Dua Penghujung Hati

Cerpen Dua Penghujung Hati

Pucuk daun teh dengan tetesan embun di atasnya, harum aroma kesejukan di pagi hari tanpa gas karbon dioksida membuat seluruh syaraf di tubuhku rileks. Sedikit melupakan rinduku pada kehangatan seseorang, sosok yang setahun kebelakang selalu ada di sisiku, menemani hari-hari yang sebelumnya kosong.

Mengingat suara merdunya saat membacakan ayat-ayat suci di waktu subuh, membuat hati ini semakin tidak rela. Yaa Rabb,,,bantu aku mengikhlaskannya…dan kelak bila Engkau berkenan menginjakkan kakiku di syurgaMu, pertemukanku dengannya.

“Nesha… sampai kapan kamu akan seperti ini?” suara lembut itu… aku mengenalnya! Tak butuh satu detik otakku untuk menerjemahkan pemilik suara itu. Aku menoleh, menatapnya tak percaya. Menatap wajah teduh milik seseorang yang berwajah kaku ketika meminangku setelah melewati masa ta’aruf yang cukup singkat setahun yang lalu.

“Nesha, bangkitlah…” ujarnya dengan nada yang terdengar seperti sebuah permohonan.

“Aku butuh waktu untuk memulai semuanya dari awal, Ka.”

“Kamu tidak harus memulainya dari awal, cukup lanjutkan kehidupanmu dan lanjutkan perjuangan kita, mimpi-mimpi kita…” tatapannya menusuk tajam mataku.

“Sendirian? Kakak yakin aku bisa melakukannya tanpa kakak?!” tolakku galak.

“Kamu tidak harus sendirian,” ujarnya pelan.

Ia tertunduk, dan mataku tengah berkaca membayangkan kelanjutan kalimat yang hendak diucapkannya. “Aku mengenal Reihan, ia akan menjadi imam yang baik untukmu.” Suaranya bergetar.

“Reihan…? Aku tidak mungkin…” suaraku tercekat menahan amarah, tangis, dan berbagai bentuk penolakan yang bersatu diujung hatiku.

“Untukku Nesha,, aku tidak mungkin lagi menemanimu, menjagamu, mendengarkan keluhmu, aku tidak mungkin membiarkanmu sendirian. Lakukan untukku Nesha, cintai ia seperti engkau mencintaiku, hormati ia seperti engkau menghormatiku. Jaga hatinya…”

***

Mimpi itu datang setiap malam selama tiga hari berturut-turut, menghantui malam-malam panjang penuh kebimbanganku. Reihan? Benarkah Kak Galih rela melihatku bersama satu-satunya pria yang bisa membuatnya cemburu meski hanya mendengar namanya kusebut? Reihan, satu-satunya pria yang membuat Kak Galih menyesali salah satu potongan masa laluku karena pria itu pernah mengisi hatiku. Tanpa suamiku itu tahu,,, tak ada yang mampu menandingi kekagumanku dan kecintaanku padanya kecuali Rabbku dan RasulNya.

Sementara ibuku di Jakarta tak berhenti menghubungiku, memintaku untuk segera pulang dan mengambil keputusan. Ya. Keputusan yang sulit, aku butuh waktu satu bulan untuk memikirkannya, dan dipenghujung akhir bulan itu pula mimpi-mimpi itu membayangi malam ku yang mungkin merupakan jawaban dari istikharah-istikharah ku.

Hari berikutnya aku memutuskan untuk pulang, menerima pinangan seorang ikhwan yang Insya Allah akan menjadi imam yang baik untuk ku. Meski ia tak akan pernah bisa menjadi Kak Galih yang telah dijemput malaikat izrail di pesawat yang akan membawanya ke Jepang setahun lalu. Negeri matahari terbit yang kami jadikan negara tujuan kami untuk menuntut ilmu dan menjemput impian. Aku tak pernah menduga kalau Negeri itu juga yang akan mengakhiri semua mimpi-mimpi kami, dan bahkan merenggut seseorang yang sangat berarti bagiku.

Kak Galih dan Reihan, keduanya memang berbeda. Kak Galih, sebuah jawaban atas doa-doa di penghujung malam-malam panjangku. Seseorang yang tidak pernah aku temui sebelumnya, seseorang yang berkarakter tegas tapi juga penyayang, seseorang yang semakin aku mengenalnya… semakin aku jatuh hati padanya.

Aku menyesal belum sempat mengenalnya terlalu dalam, meski sudah setahun kami membina rumah tangga. Sedangkan Reihan, aku mengenalnya sejak kami sama-sama berada dalam kehidupan kami yang lama. Aku sudah sangat mengaguminya sejak saat itu, bahkan sampai saat aku sudah tertarbiyah. Lalu kami dipertemukan setelah kami sama-sama mengalami tempaan tarbiyah di tempat masing-masing. Dipertemukan dalam situasi yang sama sekali berbeda. Aku tidak mungkin membandingkan keduanya. Untuk itu aku telah menyiapkan dua tempat untuk mereka di hatiku, dua tempat berbeda namun memiliki arti yang sama bagiku. Imamku di dunia yang untuk keduanya aku harus menjaga diri dan  hati.

***

“Nesha, kau menangis?” lagi-lagi aku hanya butuh sepersekian detik untuk dapat mendeteksi pemilik suara itu.

Aku berusaha menyembunyikan tangisku dengan menyeka air mata yang sudah terlanjur jatuh di pipi tirusku. Meski keinginan berucap sangat besar, toh aku tetap tak sanggup untuk mengeluarkan suara.

“Ada yang menyakitimu?”

Aku menggeleng, “Justru  mungkin akulah yang telah menyakiti hati orang lain, bukan hanya menyakitinya, aku juga mungkin telah melukai hatinya…” ujarku dengan suara bergetar. Berusaha menahan tangis yang akan meledak.

“Bolehkah aku mengetahui alasannya?”

Diam. Beberapa menit yang terdengar hanya desau angin pegunungan.

“Aku merindukanmu, Kak Galih. Diam-diam aku selalu berharap untuk bertemu kakak meski hanya dalam mimpi, selama ini aku selalu menahannya. Tapi untuk malam ini, aku benar-benar tidak kuasa menahan kerinduanku pada Kakak. Itulah alasan mengapa aku menangis, karena aku tidak bisa menjaga hatinya… karena diam-diam aku telah mengkhianatiya… tanpa ia tahu. Aku telah menyakitinya…” isakku tak tertahankan.

Kulihat Kak Galih tertunduk, tak mengucapkan sepatah katapun. Membuatku semakin merasa bersalah… “Maafkan aku, Kak..”

Ia mengangkat wajahnya yang kini penuh cahaya, tersenyum  tulus menatapku lekat-lekat. “Nesha, aku tidak salah memilihmu menjadi pendamping selama aku hidup. Aku ridho terhadap apa yang kau lakukan, istriku. Lakukanlah yang terbaik menurutmu, buatlah Reihan yang kini menjadi suamimu juga ridho terhadapmu seperti ridhonya aku terhadapmu.”

Ia lalu pergi, tak menghiraukanku yang terdiam penuh tanda tanya.

“Assalammualaikum, Humaira…” wajah teduh Reihan menyapaku dari tidurku yang terasa sangat panjang.

“Humaira??” keningku berkerut, tidak suka dibangunkan dengan nama seorang wanita lain keluar dari mulut suamiku. Membalas salamnya pun ku pendam dalam hati.

Ia tersenyum lucu, menggodaku yang berwajah murung. “Kenapa tidak tersenyum,, wahai gadis dengan pipi kemerah-merahan?”

Aku tersentak kaget, bagaimana mungkin aku melupakan julukan Rasullah kepada Aisyah, istrinya. Aku tersenyum malu, yang membuatnya semakin leluasa menggodaku. Kusiapakan jari telunjukku untuk menggelitiki perutnya, sebelum ia mengeluarkan satu buket bunga mawar putih yang indah ke hadapanku. Aku hendak meraihnya ketika ia refleks menjauhkan buket bunga itu dari wajahku.

“Bukan untuk Ummi, Bi?,” protesku.

Ia menggeleng, “Cepat bersiap, kita akan pergi ke suatu tempat,” ujarnya penuh aroma kelicikan.

“Ummi belum siap juga?? Ayo cepetan dandannya… Abi kan mau ajak Daffa jalan-jalan.” Malaikat kecil itu tiba-tiba muncul, berteriak-teriak meminta Umminya bersiap secepat kilat.

“Iya sebentar sayang…”

***

Mataku berkaca melihat pemandangan di hadapanku, Reihan meletakkan karangan mawar putih tadi di pusara Kak Galih dengan takjim. Sementara aku masih tidak percaya ia akan membawaku ke tempat ini, terpaku menatap Reihan menangkupkan kedua tangannya untuk berdoa.

Aku masih saja menggenggam tangan mungil Daffa yang masih penuh ekspresi bingung, karena Abinya mengajak jalan-jalan ke pemakaman. Reihan kemudian sadar melihatku terpaku, dengan wajah teduhnya ia mengisyaratkan aku agar ikut duduk dan berdoa untuk Kak Galih. Tidak butuh waktu lama untuk membuatku khusyuk berdoa memohon ampun untuk Kak Galih. Memohon ampun baginya… agar dilapangkan kuburnya.

“Galih, mungkin aku tidak bisa mencintai Nesha seperti kau mencintainya. Mungkin aku tidak bisa menjaganya seperti kau menjaganya dahulu. Tapi aku berjanji, aku akan mencintai dan menjaganya dengan segenap hati dan kekuatanku…untukmu. Aku tahu ia tidak mungkin melupakanmu, tidak mungkin berhenti mencintaimu…,” Reihan berhenti, menggenggam jemariku erat.

“Tapi aku pun tahu, penuh perjuangan untuk ia mencintaiku sebesar ia mencintaimu. Aku tahu ia berusaha keras untuk jadi seorang istri shalehah bagiku. Dan apa yang telah dilakukannya untuk ku tidak pernah sia-sia, aku ridho terhadap apa yang ia lakukan untuk ku dan aku pun ridho terhadap apa yang ia lakukan untukmu. Insya Allah.” Ia menatapku tajam, membuat semua tulang rusukku seperti dilolosi satu persatu.

“Aku mencintai Kak Galih karena Allah, dan aku juga mencintai Abi karena Allah,” ucapku pelan, membuat senyumnya mengembang seperti senyum Kak Galih di mimpi terakhirku.

“Daffa sayang Abi dan Ummi juga karena Allah,” ujar Daffa lucu. Kami berpelukan, berharap keluarga kecil bahagia ini tak akan pernah berakhir.

“Ini makam siapa, Bi?’”

“Makam Abi Galih, Abinya Daffa juga.”

Matahari hendak kembali ke peraduannyya ketika Reihan menyerahkan setangkai mawar putih yang ia sembunyikan dibalik punggungnya tadi. Mataku berkaca, tak kuasa menahan haru sekaligus syukur. Terima kasih Ya Rabb,, Engkau telah mengirim dua malaikat untuk mendampingiku dan satu malaikat kecil yang akan selalu membuatku tersenyum.

***

-Putri Pelangi-

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *