Miraculous : Handmade

Miraculous : Handmade

Kedua netra tampak fokus merakit satu-persatu barang bekas di tangannya, membongkar kemudian mengubahnya menjadi sesuatu yang bernilai guna. Terhitung, tangan ajaibnya telah merakit lima belas barang berbeda dalam waktu dua jam. Dia meregangkan jari-jemarinya, tersenyum tipis melihat hasil karyanya sendiri.

“Selesai! Cantik sekali, semoga mereka mau membeli!” serunya seraya merapihkan beragam bahan dan alat seadanya. Gadis berkuncir satu itu menulis sepenggal kata di kertas lalu menempelnya di dinding. Hal ini, sudah menjadi kebiasaannya setiap selesai mengerjakan sesuatu.

“Hari ini banyak tugas, deh, untung ada pelajaran olahraga tadi. Jadi, mood-ku gak terlalu buruk. Eh, Tugas kelompok tadi, kerjainnya di rumahku aja! Banyak makanan, lho.”

Baca juga: Pejuang

Dia menoleh, berjalan pelan menghampiri jendela kamar. Segerombol anak-anak berseragam putih-biru tertawa girang melewati pinggir jalan.

“Ayah punya sesuatu, nih.”

Kedua matanya menatap kosong ke depan, mengabaikan seseorang yang sedang menyodorkan sebungkus nasi. Satu bulir menetes di sudut matanya tanpa bisa dibendung lebih lama, sampai tidak tersadar lauk-pauk dalam nasi tercecer, terjatuh seperkian detik.

“Aina kenapa menangis? Ayah jahat, ya? Maafin ayah membiarkan Aina kelaparan.”

Dia tersentak, mengusap air matanya buru-buru dan melihat ke bawah. “Ayah, maaf Aina gak sadar ada ayah di sini. Ayah bilang apa, sih, orang aku lagi akting sedih biar jadi artis.”

Kepalanya menggeleng berulang kali. “Aina sedih karena Ayah! Ayah gagal!” Tangannya menggumpal, menonjok dinding sekuat tenaga, membenturkan kepala tanpa memedulikan rasa sakitnya.

“Ayah!” Kedua tangan berusaha mencegah aksi nekat sang ayah walau tenaganya sia-sia. “Ayah selalu melakukan hal ini! Aina gak suka! Aina sedih, Ayah!” teriaknya sesak. Beliau berhenti, menatap mata cokelat anaknya yang berkaca-kaca, tanpa berpikir panjang dia mendekap erat.

“Aina jangan menangis. Ayah minta maaf.” Satu tangan mengusap lembut punggungnya yang bergetar, mengecup puncak kepala sang anak. Dia menggeleng, melepaskan pelukan.

“Ayah gak pernah gagal dan gak pernah salah, Ayah harus paham itu!” Dia memeluk kembali ayahnya meski banyak sekali jarum yang menusuk di rongga dada, menggores luka dalam relung kalbu, dan menyimpannya sendiri tanpa bisa dijelajah oleh seorang pun.

“Aina memang belum bisa mewujudkan impian sekarang, tapi Aina yakin Allah gak tidur. Suatu saat, Aina pasti mampu seperti mereka, bersekolah, dan membahagiakan ayah. Janji Aina untuk diri ini dan juga Ayah. Bantu Aina ya Allah.”

Baca juga: Hampir Menyerah 

Aina Fayyola Laibah namanya dengan penyakit vitiligo di sekujur tubuh dan memiliki ayah yang disabilitas intelektual autisme. Mimpinya terlalu tinggi, seluas samudra dan setinggi angkasa, entah akan melebur ditelan semesta atau terbit dengan sendirinya.

….

Hari ini matahari sedang menunjukkan keunggulannya. Terik membakar kulit manusia di bawahnya, tetapi tidak dengan Aina dan sang ayah. Di karungnya sudah terisi penuh beragam sampah sebagai pencaharian mereka.

Aina mengeluarkan beragam kerajinan tangannya dan meletakkan di pinggir jalan. “Ayah, hari ini kita jual di sini dulu, ya, tempat kemarin dipakai orang lain.” Sang ayah hanya mengangguk semangat, Aina bisa melihat raut kelelahannya. Sebotol minum di tangannya tersisa dikit, tetapi persetan dengan itu, Ayahnya lebih penting.

“Minum Ayah, Aina gak haus dan Aina paksa Ayah untuk minum,” ujarnya menyodorkan.

“Terima kasih, semangat Aina.” Aina mengangguk, tersenyum tipis.

“Ayok dibeli, kualitasnya bagus, lho, meski dari barang bekas! Bisa dipakai untuk sekolah, bahkan berguna untuk keperluan rumah! Ibu, mari Ibu.” Aina berteriak mempromosikan barangnya dibantu sang ayah yang bergoyang di depan untuk menarik perhatian sampai ada yang merekam meski beberapa dari mereka melihat heran kulit Aina. Barang berbahan tali, kardus, tutup botol, tetapi bisa menjadi sebuah sofa kecil, tas sekolah, bahkan tempat tanaman.

Satu jam berjualan, keuntungan Aina mulai banyak  bahkan barangnya hampir habis.  “Alhamdulillah. Yah, kita bisa beli makanan enak hari ini.

“Hore! Aina hebat.” Dia mengacungkan dua jempol dan bertepuk tangan. Aina hanya tertawa kecil.

Mereka berjalan menuju rumah makan terdekat, Aina sibuk menghitung uangnya sampai tidak tersadar berada di tengah jalan. Pekikan nyaring terdengar menggelegar di sana, sang ayah sontak mendorong tubuh Aina ke pinggir sampai tergores tajamnya aspal.

Bruk!

“AYAH!”

….

Dari balik kaca mobil, menatap nanar gubuk kecil di pinggir jalan. Hatinya bergemuruh, matanya memanas mengingat momen beberapa tahun silam. Satu usapan lembut terasa di kepalanya, dia tersenyum memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. “Jalan, Pak, sebentar lagi kelulusan anak saya tiba.”

Sekeping memori itu masih tersimpan rapih di kepalanya. Dia menatap semua ribuan manusia di satu ruangan, menarik napas dan mulai menyampaikan seuntai kata. “Ayahku hanya seorang keterbatasan mental. Setiap hari hanya memungut botol bekas, menjual barang daur ulang, dan melihat kesuksesan orang-orang. Belajar sendiri tanpa guru adalah hal terpahit yang saya alami. Hanya bercerita antara kening dan sajadah lalu menempel kertas sebagai harapan luar biasa, salah satunya ingin melihat ayah hidup lebih lama, tetapi mungkin ayah lebih bahagia di Sang Maha Kuasa.” Aina menjauhkan mic, menunduk sejenak, dan membiarkan pipinya basah karena air mata.

Baca juga: Aku dan Samudra

“Berdirinya saya di sini, ingin menyampaikan bahwa diterima bahkan diluluskan oleh Universitas Gadjah Mada sebagai bentuk pengabdian kepada ayah tercinta saya. Tanpa dia saya tidak mungkin memiliki ambisi sebesar ini.” Gemuruh tepuk tangan memenuhi seisi ruangan, Aina tersenyum lebar melihatnya. “Terima kasih dengan tulus kepada seseorang yang bersedia mengangkat saya menjadi anaknya.”

Aina menjadi viral karena lelucon ayahnya ketika berdagang, banyak sekali yang mengunjungi rumahnya, dan menjadikan seorang anak. Aina dikenal dengan gadis berbakat, ramah, dan mandiri. Dia banyak menyumbang prestasi sebagai pelajar, tak heran wajahnya selalu terpampang di majalah.

Sepulangnya, Aina mengunjungi makam ayah, memberi kecupan di nisannya, dan dua selempang kelulusannya di sana. “Anakmu sarjana, Yah, dua gelar. Ayah sedang apa? Bahagia, ya, di sana. Tunggu Aina di surga. Aina mencintai ayah di setiap perputaran waktu.”

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Penulis: Irma Suci Utami, Siswi SMK Binong Permai

Respon (49)

  1. Semua suku kata menimpah di jiwa di setiap celah yang dalam…………….. SENANGAT KAKAK!!!!!!!!!!!!!!!!!! 🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *