Milenianews.com, Halmahera– Di tengah belantara Halmahera, jauh dari keramaian kota, sebuah kisah inspiratif tentang perubahan dan harapan sedang terukir. Adalah Arif Ismail, seorang penyuluh agama dari Kementerian Agama Kota Ternate, yang dengan kesederhanaan namun penuh makna, perlahan mengubah lembaran hidup komunitas Suku Togutil—salah satu suku pedalaman yang selama ini hidup dalam sunyi dan kearifan alam.
Di tengah gempuran konsumerisme yang sering mengikis nilai-nilai luhur dan tantangan masalah kesehatan mental yang kian kompleks, peran dakwah yang mendalam menjadi sangat esensial.
Kisah Arif Ismail adalah bukti nyata bagaimana edukasi moral dan intelektual melalui dakwah dapat menjadi jembatan menuju pencerahan dan kemandirian sejati.
Jejak Dakwah di Jantung Belantara
Suku Togutil dikenal sebagai masyarakat adat yang hidup nomaden, menggantungkan hidup sepenuhnya dari hutan, dengan musik bambu, tifa, tarian salai, dan bahasa Tobelo Dalam sebagai identitas mereka. Dunia luar seakan hanya bayangan samar.
Namun, Arif Ismail, jebolan STIE Hidayatullah Depok itu datang membawa secercah asa. Dengan langkah tanpa lelah, ia menembus hutan sejauh 10 hingga 15 kilometer, menyeberangi sungai, dan menapaki semak belukar.
Pendekatan yang tidak memaksa, justru berbasis pada kearifan lokal, menjadi kunci. Di sana, ia membagi ilmu: dari mengenalkan huruf dan ayat, mengajari membaca, hingga mengajarkan cara bercocok tanam dan bertahan hidup secara mandiri.
“Alhamdulillah, torang so bisa mengaji sedikit-sedikit, membaca, menulis, dan so tau berkebun. Terima kasih banyak, Ustadz Arif,” tutur Kepala Suku, Kapita (Leppa), dengan suara yang nyaris pecah karena haru.
Bagi mereka, Islam bukan sekadar keyakinan baru, melainkan pintu menuju pemahaman tentang dunia yang lebih luas, dunia yang tak hanya terdiri dari hutan, sagu, dan sunyi. Ini adalah inti dari dakwah yang membawa dampak mendalam.
Membangun Kemandirian dan Keterampilan Hidup
Apa yang dimulai dari pembinaan spiritual, kini meluas ke ranah kehidupan sehari-hari. Di tangan Arif yang sering bersinergi bersama Laznas BMH dan para pendamping, dakwah menjadi jalan masuk untuk membangun keterampilan hidup. Warga Togutil kini mulai mengenal dunia bertani, tak lagi sepenuhnya bergantung pada buruan hutan.
Rotan mereka anyam, kopra mereka olah, damar dan tanaman herbal yang dulu hanya dilewati, kini dipetik dan diolah sebagai sumber penghasilan. Perlahan, roda ekonomi berputar. Tak besar, belum stabil, tapi cukup untuk membuat mereka percaya bahwa perubahan memang mungkin.
Baca Juga : Sinergi BMH Malut dan Pesantren Rimba Rayakan Nuzulul Qur’an
“Torang senang so bisa mengaji, berkebun, dan bajual di masyarakat,” ujar Simon (Ahmad), salah satu mualaf yang kini turut aktif membantu warga lain beradaptasi. Ini adalah cerminan bagaimana dakwah, ketika dilakukan secara holistik, dapat mengangkat derajat hidup masyarakat dan memberikan pondasi yang kuat di tengah tantangan zaman.
Dakwah yang Menghormati Tradisi dan Membawa Harapan
Keberhasilan ini tak datang dalam semalam. Perjalanan panjang dan berliku mengajarkan satu hal penting: bahwa dakwah yang efektif bukanlah yang datang membawa instruksi, tapi yang hadir dengan hati terbuka, mau mendengar, dan menghargai.
“Ini bukti bahwa pendekatan berbasis budaya, yang menghormati kearifan lokal, bisa jadi kunci keberhasilan dakwah dan pemberdayaan,” kata Arif.
Bagi Arif, yang juga mantan ketua Pemuda Hidayatullah Maluku Utara itu, menjadi penyuluh agama bukan sekadar pengajar. Ia adalah jembatan yang menghubungkan nilai-nilai Islam dengan kehidupan nyata masyarakat adat—mereka yang berada di wilayah 3T: tertinggal, terdepan, dan terluar.
Baca Juga : BMH Sebar Dai Penggerak Hati ke Pelosok Halmahera, Kobarkan Semangat Idul Adha
Meski banyak pencapaian, tantangan tetap membentang: minimnya infrastruktur, terbatasnya alat bantu, hingga keterbatasan sumber daya manusia. Arif pun berharap lebih banyak pihak mau terlibat, menyumbang tenaga, pikiran, atau bahkan hanya perhatian.
“Supaya perubahan ini nggak berhenti di tengah jalan, kami butuh sinergi dari pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat luas,” ujarnya penuh harap.
Kini, Suku Togutil menapaki jembatan menuju masa depan yang berbeda. Bukan dengan meninggalkan akar, tapi dengan memperkuatnya—membawa warisan budaya mereka ke dunia baru yang lebih terbuka dan bermartabat. Dari belantara Halmahera, kisah ini bergaung pelan, namun suaranya jernih—sejernih harapan yang tumbuh di tengah hutan, bahwa perubahan bukan mustahil, dan dari pelosok pun, cahaya bisa lahir.