Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan ilmu pengetahuan terkini membawa dampak baik dalam banyak aspek kehidupan manusia. Namun, kemajuan ilmu terkadang tidak berjalan seiring dengan manfaatannya yang bijaksana. Banyak sekali krisis lingkungan yang kini melanda Indonesia salah satunya yang paling terkini adalah bencana banjir besar di Sumatra, Kalimantan, dan Aceh menjadi bukti nyata bahwa ilmu pengetahuan lingkungan tidak direalisasikan otoritas yang bertanggung jawab atau pemerintah.
Banjir besar yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia bukan hanya sekadar fenomena alam yang muncul tiba-tiba. Meskipun memang disertai curah hujan yang ekstrem yang membuat air turun sangat banyak dalam waktu singkat ini juga disebabkan oleh kerusakan hutan (deforestasi) dan ekosistem, pembukaan lahan yang tidak terkendali dan alih fungsi hutan. Ilmu pengetahuan juga sudah sejak lama memberi peringatan dari prediksi curah hujan ekstrem, hingga kajian dampak deforestasi. Namun, tanpa landasan aksiologis yang kuat, pengetahuan itu tidak diimplementasikan dalam kebijakan. Ketika nilai moral, etika ekologis, dan kepentingan jangka panjang tidak dijadikan prioritas, ilmu hanya menjadi sesuatu yang formal, bukan pedoman tindakan yang menyelamatkan.
Baca juga: Hoaks Non-Halal Ilegal 2026: Analisis Tiga Teori Kebenaran dalam Filsafat Islam
Dalam kajian ilmu lingkungan, terdapat kaidah-kaidah dasar yang seharusnya menjadi landasan setiap kebijakan publik, seperti prinsip daya dukung lingkungan, keberlanjutan ekosistem, serta prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya alam. Kaidah-kaidah ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan mengandung nilai moral yang menuntut manusia untuk tidak melampaui batas kemampuan alam. Namun, dalam praktiknya, prinsip-prinsip tersebut sering diabaikan oleh pengambil kebijakan, sehingga ilmu lingkungan kehilangan fungsi etikanya dan hanya menjadi dokumen formal tanpa realisasi yang nyata.
Dalam konteks ini, tanggung jawab pemerintah menjadi sesuatu yang harus dan tidak bisa diabaikan. Negara memiliki kepentingan dalam mengatur izin lahan, menetapkan kawasan lindung, serta menegakkan hukum lingkungan. Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa banyak kebijakan lebih menomorsatukan stabilitas ekonomi jangka pendek dibanding kelanjutan ekosistem. Lemahnya penindakan terhadap pembalakan liar, tumpang tindih izin pertambangan dan perkebunan, serta rendahnya transparansi tata ruang yang mencerminkan kegagalan suatu negara dalam menjalankan tanggung jawab ekologisnya.
Lebih jauh, banjir besar bukan hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga memicu krisis ekologis yang lebih luas. Habitat satwa langka seperti gajah, orang utan, dan harimau semakin sedikit, karena hutan yang seharusnya menjadi benteng alami ikut hancur. Padahal, ilmu telah lama mengajarkan pentingnya keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Namun, sekali lagi, tanpa aksiologi, sains menjadi tidak bertaring. Ia mampu menjelaskan apa yang rusak, tetapi tidak mampu memastikan bahwa kebijakan dan tindakan manusia berpihak pada kelestarian alam.
Pada akhirnya, krisis lingkungan yang terus-menerus berulang di Indonesia mulai dari banjir, kebakaran hutan, hilangnya habitat satwa, hingga penurunan kualitas tanah menjadi panggilan bagi kebangkitan aksiologi dalam praktik ilmiah. Tanggung jawab pemerintah bukan sekadar menyusun kebijakan, melainkan memastikan bahwa setiap keputusan pembangunan berpihak pada keselamatan ekologis, keadilan lingkungan, dan keberlanjutan hidup masyarakat negara. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk hadir bukan hanya saat bencana terjadi, tetapi jauh sebelum suatu bencana terjadi melalui perlindungan ekosistem yang konsisten dan berkeadilan.
Baca juga: Peran Berpikir Kritis dalam Menghadapi Informasi di Media Sosial
Pada titik inilah hubungan antara aksiologi ilmu, krisis lingkungan, dan tanggung jawab negara menjadi semakin terang jika dipatuhi secara semestinya. Ilmu lingkungan juga sebenarnya telah memberi cukup banyak peringatan: tentang batas hutan; daya dukung tanah; siklus air; hingga risiko banjir. Namun ketika negara gagal menjadikan pengetahuan itu sebagai dasar moral dalam kebijakan publik, maka ilmu kehilangan arah nilainya. Inilah inti dari persoalan yang diangkat dalam tulisan ini: krisis ekologis di Indonesia bukan hanya persoalan alam, tetapi persoalan gagal terwujudnya tanggung jawab dalam penggunaan ilmu. Maka bagi saya, ilmu seharusnya tidak hanya berhenti di ruang akademik saja, tetapi benar-benar terasa dampaknya dalam kehidupan masyarakat yang setiap hari berhadapan dengan risiko lingkungan.
Penulis: Ayu Nur Lathifah Sinaga, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













