Judul buku: Larik Semu Merindu
Penulis: Antoro, S.Pd. dkk
Penerbit: Mentari Sastra Publisher
Cetakan: I, Juli 2025
Tebal: 75 hlm
Milenianews.com, Ngobrolin Buku—Buku antologi berjudul Larik Semu Merindu ini adalah pertemuan antara rasa dan makna. Sebuah himpunan puisi yang menyuarakan cerita-cerita yang sering kali kita simpan rapat: tentang cinta yang tak pernah selesai dalam satu musim, tentang rindu yang tertahan diam-diam, dan tentang perjalanan belajar yang tak hanya milik siswa—tetapi juga milik para pendidik, pemimpi, dan pencari makna.
Pendidikan bukan sekadar soal ruang kelas dan papan tulis. Ia adalah proses batin, pertumbuhan perasaan, dan keberanian untuk terus bertanya – termasuk kepada diri sendiri. Antologi ini merangkul tema cinta, penantian, dan pendidikan dalam satu nafas — seperti melihat cermin yang merefleksikan potongan-potongan kehidupan yang pernah (atau sedang) kita jalani.
Ada yang tumbuh dari luka, tapi tidak selalu menjadi dendam. Ada yang bertahan dalam rindu, tapi tidak selalu berharap kembali.
“Larik Semu Merindu” adalah antologi puisi yang mengalir dari serpihan-serpihan perasaan: tentang cinta yang sabar, rindu yang setia menunggu, dan semangat belajar yang menyala meski dalam senyap. Di antara bait-baitnya terselip penghormatan untuk para guru dan dunia pendidikan – sebagai pijakan awal dari banyak perjalanan hidup.
Hal itu tak lepas dari latar belakang para penulis puisi ini yang beragam, mulai dari kepala sekolah, guru, mahasiswa, siswa, penulis profesional, hingga pegawai swasta.
Buku ini adalah ruang teduh bagi siapa pun yang sedang belajar memahaami hidup, menerima luka, dan tetap memilih untuk mencintai meski tak selalu dimengerti. Boleh jadi, larik-larik puisi di buku antologi ini seperti suara hati pembaca sendiri.
Hal itu bisa kita rasakan saat membaca puisi karya seorang siswa SMA bernama Nisrina Nafsiyanah Muthmainnah berjudul Jejak yang Tak Terhapus:
Goresan itu nyata,
Hadir dalam senyap.
Mereka tidak paham
apa yang aku maksud
….
Jejak lama itu menguak,
kala luka itu ia goreskan.
Maaf yang menggantung di langit,
amat teramat benci
Tak tahu malu,
aku pasrah,
membiarkan luka bicara sendiri
kepada bayangan yang menyisakan perih
Sementara itu puisi karya Tjutju Herawati berjudul Bunga Terakhir mengungkapkan keikhlasan dan cinta yang terus bertahan di tengah perpisahan yang menyedihkan:
Indah cinta berbisik mesra
Bunga cantik mekar di atas pelaminan
Wangi semerbak hiasi kisah kini dan masa depan
Melukis rindu di hamparan jalan kehidupan
….
Pergi untuk kembali bukan hanya hiasan
Kini menjadi satu kenyataan
Kau pergi meninggalkan aku
Begitu cepat kau tinggalkan kenangan manis itu
Bunga ini, bunga terakhir
Namun cerita cinta ‘kan terus mengalir
Melukis indah di setiap relung jiwa
Relung jiwa yang dahaga akan kasih sayang-Nya
Kepasrahan dan keikhlasan kepada Sang Pencipta terasa benar dalam puisi Melodi Asa karya Antoro, S.Pd.:
Di relung sukmaku, tersembunyi sunyi
Gema kalbu berbisik, membelai sepi
Cahaya Ilahi, menembus tirai dini
Menyingkap makna, abadi tak bertepi
…
Malam bertabur bintang, saksi bisu doa
Jiwa merindu pulang, ke haribaan-Nya
Biarlah melodi asa, terus berkumbang merdu
Menuntun Langkah, hingga akhir masa
Romantisme dan kesetiaan terasa kental sekali pada puisi berjudul Waktu, Senja dan Aku yang Setia karya Eni Rahayu Widyawati:
Di balik langit jingga senja menyapa
Kulayangkan doa pada angin yang berlalu
Meski kau jauh, hati tak pernah lupa
Menanti kabarmu dalam hening yang syahdu
…
Setiap senja adalah pertemuan jiwa
Antara harap dan luka yang kuterima
Kupeluk sepi, kusematkan namamu di dada
Sambil menunggu Cahaya kembali bertahta
Jika esok kau datang membawa Cahaya
Temui aku di pelataran waktu yang lama
Di sana, ada aku bukan kareana siapa-siapa
Hanya karena cinta … dan setia yang tak sirna













