, like, komentar, atau viewers. Ketika pencapaian tersebut tidak mendapatkan respons sesuai harapan, muncul perasaan tidak berharga dan gagal.

Pola pikir ini membentuk standar kesuksesan yang tidak sehat. Remaja menjadi mudah tertekan meskipun secara objektif mereka telah berusaha keras. Dikutip dari merdeka.com, data menunjukkan bahwa upaya bunuh diri mencapai sekitar 2 persen di antara penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang mengalami depresi.

Selain itu, sejumlah anak muda juga mengalami psikosis, dengan empat dari seribu keluarga memiliki anggota yang menderita gangguan mental. Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menegaskan bahwa paparan teknologi digital secara dini dan berkepanjangan turut berkontribusi terhadap memburuknya kesehatan mental generasi muda.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Cyberbullying dan Luka Psikologis Remaja

Ketergantungan digital juga memicu perubahan perilaku yang signifikan dan berpotensi menimbulkan gangguan mental pada remaja. Salah satu fenomena yang paling merusak adalah cyberbullying. Perundungan digital tidak hanya berbentuk hinaan verbal, tetapi juga komentar negatif, fitnah, dan body shaming yang menyebar tanpa batas ruang dan waktu.

Konten negatif tersebut dapat dilihat oleh banyak orang dan meninggalkan jejak digital yang sulit dihapus. Remaja yang menjadi korban cyberbullying sering merasa terpojok, malu, dan kehilangan dukungan sosial. Dalam banyak kasus, mereka memilih diam karena khawatir situasi akan semakin memburuk jika membela diri.

Trauma emosional akibat cyberbullying dapat berlangsung lama dan memicu depresi berkepanjangan. Bahkan setelah peristiwa tersebut mereda, jejak digitalnya tetap ada dan terus membayangi korban.

Ketergantungan Validasi dan Krisis Kepercayaan Diri

Penggunaan media sosial secara berlebihan juga mendorong remaja menggantungkan harga diri pada validasi publik. Penilaian terhadap diri sendiri diukur dari jumlah like, komentar, dan respons terhadap unggahan mereka. Identitas diri pun perlahan dibangun berdasarkan ekspektasi orang lain, bukan nilai personal yang autentik.

Ketika validasi yang diharapkan tidak diperoleh, rasa kecewa, malu, dan tidak percaya diri pun muncul. Kondisi ini menunjukkan bahwa media sosial tidak lagi sekadar alat komunikasi, melainkan ruang yang membentuk cara remaja memandang diri mereka sendiri.

Menggunakan Media Sosial Secara Sehat

Meski demikian, media sosial tidak sepenuhnya membawa dampak negatif. Jika digunakan secara bijak, platform digital dapat menjadi ruang untuk menemukan komunitas yang suportif, mengembangkan bakat, mempelajari hal baru, hingga menghasilkan karya kreatif.

Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan bukanlah menjauhkan remaja sepenuhnya dari media sosial, melainkan membekali mereka dengan pemahaman dan pendampingan yang tepat. Remaja perlu dibimbing agar mampu membedakan antara dunia maya dan realitas, serta menyadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial tidak selalu mencerminkan kehidupan sebenarnya.

Media sosial bukanlah musuh, melainkan alat yang memiliki dua sisi: manfaat dan risiko. Dengan pemahaman, pendampingan, serta kesadaran digital yang baik, remaja dapat tumbuh menjadi individu yang kuat secara emosional dan mampu menggunakan media sosial secara sehat dan bertanggung jawab.

Penulis: Tamamal Laasiliyah

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *