Genderlect Theory : Kesetaraan Tidak Mengenal Gender, Menyikapi Isu Gender Menurut Perspektif Teologis

Mata Akademisi, Milenianews.com – Gender bukan hanya soal jenis kelamin biologis, tetapi juga tentang konstruksi sosial yang membentuk peran dan harapan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Di balik perbincangan panjang mengenai kesetaraan, ada satu pertanyaan penting yang masih relevan hingga kini: apakah benar bahwa kesetaraan tidak mengenal gender?

Data dari Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia tahun 2022 menunjukkan tren positif, di mana ketimpangan menurun menjadi 0,459 dari tahun sebelumnya. Namun, di banyak wilayah pelosok, stigma terhadap perempuan masih mengakar kuat: mereka tidak boleh menempuh pendidikan tinggi, tidak boleh bersuara lebih lantang daripada laki-laki, dan tidak boleh berada di ruang kepemimpinan. Ini bukan sekadar masalah sosial, tapi juga teologis.

Feminisme Liberal dan Warisan Patriarki

Dalam kacamata feminisme liberal, kesetaraan gender hanya mungkin tercapai melalui perubahan hukum dan struktur sosial. Sistem patriarki dianggap sebagai akar ketimpangan, dan karenanya harus dihadapi dengan revisi terhadap aturan yang melanggengkan subordinasi perempuan dalam institusi keluarga maupun masyarakat luas.

Teologi Klasik dan Gender: Suara Murji’ah dan Asy’ariyah

Namun bagaimana teologi Islam memandang ini? Jika kita menelusuri aliran-aliran klasik seperti Murji’ah dan Asy’ariyah, tampak bahwa isu gender tidak menjadi agenda utama. Murji’ah, misalnya, lebih menekankan pentingnya iman daripada amal. Dalam pandangan mereka, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah, namun mereka tidak secara eksplisit memperjuangkan kesetaraan sosial dalam praktik keseharian.

Aliran Asy’ariyah memiliki pendekatan berbeda. Meskipun cenderung mempertahankan struktur sosial patriarkal yang dominan dalam budaya Islam klasik, Asy’ariyah tetap mengakui bahwa di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan setara dalam hal iman dan amal. Ketimpangan sosial dipahami bukan semata-mata biologis, tapi sebagai bagian dari tatanan sosial yang dipengaruhi norma agama.

Baca juga: Kesetaraan Gender Jadi Upaya Kolektif yang Terus Dilanjutkan di Indonesia

Genderlect dan Kesadaran Teologis

Dalam ranah linguistik, Genderlect Theory menggarisbawahi bagaimana laki-laki dan perempuan memiliki gaya komunikasi yang berbeda, sebagai refleksi dari pengalaman sosial mereka. Namun, jika ditarik dalam diskursus teologis, teori ini mengajak kita untuk melihat: apakah perbedaan itu harus dimaknai sebagai ketimpangan, atau justru sebagai keberagaman ekspresi dalam kesetaraan spiritual?

R.A. Kartini: Figur Perlawanan atas Stigma Gender

Kisah R.A. Kartini menjadi teladan penting dalam perjuangan gender di Indonesia. Ia bukan hanya ikon emansipasi perempuan, tetapi juga simbol keberanian melawan narasi tunggal patriarki. Dengan pendidikan sebagai senjatanya, Kartini membuka ruang berpikir bahwa perempuan berhak untuk belajar, bersuara, dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

Kesetaraan gender dalam Islam bukanlah ilusi. Ia hidup dalam nilai iman, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Tantangannya kini adalah bagaimana mengedukasi masyarakat, mengikis doktrin keliru yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki, dan menciptakan kebijakan yang berpihak pada keadilan.

Kesetaraan tidak harus seragam, tapi harus adil. Bukan tentang siapa yang lebih tinggi, melainkan siapa yang diberi kesempatan setara untuk tumbuh, berpikir, dan bermakna di dunia ini.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *