Hampir Menyerah

cerpen Hampir Menyerah

Mentari nampak cerah, Ayu dengan ekspresi gembira berlari menuju rumah bertemu orang tuanya.

“Pak, aku mendapatkan nilai terbaik di kelas,” ucap Ayu dengan menunjukkan deretan giginya.

“Benarkah?” Gadis itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. “Bapak bangga denganmu, Nak, “ lanjutnya.

“Aku nanti ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, Pak. Aku tak sabar dengan hal itu,” ucap Ayu dengan wajah memancarkan senyuman.

Lelaki yang sudah separuh baya itu berhenti tersenyum, raut wajahnya nampak sedih. Mulai sadar pada arah bicaranya, gadis itu perlahan menghilangkan senyumannya. “Bapak tak setuju jika aku melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi?”

“Bukan seperti itu, Nak” Raut sedih dan bersalah terpancar di wajah orang tua.

“Bapak tak bisa membiayai itu, Nak”

Ayu terdiam sejenak menatap Bapaknya yang masih dengan raut wajah bersalah.

“Bapak tak perlu khawatir dengan hal itu, aku akan coba kerja sambil kuliah, Pak. “Ayu mencoba tersenyum simpul di depan ayahnya walaupun kenyataan hatinya begitu sesak. Setelah itu, Ayu berlalu begitu saja meninggalkan ayahnya yang masih mematung di tempat.

Ayu berdiam diri di kamarnya. Ucapan ayahnya terngiang ngiang di telinganya. Ayu tak menyangka bahwa dirinya tidak dapat dukungan dari ayahnya. Ayu beranjak dari tempat tidur, berjalan menghampiri ibunya yang sedang memasak. “Bu, hari ini masak apa?” Ibunya yang asik menggoreng tempe menoleh ke arah anaknya. “Masak tempe, Nak,” jawabnya sambil tersenyum.

Ibunya mematikan kompor lalu mengangkat tempe yang sudah matang. Setelah itu, wanita cantik yang sudah separuh baya itu menghampiri Ayu yang sekarang duduk di kursi makan. “Nak,” panggilnya. “Iya, Bu?” jawabnya sambil makan tempe yang berada di depannya. “Bapak tadi bilang, katanya kamu ingin melanjutkan ke perguruan tinggi?” Ayu hanya mengangguk saja, lalu melanjutkan kegiatannya.

“Nak,” Wajah ibu Ayu terlihat tegas dan serius, Ayu yang melihat itu lalu menatap ke arah ibunya.

“Kamu tau kan, Nak?” Ibunya yang sekarang duduk di samping Ayu.

“Bapak dan Ibu gak sanggup jika harus membiyai kamu buat kuliah, Nak” Ayu terdiam, mencerna semua perkataan ibunya.

Hatinya serasa sesak, impiannya serasa hancur ketika orangtuanya berbicara seperti itu. Harapannya hilang, padahal Ayu yakin bahwa ibunya akan mendukungnya tapi ternyata tidak. Kedua orangtuanya sama sekali tak sanggup membiayai pendidikannya untuk lanjut ke perguruan tinggi.

“Kamu tau kan, Nak, adik adikmu masih sekolah. Bahkan buat makan aja sulit. Terus uang dari mana untuk biaya kuliah?” jelas Ibunya Ayu.

“Ibu tak tau nanti bisa membiayai apa tidak, tapi kamu pasti tau ekonomi bapak sama ibu seperti apa” Ayu tersenyum menatap ibunya. “Baik, Bu, Ayu tak akan bercerita tentang hal itu lagi. Biarlah Ayu mengubur cita cita Ayu”

Ayu melamun menatap buku bukunya yang berserakan di kasur. Ucapan orangtuanya terus teengiang. Tapi Ayu tak menyerah begitu saja, dia terus memutar otak agar dia bisa lanjut perguruan tinggi dan mendapat dukungan orangtua. Ayu mengambil handphone dan mencoba mencari info beasiswa di berbagai penjuru. Hatinya senang, ternyata banyak beasiswa di luaran sana yang bisa diraih. Tapi di sisi lain, ada rasa takut, bimbang bahkan bingung apa ada jaminan bisa kuliah gratis sampai lulus. Dipikir pikir jika masuk perguruan tinggi pasti membutuhkan biaya banyak. Mungkin ada banyak beasiswa tapi awalan pasti membutuhkan banyak uang.

Jika tidak ada persetujuan dari orangtua, uang darimana untuk membayarnya? Jika bertekad ikut diam diam, apa tidak beresiko kedepannya? Ahhhh Ayu semakin bingung di situasi seperti ini.

Ayu mencoba menenangkan diri, mengambil wudhu. Dia memakai mukena dan membentang sajadah di kamarnya. Pikirannya sekarang hanya satu, ingi berdoa dan meminta petunjuk pada Pencipta. Hatinya bimbang, gelisah, dan bingung dengan keadaan sekarang. Jalan satu satunya yaitu dengan shalat istikharah.

“Maaf Tuhan, aku hampir menyerah di keadaan sekarang,” batin Ayu dalam do’a.

Selesai curhat, Ayu beranjak naik ke kasur. Mencoba mencari cari info yang ada di handphone. Tak sengaja dia menemukan salah satu komunitas menulis yang bisa menghasilkan uang. Seketika ktanya berjalan dengan cepat, senyumnya mengembang setelah ide bagus muncul di pikirannya.

“Jika aku bekerja, pasti aku akan mendapatkan uang. Jika ditabung mungkin akan terkumpul. Kemungkinan buat kuliah juga pasti ada.”

Dengan cepat dia menggalu info yang di dapat, dia mencoba mempertanyakan hal itu pada yang bersautan. “Sepertinya aku bisa melakukannya, “ senyum simpul terus terpancar.

Setelah hal itu, hidup Ayu berubah. Setiap pulang sekolah dia langsung masuk ke kamar untuk bekerja. Alias menulis tapi di bayar. Ya, Ayu menulis novel di salah satu platform digital yang bisa menghasilkan uang. Setiap bulan, Ayu mendapatkan uang 500 ribu bahkan bisa lebih sesuai kata yang dihasilkan.

“Ayu… Sini bantuin ibu jangan HP an terus, “ panggil ibu Ayu. “Iya, bu.”

“Ibu ibu, Ayu mau cerita. Ayu nanti pengen kuliah, “ kata Ayu dengan tersenyum. Seketika ibunya terdiam dengan raut wajah sedih.

“Ibu tenang aja, Ayu akan coba buat bayar kuliah sendiri. Ayu udah nabung buat nanti bisa masuk ke perguruan tinggi. Terus seiring berjalannya waktu, nanti Ayu coba cari cari beasiswa, “ cerocos Ayu.

“Nak, “ potong ibu Ayu dengan raut sedih.

“Menabung darimana, Nak? Saku kamu gak akan cukup buat bayar masuk perguruan tinggi. Ayu kurang lama nabungnya.”

“Tenang, Bu. Ayu sekarang udah bisa cari uang. Nanti uangnya Ayu kumpulin buat bisa kuliah.”

“Uang darimana, Nak?”

“Ayu tiap hari di kamar main HP itu bukan cuma main main aja, Bu. Ayu itu nulis dan tulisannya Ayu dibayar tiap bulannya. Maafkan Ayu baru cerita. Soalnya Ayu takut nanti itu cuma boongan tapi ternyata tidak, Bu.”

“Apa itu benar, Nak?”

“Iya, Bu. Ini salah satu karyaku dan ini uangnya yang di transfer lewat ATM temanku” Ayu yang menunjukkan tulisannya di HP dan mwlempelihatkan struk uang.

“MasyaAllah, Nak. Alhamdulillah.”

“Makasih, Bu.”

“Maafkan ibu, Nak. Sebelumnya ibu tidak mendukung keinginan kamu. Ibu terlalu takut, Nak. Dan sekarang kamu yang punya tekad dan bisa membuktikan ke ibu bahwa tak semuanya itu hanya di pasrahkan pada Pencipta dan kita menyerah begitu saja tanpa usaha. Maafkan ibumu ini, Nak.”

Ibu Ayu hampir meneteskan air mata.

“Aku malah ingin berterimakasih kasih kepada ibu. Jika ibu tidak seperti itu pada Ayu, mungkin Ayu tak akan merasakan sekarang. Ayu sekarang senang, Bu, “ ucapnya sambil memeluk ibunya.

Memilih untuk terus melangkah adalah hal yang benar. Walaupun nantinya banyak mengundang air mata. Tapi, berdiam diri saja juga tak akan mengubah apa apa. Pada ketidaktahuan lah kita harus menerabas agar tidak menyesal di kemudiannya. Jangan sampai hari ini bersenang-senang hingga berkeringat di hari tua. Jadi buang jauh jauh kata menyerah. Ingat, tujuan kita masih jauh. Usia muda jangan sampai ada kata menyerah. Catat itu baik baik.

 

Penulis : Amelia Ayu Permata – SMKN 1 Kanor Bojonegoro

 

Sobat Milenia yang punya cerita pendek, boleh kirimkan naskahnya ke email redaksi@milenianews.com, untuk dibagikan ke Sobat Milenia lainnya.

Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *