Puisi  

Pemahat Hati

Hadi Suroso. (Foto: Istimewa)

Oleh Hadi Suroso

Bahkan musim pun kini berganti. Ranting-ranting getas yang dulu kering, kini kembali menghijau. Daun-daunpun menjadi rimbun berjuntaian. Sementara aku…., belum beranjak, masih saja di sini, terpaku pada kisah yang telah lalu.

Mungkin memang aku yang salah. Aku begitu percaya dengan caramu meyakinkanku, bahwa akulah satu-satunya yang kamu perjuangkan mati-matian tanpa kenal lelah. Kamu begitu mantap dengan segala yang kamu tunjukkan kepadaku hingga tak ada alasan bagiku untuk meragukanmu.

Saat sepenuhku telah kutambatkan, aku tak pernah memberi ruang untuk yang lain. Setiap kali ada yang datang, aku hanya menemuinya di pelataran luar, tak pernah ku persilahkan untuk masuk ke dalam hati_sekedar menghargai dan menjaga perasaan. Tidak lebih dari itu.  Perlu kamu tahu, kamulah satu-satunya yang bertahta di altar tertinggi hatiku_kedudukanmu di sana tak mungkin tergantikan.

Sehidup semati pun menjadi ikrar yang kita tanamkan di masing-masing diri kita, sebuah janji yang makin meneguhkan hati kita berlabuh. Indah…, kita satu irama langkah dalam membangun sebuah impian, bersama riuhnya do’a yang kita syairkan di keheningan malam.

Namun…

Apapun itu…

Sekuat-kuatnya kita menggenggam, sehebat-hebatnya kita mengikatkan, di tubuh waktulah semua itu dipertaruhkan. Semua akan diuji.

Pun halnya dengan kita, tak luput dari keniscayaan itu.

Benar saja…

Seiring berjalannya waktu, ternyata semua tidak selalu baik-baik saja. Apa yang aku yakini nyatanya tidak selalu bisa seperti yang aku ingini.

Kamu tiba-tiba berubah.

Tiba-tiba kamu berubah menjadi orang asing yang tak aku kenali. Tak kusangka kamu lupa akan ikrar dan janji kita. Tak kuduga kamu lupa akan mimpi yang telah kita rajut. Aku tak habis pikir kamu bisa seperti itu. Akupun menjadi hancur dan terpuruk.

Dengan tega kamu hentikan paksa irama langkah kita. Kamu sudahi semua apa yang telah kita titi. Kamu hancurkan semua apa yang telah kita tata. Dengan mudahnya semua kamu buat jadi porak-poranda. Lalu dengan sebatas mengucap maaf dan selamat tinggal, kamu pergi meninggalkanku.

Aku terhenyak. Jiwakupun tergoncang. Pandanganku jadi gelap dan kosong. Aku merasakan kesakitan yang tak terkira, menahan nyeri dari luka yang kamu sayatkan di sekujur hati.

Aku benar-benar nyaris kehilangan arah dan kendali diri saat itu.

Kini tepat semusim aku menjalani hari-hari tanpamu. Tepat di tempat ini dulu kisah kita dimulai. Tepat di tempat ini pula semuanya berakhir. Tempat bersejarah dimana hikayat cinta kita dituliskan.

Tepat di sini. Di terpakunya aku pada kenangan tentang kita, di sela tumpukan rasa sakit yang ada, nyatanya rindu masih terselip di sudut hatiku.

Meski enggan untuk ku katakan….

Ku akui….

Kamulah si pemahat hati akan rasa sakit dan rinduku hingga detik ini.

Bogor, 30092024

Hd’s

 

Profil Penulis:

Hadi Suroso. Biasa dipanggil Mr/Mas Bob. Aktivitas keseharian, mengajar Math Cambridge di sekolah Bosowa Bina Insani Bogor, guru Bimbel dan juga guru privat SD sampai SMA untuk persiapan masuk PTN. Mulai menyukai menulis sejak satu tahun terakhir, khususnya Puisi dan Refleksi kehidupan sebagai percikan hikmah. Menulis bisa kapan saja, biasanya saat muncul gagasan dan keinginan untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Menulis merupakan bagian dari  mengasah jiwa dan menggali hikmah.

 

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *