Menjejak Keajaiban Laut Utara: Dari Rennes ke Mont Saint-Michel, Pesona Abadi Prancis

Milenianews.com – Dari Paris ke arah barat laut, ke barat lalu ke utara, menuju kota Rennes, dan ke utara lagi menuju lokasi wisata yang populer, Mont Saint-Michel. Area ini kerap dianggap mewakili keindahan negeri Prancis. Ada Pantai Normandia yang heroik dan penuh sejarah dari Perang Dunia Kedua. Hadir pula tebing-tebing putih yang menjulang di Pantai Normandia, pesisir berbatu dengan desa nelayan tradisional di Bretagne. Kawasan ini menawarkan perpaduan kekuatan alam, jejak sejarah, dan kelembutan budaya nelayan yang tumbuh dari laut.

Prancis barat laut dengan Pantai Normandia yang menghadap Selat Inggris memberikan keindahan khas Eropa bagian utara. Desa-desa pesisir yang dihuni nelayan mendiami rumah kayu, tempat jejak budaya laut yang masih terjaga. Pantai-pantai D-Day, saksi bisu perang besar dunia, menjadi pengingat: kalau peristiwa itu tidak terjadi, cerita keindahan Eropa tentu takkan seperti sekarang. Kini, ombak yang dulu membawa kapal perang dan mendaratkan jutaan prajurit, saksi terjunnya ratusan ribu pasukan, telah berubah menjadi lokasi yang damai, lembut, dan menawarkan kenyamanan bagi pengunjung.

Baca juga: Stockholm, Kota Seribu Pulau yang Tenang dan Mengagumkan

Sedikit lebih jauh ke barat, ada daerah Bretagne yang alamnya lebih rimbun dan romantik. Tebing granitnya tetap kokoh walau diterpa angin Atlantik sepanjang masa. Penduduknya khas, sederhana, dan masih mempertahankan budaya Keltik, membuat wilayah ini terasa berbeda dengan Prancis selatan dan metropolitan. Budaya Bretagne lebih tua, lahir dari ribuan tahun berhadapan dengan laut, menghadap Selat Inggris. Pesisirnya menjadi saksi banyak sejarah—jejak kolonial Prancis yang menuju pulau dan benua berbeda. Ada juga jejak penyerbuan dari utara sejak zaman Viking, abad pertengahan, sampai awal abad ini, yang membentuk budaya dipengaruhi laut.

Rennes, Kota Pelajar yang Apik

tgv

Kami menuju Rennes dari Paris karena menurut informasi, ini adalah jalur paling populer dan nyaman jika ingin ke Mont Saint-Michel. Perjalanan dimulai dari Stasiun Gare Montparnasse, Paris. Kami naik TGV, kereta cepat Prancis. Kereta meluncur cepat dalam senyap, melewati kota yang tertata apik, desa-desa bersih dan indah—khas negara maju Eropa. Kereta melintasi padang hijau dan kebun apel yang menjadi kebanggaan distrik Bretagne. Menurut jadwal, perjalanan ini memakan waktu 1 jam 45 menit, cukup untuk sedikit terlelap, menyeruput kopi hangat, dan menikmati indahnya Prancis utara.

Kami naik TGV dari Paris menuju Rennes. TGV singkatan dari Train à Grande Vitesse, dalam bahasa Prancis berarti “kereta berkecepatan tinggi”, diluncurkan pertama kali tahun 1981. Ini adalah transportasi jarak jauh kebanggaan masyarakat Prancis—kereta nasional yang terkenal di seluruh dunia, pernah unggul sebagai kereta tercepat di dunia dengan kecepatan 574,8 km/jam. Kini kecepatan rata-ratanya 320 km/jam, tetap membanggakan karena kecepatan, ketepatan, pelayanan, dan kenyamanannya. Jalur Paris–Rennes termasuk yang paling ikonik di Eropa: cepat, elegan, dan penuh gaya khas Prancis.

Kami menginap di Rennes. Kota Rennes, ibu kota wilayah Bretagne, memang kota persinggahan legendaris wisatawan dari seluruh dunia sebelum ke Mont Saint-Michel. Rennes adalah kota kecil di utara Prancis. Begitu keluar dari stasiun yang tidak besar, udara terasa lebih bersih dan lalu lintasnya tenang. Penduduk Rennes bisa dianggap rakyat pedesaan—tidak tergesa-gesa, berjalan perlahan seolah menikmati suasana tanpa dikejar waktu.

Ada kawasan kota lama di Rennes yang disebut Vieux Rennes. Area ini dipenuhi bangunan tua warna-warni dari abad ke-15–16, ketika Belanda baru tiba di Sunda Kelapa. Rumah berdinding miring, jendela kecil, dan tiap rumah punya warna berbeda. Ada kafe dan kios kecil; bisa mampir mencicipi galettecrepe asin khas Bretagne berisi telur dan keju, kadang ditambah ham.

Rennes dikenal sebagai kota pelajar. Ada perguruan tinggi besar, Université de Rennes. Beberapa teman ITB saya adalah alumnus kota ini. Karena itu banyak kafe kecil dengan pelanggan mahasiswa, toko buku, dan seniman jalanan di alun-alun. Terdengar suara akordeon dari sudut jalan; anak-anak muda mengisi sore dengan mengamen di tepi trotoar tempat orang lalu lalang.

Puncak Saint-Michel, Laut Terbentang Luas

puncak saint michel

Perjalanan dimulai dari stasiun Rennes, tepatnya dari depan stasiun tempat bus sudah menunggu menuju lokasi yang selama ini hanya kami lihat di YouTube dan Wikipedia: Mont Saint-Michel, pulau ajaib.

Bus bergerak melewati pedesaan yang tampak sunyi, rumah batu bergaya kuno, dan jalan kecil diapit padang hijau. Setelah satu jam, mulai terlihat siluet Mont Saint-Michel di kejauhan—seperti kastil yang muncul dari cakrawala laut dan menghiasi langit. Kagum, terdengar desah lirih: “Alhamdulillah, sampai juga ke sini.”

Bus berhenti di area parkir, tempat istirahat dan menunggu. Dari sini ada dua pilihan: berjalan kaki melewati causeway (jembatan penyeberangan yang menghubungkan daratan dan pulau) atau naik bus shuttle gratis. Kalau berjalan kaki, jaraknya 2,8 km, sekitar 40 menit.

Mengingat perjalanan masih panjang dan kami ingin menjaga tenaga, kami naik bus shuttle. Bus berangkat dan datang setiap 10 menit dengan waktu tempuh 12 menit. Kami turun di ujung jembatan (Pont Passerelle), lalu berjalan kaki sekitar 300 meter melewati jembatan kecil menuju pulau.

Menara biara semakin dekat; makin besar dan detailnya makin nyata. Saat mencapai gerbang batu tua, suasana seolah membawa ke abad pertengahan. Jalan sempit berbatu, sebagian menanjak. Ada toko roti kecil dan kafe dengan kursi di luar, tempat menikmati kopi dan camilan. Di sepanjang jalan, deretan kios suvenir, pedagang buah potong, dan jus berjejer. Dari kejauhan terdengar lonceng biara berdentang lembut.

Perjalanan menuju puncak Mont Saint-Michel sungguh mengesankan. Meski di beberapa tangga dan jalan berliku terasa padat dan melelahkan karena ramai, di puncak kita mendapat momen tak terlupakan. Laut membentang luas sejauh mata memandang. Cakrawala laut dan pantai berpasir berpadu indah. Memejamkan mata, merasakan tiupan angin laut yang dingin—rasa syukur muncul begitu saja.

Puas menikmati pemandangan di puncak, kami turun sambil berhenti di beberapa tempat, mengamati kolom bangunan batu kuno yang agung. Meresapi detail arsitektur abad pertengahan yang tak ada di Jakarta. Membeli suvenir kecil sebagai kenangan. Tubuh lelah, tapi hati penuh kagum dan syukur.

Kami menyeberang kembali melalui jembatan kecil di atas pasir pantai menuju bus shuttle. Setelah naik, bus membawa kami kembali ke tempat parkir, lalu pulang ke kota Rennes. Perjalanan pulang ditemani matahari yang mulai terbenam, menutup hari yang berkesan.

Soupe de Poisson, Sup Ikan Laut Utara

sup

Apakah kami menikmati kuliner Prancis dalam perjalanan ini? Ya. Kami sempat mampir ngopi dan memesan jus di dekat puncak. Setelah mendaki dan menikmati keindahan Prancis utara, kami turun melewati jalan batu setapak menuju area yang lebih luas dan mampir ke rumah makan dengan menu utama seafood.

Restoran kecil ini tampil tradisional, dengan meja-kursi kayu ala pedesaan. Pelayan memakai seragam tradisional. Dari dapur masih terasa aroma laut. Angin sore berembus lembut, membawa aroma garam dan suara ombak.

Salade de fruits de mer, salad seafood, tersaji di meja—perpaduan sayuran segar dan hasil laut Prancis utara: udang, cumi, kerang, dan tiram. Semua direbus sebentar agar rasa alami laut tetap terjaga, lalu didinginkan dengan es. Setelah itu dicampur dengan selada, tomat ceri, dan irisan mentimun. Perasan lemon, minyak zaitun, dan sedikit mustard diaduk bersama. Hasilnya: salad seafood yang segar dan menggugah selera.

Kami berada di kawasan Pantai Normandia, dan sebagai penggemar ikan, kami memilih menu ikan: soupe de poisson (sup ikan), saumon grillé (salmon panggang), dan salad seafood.

Baca juga: Bandar Sri Begawan, Ibu Kota yang Tidur dalam Kemewahan

Sup ikan adalah makanan rakyat yang lahir dari rumah nelayan Prancis. Hidangan sederhana ini kemudian menjadi klasik dan membanggakan kuliner Prancis. Awalnya dibuat dari hasil tangkapan yang tak laku dijual di pasar—ikan dimasak bersama tomat, bawang, dan daun salam, ditambah rempah khas Prancis. Dimasak lama dengan api kecil hingga ikan hancur, lalu disaring menjadi kaldu kecokelatan. Lahirlah soupe de poisson. Sup ini disajikan bersama roti panggang dan saus rouille—roti dioles saus bawang putih dan minyak zaitun.

Restoran kecil ini jendelanya menghadap ke laut. Dari dapur tercium aroma ikan panggang—mungkin salmon grillé yang kami pesan. Salmon panggang tersaji dengan aroma mentega dan perasan lemon segar, menghadirkan cita rasa laut utara yang sederhana tapi lezat. Potongan salmon ukuran sedang dipanggang pada suhu dan waktu yang pas, menghasilkan kulit renyah keemasan, sementara bagian dalamnya lembut tanpa gosong. Ditaburi garam dan lada hitam, dicelup minyak zaitun, rasanya pas.

Gigitan salmon yang masih terasa daging murninya, dinikmati bersama kentang goreng, membuat sore di Prancis utara ini terasa mengesankan—wareg, puas.

Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *