Dunia Ketidakadilan dan Ketidaksetaraan

Judul buku: The Price of Inequality, How Today’s Divided Society Endangers Our Future

Penulis: Joseph E. Stiglitz (Ekonom Peraih Nobel)

Penerbit: W.W. Norton & Company

Tahun Terbit: 2012

Jumlah halaman: 464 hl

Milenianews.com, Ngobrolin Buku— Masih dalam rangkaian kegiatan “Kelas Jenius.” Kelas untuk memahami dan menyusun rancangan undang-undang ekonomi-politik pancasila. Undang-undang yang diabsenkan kelompok neoliberalis di istana; padahal merupakan perintah konstitusi sekaligus kebutuhan mendesak seluruh warga-negara.

Kali ini menghadirkan buku karya Stiglitz kembali. Ia mengawali argumentasinya dengan menyodorkan fakta ketimpangan ekstrem bahwa 1% kelompok teratas di Amerika Serikat menguasai porsi pendapatan dan kekayaan yang sangat besar dibandingkan dengan kontribusi produktifnya.

Stigliz menolak anggapan bahwa ketidaksetaraan adalah konsekuensi alamiah dari pasar bebas. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa jurang kaya dan miskin merupakan hasil dari kebijakan politik, regulasi, dan hukum yang sengaja dirancang untuk melayani kepentingan elit.

Buku ini menguraikan bagaimana rent-seeking menjadi praktik mencari keuntungan bukan melalui inovasi, melainkan lewat monopoli, lobi politik, dan manipulasi regulasi yang menjadi motor utama lahirnya ketidakadilan ekonomi.

Stiglitz menegaskan bahwa pasar tidak pernah berdiri netral. Pasar selalu dibentuk melalui aturan, dan aturan itulah yang sering dibajak oleh kelompok dengan kekuatan politik dan finansial.

Implikasi dari kondisi tersebut tidak hanya bersifat moral. Menurut Stiglitz, ketidaksetaraan menghambat pertumbuhan jangka panjang, melemahkan daya beli warga negara, serta merusak mobilitas sosial antar-generasi. Dalam perspektif makroekonomi, ketimpangan mengikis permintaan agregat, menjerumuskan ekonomi pada stagnasi, dan memperbesar risiko krisis berulang.

Di ranah politik, The Price of Inequality menunjukkan bagaimana demokrasi Amerika tergadaikan oleh kekuatan uang. Elit kaya tidak hanya mendanai kampanye politik, tetapi juga mengendalikan opini publik dan memastikan regulasi berpihak pada kepentingan para elit.

Akibatnya, demokrasi yang seharusnya menjamin kesetaraan berubah menjadi plutokrasi yang menyingkirkan suara mayoritas warga negara.

Stiglitz menyoroti peran lembaga negara seperti Federal Reserve yang lebih fokus menyelamatkan bank besar ketimbang melindungi pekerja atau rumah tangga. Kebijakan moneter dan fiskal pascakrisis 2008 memperlihatkan bagaimana institusi publik bisa tersandera oleh kepentingan privat. Situasi ini memperkuat posisi elit finansial sekaligus memperdalam ketidaksetaraan.

Meski demikian, buku ini tidak berhenti pada kritik. Stiglitz menawarkan solusi berupa pajak super progresif yang adil, regulasi keuangan yang ketat, pembatasan monopoli, serta investasi besar dalam pendidikan dan kesehatan publik.

Semua itu dirancang untuk membangun kembali kontrak sosial kapitalisme, di mana pasar berfungsi bagi kepentingan bersama, bukan untuk segelintir orang.

Namun, hambatan reformasi juga diuraikan dengan jernih. Politik yang telah lama dikendalikan oleh elit tidak mudah diubah. Reformasi hanya mungkin tercapai apabila warga negara, akademisi, dan gerakan sosial mampu menekan sistem agar kembali berpihak pada kepentingan publik.

Stiglitz menekankan bahwa ketidaksetaraan adalah hasil dari pilihan politik, sehingga jalan keluarnya juga bergantung pada keberanian mengambil pilihan politik yang berbeda.

Dalam perspektif global, analisis Stiglitz relevan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Ketimpangan ekonomi yang tinggi berpotensi melahirkan instabilitas sosial dan menggerus legitimasi politik. Negara yang mengabaikan distribusi kesejahteraan akan membayar harga mahal berupa protes, konflik sosial, dan menurunnya kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Pesan Stiglitz menjadi peringatan universal, bukan hanya kritik terhadap Amerika Serikat dan Indonesia tentunya.

Akhirnya, The Price of Inequality mengingatkan bahwa dunia Amerika Serikat  hanya bisa bertahan jika direformasi secara mendasar. Jika tidak, pasar yang dimonopoli segelintir elit membuat masyarakat luas menanggung harga yang mahal yaitu stagnasi ekonomi, polarisasi sosial, dan demokrasi yang lumpuh.

Stiglitz menutup dengan tegas, pilihan ada di tangan kita: membiarkan jurang ketidaksetaraan makin dalam, atau membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Sebagaimana ungkapan Pramoedya Ananta Toer, “Di negeri tanpa keadilan, Ibu Pertiwi bukan lagi pelindung. Ia berubah menjadi pemangsa. Ia memamah tulang anak-anaknya sambil berkhotbah tentang nasionalisme. Yang membunuhmu bukan senjata asing, tapi sistem yang kalian bayar dengan pajak dan harapan.”

Penulis: Agus Rizal (Ekonom Nusantara Centre)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *