Milenianews.com, Mata Akademisi – Era digital telah mengubah pola komunikasi manusia secara drastis dalam kehidupan sehari-hari. Media sosial berkembang menjadi ruang berbagi kisah hidup dan menjadi bagian dari budaya digital masa kini, di mana pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain diceritakan untuk konsumsi publik, yang kini populer disebut “story time.” Dalam praktiknya konten ini sering dibingkai sebagai nasihat, hiburan, konseling gratis, atau inspirasi hidup. “Story time” modern tidak sekadar berbagi pengalaman diri tapi juga banyak yang menceritakan tokoh lain, seperti mantan pasangan, teman toxic, guru, rekan kerja, bahkan keluarga. Namun, fenomena ini memiliki sisi problematis, tidak sedikit konten yang justru memuat pengungkapan aib orang lain, baik dengan penyebutan nama maupun dengan deskripsi yang membuat identitasnya dapat dikenali oleh publik yang berujung menyeret nama atau reputasi orang lain ke publik tanpa izin.
Baca juga: Ujub: Penyakit Hati yang bermula dari Tazkiyah An-Nafs yang keliru
Kondisi ini memunculkan pertanyaan dalam konteks fikih: apakah tindakan penyampaian kisah pribadi atau kisah orang lain“story time” dalam media sosial merupakan konseling publik yang bermanfaat, atau justru bentuk ghibah yang terselubung? Apakah niat memberi pelajaran membenarkan pembukaan aib orang lain? Atau justru terjadi eksploitasi luka dan sensasi demi konten? Persoalan ini menjadi semakin penting ketika dilihat dari perspektif fikih Imam Syafi’i yang menaruh perhatian besar pada kehormatan dan privasi manusia. Untuk menjawabnya, perlu menelaah konsep-konsep etika berbicara dalam mazhab Syafi’i, terutama gagasan Imam Syafi’i tentang ghibah, niat, adab diam (adab al-samt), dan menjaga kehormatan (ḥifẓ al-ʿirdh).
Imam Syafi’i secara tegas mendefinisikan ghibah sebagai “engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci bila hal itu sampai kepadanya.” Definisi ini sangat relevan dengan konteks “story time” yang menunjukkan bahwa ghibah tidak mensyaratkan penyebutan nama secara langsung. Ketika seorang kreator membacakan kisah yang melibatkan pihak ketiga, misalnya mantan pacar, rekan kerja, atau anggota keluarga, dan menyebutkan ciri-ciri atau detail yang memungkinkan orang tersebut dapat dikenali, maka itu telah memenuhi definisi ghibah.
Dengan demikian, “story time” dapat dikategorikan sebagai ghibah apabila identitas tokoh yang dibahas dapat dikenali, informasi yang disampaikan dapat merusak reputasinya, atau pihak yang dibicarakan kemungkinan besar tidak menyukai cerita itu disebarkan ke public, terlebih jika cerita tersebut berisi keluhan, cela, keburukan karakter, atau aib masa lalu seseorang. Hukum asalnya adalah haram, sebab ia telah melanggar kehormatan (‘irdh) orang lain yang dilindungi syariat. Imam Syafi’i sangat menekankan bahwa kehormatan manusia adalah seperti darahnya, tidak boleh dilukai tanpa hak.
Dalam mazhab Syafi’i memang mengakui bahwa lisan dapat digunakan untuk tujuan maslahat, seperti mengadukan kezaliman, meminta pertolongan, memberi peringatan terhadap bahaya orang tertentu, atau dalam konteks peradilan. Namun ada syarat ketat agar tindakan tersebut tidak berubah menjadi pelanggaran kehormatan. Pengecualian sah apabila dilakukan sebatas kebutuhan dan bukan dengan amplifikasi dramatis atau motif hiburan. Kemaslahatan harus nyata dan dominan, dan penyampaian tidak boleh melampaui batas kebutuhan. Ketika cerita diproduksi untuk konten media sosial, diberi unsur dramatisasi, diviralkan, atau diposisikan sebagai hiburan publik, maka orientasi maslahat menjadi lemah dan unsur mudarat menjadi dominan. Dalam kaidah fikih mazhab Syafi’i, prinsip “dar’ al-mafāsid muqaddam ʿalā jalb al-maṣāliḥ” (mencegah kerusakan lebih diprioritaskan daripada mengejar manfaat) berlaku. Artinya, sekecil apa pun potensi kerusakan terhadap reputasi seseorang harus dihindari, bahkan jika ada manfaat edukasi.
Dalam story time, potensi kerusakannya sangat nyata: aib dan privasi seseorang tersebar, dendam sosial terpicu, fitnah bisa timbul dari informasi sepihak, dan hati pihak yang diceritakan terluka. Manfaat yang diklaim, seperti “sarana healing” atau “pelajaran hidup”, seringkali bersifat subjektif dan tidak langsung. Imam Syafi’i akan lebih memilih untuk menghindari kerusakan yang pasti (tersebarnya aib) ketimbang mengejar manfaat yang belum tentu. Prinsip ini juga melindungi ekosistem sosial dari budaya “mengonsumsi” kesedihan dan konflik orang lain sebagai hiburan.
Imam Syafi’i juga menekankan mengenai Al-Niyyah (niat), namun niat bukan satu-satunya parameter atau standar penilaian terhadap suatu tindakan. Bahkan beliau menegaskan bahwa keselamatan sering kali ada pada diam dan bahwa penyesalan jarang datang dari diam, tetapi sering datang akibat berbicara. Dalam tradisi keilmuan Imam Syafi’i, terdapat konsep adab al-samt (etika diam) dan al-wara’ (kehati-hatian) sebagai benteng moral lisan yang menuntut seseorang untuk tidak berbicara ketika ucapan berpotensi menimbulkan mudarat, menjaga marwah orang lain meskipun orang itu bersalah, memilih jalur privat sebelum jalur publik, serta menyembunyikan aib orang lain sebagaimana seseorang ingin aibnya sendiri disembunyikan. Dalam kitab Adab al-Syafi’i disebutkan bahwa beliau berkata, “Jika seseorang ingin berbicara, maka hendaknya berpikir dulu. Jika jelas maslahatnya, maka berbicaralah. Jika ragu, jangan berbicara hingga jelas maslahatnya.”
Dalam era digital yang mempromosikan ekspresi tanpa batas dan budaya berbagi pengalaman, sebagaimana dalam konteks “story time” Seseorang dapat mengaku berniat memberi pelajaran kepada penonton, tetapi bila caranya membuka aib seseorang, menyakiti orang lain, atau memperluas konflik, maka perbuatan itu tetap tercela. Tidak jarang pula kisah hidup dikirimkan oleh seseorang (melalui email, DM, atau formulir cerita) agar kreator konten menayangkannya. Meski yang mengirim adalah korban dalam cerita, fikih Syafi’i tetap menegaskan bahwa pembukaan aib pihak lain tidak otomatis menjadi halal.
Di sisi lain, Ada perbedaan mendasar dalam pandangan Imam Syafi’i antara mengungkap aib sendiri dan aib orang lain. Jika si pengirim cerita adalah korban atau pelaku utama dalam kisah tersebut, dan ia secara sukarela mengungkap aib dirinya sendiri, maka secara hukum diperbolehkan, tetapi makruh jika menurunkan martabat agama. Imam Syafi’i juga mengingatkan tentang sikap al-wara’ (kehati-hatian secara ekstra). Mengumbar aib diri sendiri, meski boleh, bisa menimbulkan citra buruk bagi diri dan bisa menginspirasi orang lain untuk melakukan hal serupa. Lebih parah lagi, jika dalam satu kisah, si pengirim seringkali menyebut aib orang lain seperti pasangannya, orang tuanya, atau temannya. Dalam hal inilah izin si pengirim tidak berlaku untuk mengghibahi orang ketiga. Izin seseorang tidak bisa menjadi legitimasi untuk melanggar hak orang lain yang juga dilindungi syariat.
Selain itu dalam fkih ada konsep Empati (al-tarāḥum) yanng menuntut agar seseorang memberikan nasihat atau solusi tanpa harus mengorbankan reputasi atau perasaan pihak lain. Dengan demikian, story time yang ideal bukanlah kisah yang menghadirkan pelajaran dengan mengorbankan kehormatan seseorang, melainkan cerita yang menyoroti hikmah dan solusi tanpa menyudutkan individu tertentu.atau mmembuka pintu fitnah. Sedangkan mengungkap aib orang lain adalah haram, kecuali dalam situasi yang benar-benar menuntut keadilan atau meminta pertolongan.
Baca juga: Islam di Era Digital: Tantangan dan Peluang Dakwah Melalui Media Sosial
Dari seluruh kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena story time tidak otomatis haram, namun praktiknya saat ini lebih banyak mendekati ghibah terselubung daripada konseling publik. Konten yang dibangun atas dasar dramatisasi luka, eksploitasi pengalaman buruk, dan penyebutan ciri-ciri seseorang demi keterlibatan konsumen bertentangan dengan prinsip kehormatan menurut fikih Imam Syafi’i. Etika berbicara menurut mazhab Syafi’i seharusnya menjadi pedoman dalam bermedia sosial. Dengan demikian, tuntunan bermoral sangat diperlukan, yaitu, memilih jalur privat daripada publik dalam menyelesaikan masalah, memfokuskan kisah pada pelajaran dan solusi bukan pada identitas, menahan lisan dari menyakiti, menyadari bahwa kehormatan seseorang di dunia digital adalah hak yang harus dijaga sebagaimana kita ingin kehormatan kita dijaga, dan menutupi aib orang lain sebagaimana kita ingin aib kita ditutupi.
Dengan menerapkan etika ini, konten edukatif tetap dapat berlangsung tanpa menabrak batas syariat dan menjadikan aib orang lain sebagai bahan konsumsi public seperti konten yang membantu tanpa menyakiti, memberikan pelajaran tanpa mempermalukan, serta menghadirkan hikmah tanpa merampas kehormatan pihak lain adalah konten yang sejalan dengan tradisi fikih empati Imam Syafi’i. Namun bila pelajaran dibangun di atas luka orang lain, maka ia bukan ibadah, melainkan pelanggaran konten.
Penulis: Selma Setira, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













