Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam kehidupan yang penuh dengan tarik ulur kepentingan—dari ruang keluarga hingga ranah politik internasional—kemampuan untuk saling mengalah sering kali menjadi fondasi dari keberlangsungan hubungan antarmanusia. Concession, atau bentuk kesediaan untuk melepas sebagian tuntutan demi tercapainya kesepakatan, telah menjadi kunci dari banyak penyelesaian konflik yang terjadi di dunia.
Ungkapan “concessions make the world go around” bukan sekadar pernyataan puitis, melainkan gambaran nyata bahwa dunia ini tak bisa berjalan tanpa kesediaan untuk berkompromi. Dalam kajian ilmu negosiasi, kompromi bukanlah bentuk kelemahan, melainkan bagian dari strategi menciptakan solusi bersama yang berkelanjutan.
Dalam buku Getting to Yes karya Roger Fisher dan William Ury, disebutkan bahwa solusi terbaik dalam negosiasi muncul saat kedua belah pihak bersedia melepas sebagian posisinya demi menemukan titik temu yang saling menguntungkan. Konsep ini dikenal sebagai mutual gains approach—sebuah pendekatan yang menghindari pola saling serang dan lebih memilih menciptakan nilai baru secara kolaboratif. Dalam konteks ini, concession bukanlah pengorbanan semata, melainkan bentuk kecerdasan sosial yang matang.
Baca juga: Apakah BUMN Masih Bekerja untuk Kita?
Tanpa kita sadari, praktik kompromi ini hadir dalam keseharian kita. Seorang ayah yang melepas waktu tidurnya demi menemani anak belajar; dua sahabat yang memilih tempat makan berdasarkan kesepakatan; atau pasangan yang menunda ambisi pribadi demi membangun keluarga—semuanya merupakan wujud nyata dari concession. Justru karena ada kesediaan untuk saling menyesuaikan, hubungan sosial dapat bertahan, tumbuh, dan berkembang.
Bagi saya pribadi, keindahan dari praktik concession terletak pada keberanian menahan ego. Di era sekarang, ketika suara dibesarkan oleh algoritma media sosial dan perbedaan kerap dibingkai sebagai permusuhan, kemampuan untuk berkompromi menjadi semakin langka—dan sekaligus semakin bernilai. Dunia ini tidak akan stabil jika setiap orang bersikeras memaksakan kehendaknya. Justru dengan memberi ruang dan saling mendengarkan, ketenangan dan keberlanjutan dapat tercipta.
Concession Di Panggung Global, Damai Karena Saling Mundur
Dalam skala global, concession telah menjadi fondasi dari berbagai proses perdamaian. Kesepakatan damai antara pemerintah Kolombia dan kelompok FARC pada 2016, misalnya, menunjukkan bahwa konflik puluhan tahun bisa disudahi jika kedua pihak bersedia mundur satu langkah. Pemerintah mengakui hak politik FARC, sementara FARC menyerahkan senjata dan menerima sistem hukum yang berlaku. Ini bukan sekadar diplomasi; ini adalah simbol bahwa mengalah untuk bersama jauh lebih bermakna daripada menang sendirian.
Dalam teori ekonomi dan game theory—misalnya skenario Prisoner’s Dilemma—kita melihat bahwa keuntungan terbesar sering kali muncul bukan dari kompetisi ekstrem, melainkan dari kerja sama yang saling menguntungkan. Dalam konteks ini, concession menjadi jalan keluar dari hasil destruktif. Hal serupa juga berlaku dalam perdagangan internasional, di mana konsesi tarif antarnegera dilakukan demi mendapatkan akses pasar global. Bahkan organisasi seperti WTO berdiri di atas asas saling memberi dan menerima, demi stabilitas ekonomi dunia.
Namun demikian, tidak semua kompromi bisa dibenarkan. Filsuf Avishai Margalit dalam bukunya On Compromise and Rotten Compromises menekankan bahwa ada batas etika dalam berkompromi. Jika kompromi justru mengorbankan nilai-nilai fundamental seperti keadilan atau hak asasi manusia, maka kompromi tersebut bukanlah jalan tengah—melainkan bentuk penyerahan terhadap ketidakadilan. Di titik inilah kebijaksanaan diuji: kapan harus bertahan, dan kapan harus mengalah.
Kita juga bisa melihat praktik concession dalam dunia bisnis. Banyak perusahaan besar seperti Amazon atau Apple sering memberi kompensasi atau pengembalian dana kepada pelanggan—meskipun secara hukum mereka tidak selalu diwajibkan. Ini bukan hanya untuk mempertahankan konsumen, tetapi juga bentuk kompromi terhadap ekspektasi publik yang lebih luas, demi menjaga kepercayaan terhadap merek.
Dalam ranah kebijakan publik dan advokasi, kompromi sering dijadikan strategi realistis untuk mencapai perubahan. Banyak aktivis menyusun langkah bertahap: memperjuangkan sebagian tuntutan terlebih dahulu, lalu melangkah ke capaian yang lebih besar. Ini bukan taktik menyerah, tetapi cara cerdas untuk bekerja dalam sistem yang kompleks—seperti yang terlihat dalam perjuangan isu lingkungan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.
Belajar Kompromi Sejak Sekolah
Di dunia pendidikan, concession juga sangat relevan. Guru kerap menyesuaikan metode ajar karena menyadari bahwa tiap siswa memiliki cara belajar berbeda. Sebaliknya, siswa pun berkompromi dengan mempelajari mata pelajaran yang mungkin tak sesuai minat, namun penting bagi masa depan mereka. Di sini kita melihat bahwa pendidikan bukan hanya tentang angka, tetapi juga soal adaptasi dan saling pengertian.
Saya percaya bahwa budaya concession perlu ditanamkan sejak dini—baik dalam keluarga maupun institusi pendidikan. Sayangnya, banyak dari kita dibesarkan dalam sistem yang terlalu kompetitif, sehingga kompromi sering disalahartikan sebagai kelemahan. Padahal, justru orang yang mampu menahan diri dan memberi ruang bagi orang lain adalah pribadi yang kuat.
Baca juga: Free Will Harun Nasution: Suara Nurani di Tengah Polemik Revisi RUU TNI
Dunia akan jauh lebih damai jika lebih banyak orang memilih untuk menurunkan suara—bukan untuk kalah, tetapi untuk mendengar. Concession bukan hanya alat dalam negosiasi, melainkan etika hidup bersama. Ia mencerminkan penghormatan terhadap perbedaan dan pengakuan bahwa tidak semua hal harus berjalan sesuai keinginan pribadi. Dunia ini terdiri dari banyak suara dan perspektif. Tanpa kemampuan untuk memberi ruang bagi yang lain, harmoni takkan pernah tercipta.
Sebagai penutup, jika kita ingin hidup di dunia yang lebih adil, damai, dan penuh pengertian, maka belajar berkompromi adalah langkah awal yang tak bisa diabaikan. Dunia ini tidak berputar karena semua orang mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi karena ada yang bersedia mengalah demi kebaikan bersama.
Maka dari itu, mari jadikan concession sebagai budaya, bukan pengecualian. Dunia tidak hanya butuh lebih banyak pemenang—tapi juga lebih banyak penengah.
Penulis: Rumaysha Zaizifa, Mahasiswa STEI SEBI
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.