Mata Akademisi, Milenianews.com – Ada pepatah lama yang sering kita dengar, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.” Dulu, itu hanyalah simbol betapa jauhnya kita harus menempuh jalan untuk belajar. Ironisnya, hari ini China justru datang ke Indonesia dengan membawa modal, teknologi, dan pengaruh yang luar biasa besar. Namun, bukannya kita belajar, justru mereka yang “mengajar” kita tentang disiplin, strategi, dan kepentingan nasional.
Yang menyedihkan, pemerintah Indonesia tak benar-benar memanfaatkan peluang besar ini. Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas China sebenarnya bisa menjadi momentum kebangkitan ekonomi nasional. Namun, di tangan pejabat yang korup dan berpikir sempit, peluang itu berubah menjadi ancaman. Bukannya rakyat yang sejahtera, justru kepentingan bangsa ini dikorbankan untuk memperkaya segelintir elite.
Baca juga: Kedaulatan yang Direklamasi: Antara Beton, Utang, dan Ketergantungan
Sejak 2015, kerja sama antara Indonesia dan China terus meningkat. Nilai investasinya mencapai lebih dari USD 8,2 miliar pada tahun 2023. Banyak proyek besar dibangun, misalnya kereta cepat Jakarta–Bandung, pabrik smelter nikel, serta kawasan industri di Morowali hingga Weda Bay. Di atas kertas, semua ini tampak seperti lompatan kemajuan. Namun faktanya, rakyat hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
Lihat saja proyek kereta cepat. Janjinya dulu tidak akan menggunakan dana APBN. Nyatanya, biaya membengkak hingga lebih dari Rp114 triliun dan akhirnya harus disuntik uang negara. Alih teknologi yang dijanjikan juga tidak terjadi. Dari ribuan pekerja, hanya sebagian kecil yang merupakan orang Indonesia.
Begitu pula dengan industri nikel. Menurut ekonom Faisal Basri (2023), 99 persen produk nikel olahan Indonesia diekspor ke China dalam bentuk setengah jadi seperti nickel pig iron (NPI) dan feronikel. Artinya, meskipun tambangnya di negeri kita, nilai tambah ekonominya tetap lari ke luar negeri.
Di sisi lain, data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan lebih dari 59.000 tenaga kerja asal China masuk ke Indonesia dalam proyek-proyek tersebut. Bandingkan dengan Singapura, yang investasinya jauh lebih besar—sekitar USD 13 miliar—namun hanya mengirim 1.811 tenaga kerja asing. Angka ini menunjukkan bahwa pemerintah kita terlalu longgar dalam menegosiasikan kepentingan nasionalnya.
Padahal, jika para pejabat mau berpikir jernih dan berani menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, proyek-proyek BRI ini bisa menjadi sekolah besar bagi bangsa Indonesia. Kita bisa belajar teknologi, manajemen industri, dan sistem logistik modern. Namun kesempatan itu hilang, tenggelam oleh kerakusan dan korupsi.
China Belajar, Indonesia Menjual
China pernah berada di posisi yang sama dengan kita: negara agraris yang miskin dan tertinggal. Namun sejak reformasi ekonomi tahun 1978, mereka menetapkan satu prinsip penting, bahwa setiap investasi asing harus membawa ilmu dan teknologi bagi rakyatnya.
Di bawah kebijakan open but controlled, mereka membuka pintu bagi modal asing, tetapi dengan pengawasan ketat. Investor wajib bermitra dengan perusahaan lokal, berbagi pengetahuan, dan menciptakan lapangan kerja dalam negeri. Hasilnya luar biasa. Dalam empat dekade, China bertransformasi dari pengekspor bahan mentah menjadi produsen teknologi tinggi—mulai dari ponsel hingga kendaraan listrik, dari satelit hingga kecerdasan buatan.
Indonesia? Kita membuka pintu selebar-lebarnya tanpa penjaga. Siapa saja boleh masuk, asal proyeknya besar dan ada potongan atau keuntungan bagi oknum pejabat. Tidak ada syarat alih teknologi yang tegas, tidak ada kewajiban penggunaan produk lokal yang kuat. Akibatnya, kita hanya menjadi penyedia bahan baku dan buruh di negeri sendiri.
Kita lupa, investasi asing seharusnya menjadi jembatan menuju kemandirian, bukan tali gantungan ekonomi bangsa.
Filosofi yang Dikhianati
Dalam budaya timur, termasuk Indonesia dan China, dikenal ajaran harmoni, yakni keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Di China, filosofi zhong yong menjadi dasar kebijakan. Di Indonesia, nilai itu termaktub dalam gotong royong dan sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, nilai itu semakin kabur. Pemerintah lebih sibuk membangun citra pembangunan ketimbang memperkuat fondasi ekonomi rakyat. Kita membangun gedung tinggi, tetapi lupa membangun karakter bangsa. Kita bicara kemandirian, namun praktiknya tunduk pada kepentingan asing.
Padahal, Bung Hatta pernah berkata bahwa “Kita tidak ingin menjadi bangsa kuli, atau menjadi kuli di antara bangsa-bangsa.” Kini, kata-kata itu terdengar seperti ironi. Di proyek tambang, rakyat hanya jadi buruh kasar; di proyek kereta cepat, rakyat hanya jadi penonton.
Korupsi telah membutakan pejabat kita. Mereka lebih sibuk mengamankan proyek pribadi daripada menjaga kedaulatan bangsa. Pemerintah lupa bahwa investasi asing bukan tujuan, melainkan alat. Dan alat itu seharusnya digunakan untuk membangun rakyat, bukan menghancurkan kemandirian mereka.
Bangsa ini tidak kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan pemimpin yang berani. Kita sering menjadikan China sebagai kambing hitam atas banyak masalah, padahal yang bersalah adalah pemerintah sendiri yang gagal mengelola peluang.
China bukan penjajah; mereka hanya menjalankan kepentingan nasionalnya. Dan seharusnya, kita pun demikian. Namun di negeri ini, kepentingan nasional sering kali kalah oleh kepentingan kelompok.
Lihat bagaimana Vietnam mengelola kerja sama luar negeri. Mereka juga membuka diri terhadap investasi, termasuk dari China, tetapi dengan strategi yang jelas. Setiap proyek asing harus memperkuat industri lokal dan meningkatkan kemampuan teknologi nasional. Negara hadir untuk melindungi rakyatnya, bukan menjadi makelar proyek. Jika Vietnam bisa, mengapa Indonesia tidak?
Kita memiliki segalanya: sumber daya alam, tenaga kerja muda, dan pasar besar. Namun tanpa kebijakan yang berpihak, semua itu hanya menjadi bahan bakar bagi kepentingan asing.
Kita pernah belajar dari Jepang di era Soekarno, belajar dari Eropa di masa Orde Baru, dan kini belajar dari China di era modern. Namun dalam semua fase itu, kita gagal mengambil pelajaran sejati: bahwa kekuatan bangsa tidak datang dari investasi asing, melainkan dari kesungguhan mengelola diri sendiri.
China tidak bangkit karena dunia memberinya peluang, melainkan karena mereka menciptakan peluang itu dengan disiplin nasional dan etos kerja kolektif.
Indonesia bisa meniru, tetapi syaratnya satu: pemerintah harus benar-benar bersih. Tidak ada pembangunan sejati tanpa kejujuran. Tidak ada kemajuan tanpa integritas. Dan tidak ada kedaulatan tanpa keberanian moral.
Selama kebijakan ekonomi kita masih digerakkan oleh kepentingan jangka pendek, selama pejabat masih sibuk menumpuk kekayaan pribadi, dan selama rakyat dibiarkan hanya sebagai penonton di tanah sendiri, maka investasi sebesar apa pun tidak akan menyelamatkan bangsa ini.
Baca juga: Ketika Energi Jadi Alat Kekuasaan: Menelusuri Bayang Korupsi Pertamina
Belajar atau Kalah
China datang ke Indonesia bukan hanya membawa modal, tetapi juga cermin. Di sana, kita bisa melihat refleksi masa depan: apakah kita ingin menjadi bangsa yang belajar, atau bangsa yang kalah oleh keserakahannya sendiri.
Peluang sudah di depan mata. Namun selama pejabat kita tidak belajar dari keberhasilan China, selama korupsi tetap menjadi bahasa kekuasaan, maka Belt and Road Initiative hanya akan menjadi jalan tol bagi kepentingan asing, bukan jalan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Bangsa besar bukan diukur dari tingginya gedung, melainkan dari sejauh mana pemerintahnya melindungi rakyatnya. Dan di titik inilah, kita harus jujur bahwa negeri kaya ini bukan miskin karena takdir, melainkan karena para pemimpinnya sendiri yang tak mau belajar.
Penulis: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.








