Menjaga Jodoh Orang

Menjaga jodoh orang

Tak ingin menyalahkan takdir yang telah kulalui, namun jika memang boleh ku menyesal, mengapa aku harus terlahir lebih lambat? Mengapa waktu mempertemukanku dengannya disaat ku rasa memang tidak tepat untukku?

Ia bagai Purnama yang tak mungkin ku gapai, indah dan begitu mempesona. Namun hanya bisa ku lihat dan ku kagumi dari kejauhan saja. Seakan hidup ku terhenti di detik ini, sungguh ku tak sanggup harus melaju, melangkah meniti waktu berikutnya.

Harus hancur atau harus berhenti mengakhiri semua ini. Tapi, layakkah aku hancur hanya demi dia yang ku kagumi. Terasa begitu naif, namun hati ku benar-benar seperti tersayat sembilu.

Semua memang seperti salahku, aku salah menempatkan perasaan ini. Dan harusnya aku tak bertemu dengan dia di saat memang sosok seperti dia yang aku cari. Kenapa waktu harus mempertemukan aku dengan dia? Mengapa harus ku lewati rentang waktu ini? aku ingin bersembunyi dari dunia ini, aku ingin menghilang.

Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama

Siang itu, tak sengaja aku menabrak lengannya yang sedang membawa segelas juice orange di sebuah kafe dekat kampus. Salah aku, memang aku yang ceroboh, terburu-buru karena aku memang sedang mengejar waktu jam kerja aku.

Siang itu tepat pukul 13.35 aku baru saja menyelesaikan makan siang di kafe dekat kampus itu dan aku harus sampai tempat kerja pukul 14.00 WIB, 25 menit perjalanan dari kafe ke tempat kerja dirasa tidak mungkin, karena jarak tempuh hampir mencapai 20 KM, belum lagi padatnya perjalanan, yang pasti siang hari selalu macet dengan kendaraan orang-orang yang pergi makan siang.

Almira, nama yang terbaca di atas sebuah buku yang terjatuh bersamaan dengan tumpahnya segelas juice orange yang dibawanya tadi. Memang dia tidak marah, hanya terlihat sedikit kecewa karena aku menabraknya dan segelas juice orangenya pun ikut berantakan di lantai juga sebuah buku itu.

Saat itu, karena terburu-buru aku hanya minta maaf dan mengambil sebuah buku bertuliskan nama Almira di sampul buku itu.

“Maa maaf ya,, maaf aku terburu-buru, maaf yaa. Ini uang silakan kamu beli lagi yaa, maaf aku tidak bisa ganti minuman kamu, maaf yaa. Aku kuliah di kampus depan koq, semoga besok ketemu lagi ya, aku janji aku akan ganti,” ujarku saat sambil berlari mengejar waktu, melesat ke parkiran motor.

Kenal Bidadari Langit

Satu pekan sejak kejadian itu, aku baru kembali ke kafe ini. Kali ini, aku memang sedang off bekerja dan siang selepas jadwal kuliah, kuhabiskan waktu di kafe ini. Mengerjakan banyak deadline tugas dan menyelesaikan beberapa laporan kerjaan aku.

Sore itu, menjelang matahari terbenam. Matahari mulai meredum, lembayung senja mulai merona. Ku tarik nafas panjang, karena hampir ku selesaikan semua deadline. Sesaat kualihkan pandangan mata dari sinar biru laptop ku, mata ku berselancar melihat sekeliling. Dan tetiba terhenti tepat di arah jarum jam pukul 2 siang.

Gadis berkerudung warna ungu taro duduk membelakangi tatapan bola mataku, sedang serius menatap layar laptopnya sendiri. Terus ku amati, sosok itu. Dan ku terka-terka paras yang menghadap belakang itu, dengan postur tubuh itu, sepertinya aku ingat kejadian pekan lalu.

Dan dia membuyarkan semua lamunanku, juice orange yang tumpah dan buku yang terserak dengan nama Almira. Terbersit dalam ingatanku, dan kontan aku tergerak hati untuk berniat meminta maaf secara langsung pada dia, sebab kecerobohanku sudah menumpahkan juice orange yang dibawanya pekan lalu itu.

Kuberanikan diri untuk menghampirinya, kupikir ini saat yang tepat untuk meminta maaf padanya akibat kecerobohanku tempo lalu, dan mungkin juga momen seperti ini belum tentu terulang lagi. Jadi kuberanikan diri untuk menghampirinya, meski waktu itu aku sudah meminta maaf tapi ini adalah momen yang baik untukku mengakui semua kesalahanku dan mengenal dirinya.

“Selamat sore, assalamualaikum, maaf mengganggu kenalkan saya Prastyo yang tempo hari menumpahkan juice orange kamu,”.

Oh waalaikumsalam,”.

Datar dan tanpa rasa, batin ku menjadi ragu, jiwa ku dingin, mentalku hancur. Dia begitu datar dan tak sedikit pun menatap ku.

Namun, kembali ku beranikan diri untuk izin duduk semeja dengan dirinya. Terlihat konyol dan sedikit tidak sopan mungkin pikirku, tapi hatiku memang ingin sekali meminta maaf dan mengenal dirinya.

“Boleh, aku duduk di sini?,” kata ku meminta izin padanya.

“Silahkan, tapi aku sudah ingin pergi,”.

Sambil merapikan semua perlengkapannya yang terserak di atas meja, juga menutup laptopnya. Dia pergi begitu saja dan tak lagi memberiku kesempatan untuk sedikit berbincang padanya.

Saat bayangannya menghilang dari hadapanku, kontan mulutku memanggilnya.

“Almiraaa…!”

Seketika itu, ia menoleh dan berkata, “Maaf saya harus buru-buru sebelum hari gelap, assalamualaikum”.

Lirih ku menjawab salamnya, “wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh”.

Ruang Segudang Ilmu

Masih satu deadline tugas yang belum ku selesaikan, karena aku kurang refrensi buku. Maka, hari ini aku pergi ke perpustakaan dan kebetulan juga jadwal kerjaku libur. Jadi deadline tugas harus selesai. Baru saja membuka satu buku refrensi, di ruang perpustakaan, aku sudah dikagetkan dengan kehadirannya yang duduk di meja sebelah meja ku, dan ku terpaku akan hadirnya.

Kali ini ku coba tak ingin agresif, sebab kemarin aku sudah begitu beku dibuatnya saat permintaan maaf ku yang kedua ditanggapinya dengan dingin seperti batu es.

Kulanjutkan membuka tiap lembar buku refrensi yang ku cari. Akan tetapi mata ini tetap tak dapat fokus pada tiap barisan huruf dalam buku ini. Mata ku liar, selalu tertuju pada tiap geraknya.

Ah, mengapa aku ini… batin ku menyesali diri yang memang bersalah dan tak sanggup meraih kata maaf darinya.

Di saat ku sedang meratapi diri, ada suara perempuan yang begitu lembut menyapa diriku.

“Permisi, maaf, boleh pinjam pulpen?,” ahh, dia meminjam pulpen pada ku. Sontak darah ku bergetar dan lidah ku jadi kaku.

Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah terdiam, bisu seperti patung.

“Boleh aku pinjam pulpen?,” sekali lagi dia bertanya padaku sebab pertanyaan pertama tak ku jawab..

“O oo,, ya ya boleh.. silakan,” terbata ku jawab kali kedua pertanyaannya. Rasa jantung ku berdebar begitu cepat dan mendadak dahi ku berkeringat padahal di ruang perpustakaan ini begitu dingin, terlihat suhu di AC yang menempel di dinding itu, 16 derajat celcius.

Ku pinjami dia pulpen. Dan dia mulai asyik mencatat dengan buku-buku yang dibaca. Sedang aku, satu halaman buku pun, belum rampung aku baca. Bagaimana deadline tugas ku akan selesai jika seperti ini.

Sejam kemudian

“Hey, terima kasih untuk pulpennya ya. Loh, kamu yang tempo hari ketemu di kafe kan?,” kata Almira pada ku.

Dan ku jawab, “Aku Prasetyo, Fasilkom 2019,” tegas, langsung ku jawab pertanyaannya dengan kembali memperkenalkan diri, khawatir dia melupakan aku tempo hari.

“Oo, aku Almira, FMIPA 2019, Terima kasih untuk pulpennya”.

Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun berlalu hendak keluar dari perpustakaan ini. Bergegas aku pun membereskan semua perlengkapanku yang terserak di meja. Dan kuikuti Almira dari belakang.

“Kamu mau ke kantin?,” tanya ku ingin tahu. Almira pun menjawa, “iya aku lapar”.

“Boleh aku ikut?,” mencoba ku berbasa basi.

“Ooo boleh, silakan saja, kan kantin milik semua mahasiswa di kampus ini,” jawabnya begitu lugas.

Sejak itu, di kantin inilah, aku dan Almira semakin dekat dan kurasa tak ada lagi dinding es di antara aku dan dia. Semua sudah cair, dan kami berteman baik.

Menjaga Jodoh Orang

Dua bulan sudah ku mengenalnya, hari-hari ku lalui terasa begitu cepat dan bahagia. Aku jadi betah sekali di kampus. Kuliah-kerja-rumah, kuliah-kerja-rumah, kulalui dengan begitu cepat. Dan waktu, lebih banyak ku habiskan di kampus. Setiap hari bisa bahagia bertemu dengan Almira.

Di pekan ketiga bulan ini, ada banyak deadline tugas kampus, begitu juga dengan Almira. Dan di pekan ini merupakan pekan terakhir ujian semester. Sebelum liburan, aku dan Almira memang berniat untuk menyelesaikan semua tugas. Karena kami pikir, liburan adalah waktu refreshing dan bersenang-senang.

Dan di hari terakhir pekan ketiga ini, ku niatkan akan mengungkapkan segala rasa yang kumiliki pada Almira. Sebab, setelah kejadian di kafe itu, ku kira aku sudah menemukan sosok perempuan yang aku cari selama ini. Aku ingin dia menjadi pendamping ku di masa depan, dan aku ingin bersama dengan dia mengarungi kehidupan ini. Dan ku mantabkan diri bahwa memang Almira pantas menjadi pendampingku.

Setelah kurang lebih tiga bulan ini, aku mengenalnya sepertinya cukup waktu ku. Untuk menyatakan segala perasaan ku.

“Besok ku coba beranikan diri ini,” tekadku dalam hati.

“Hey, Almira. Besok ketemu di kafe depan kampus ya,” kata ku padanya saat bertemu di depan gedung Fakultas.

“Wassalamualaikum, oo besok. Baiklah di kafe jam 5 sore ya,” jawab Almira. Dia memang selalu menjawab sapa ku dengan salam. Meski aku selalu lupa mengucap salam.

Esok hari nya

Almira sudah di kafe sejak bada ashar. Dia memang bukan sengaja menunggu aku sepertinya. Sebab, saat ku datang, Almira tengah sibuk di depan notebook nya.

Entah, apa yang sedang disusunnya. Sekilas seperti rowndown acara. Saat ku coba mengintip sedikit apa yang sedang serius dikerjakannya.

Kucoba bertanya untuk melepas keheningan suasana. “Kamu sedang sibuk menyusun apa?,” tanya ku pada Almira yang memang sudah sejak tadi tahu kehadiranku duduk di hadapannya.

“oo ini rowndown acara,” jawab Almira singkat.

Tak ingin tahu lebih dalam lagi, tentang apa yang sedang disibukkannya, kini ku beranikan diri untuk menyatakan sesuatu.

“Almira, aku… aku.. aku… ..

“Oke selesai, Alhamdulillah selesai juga ini rundown, tinggal besok ahad breafing terakhir bersama tim panitia,” kata Almira tapi bukan sedang memberitahuku, sepertinya ia hanya merasa senang kerena apa yang dikerjakan selesai.

Tapi,… pernyataannya itu.. membuat ku kembali urung niat untuk menyatakan diri.

“Oh, ya.. jangan lupa datang ya, nanti saat liburan. Ini undangan untuk mu,” kata Almira sambil menyodorkan sepucuk undangan berwarna biru dan bertuliskan Almira Putri Nabuko & Khawarizmi Al Ghifari.

Sesaat dunia menghitam bagiku, detik jam terasa berhenti, jantungku pun layak nya terhenti dari laju denyutnya. Membiru, darah terasa tak mengalir di tubuhku.

Namun, ku coba menetralkan jiwa raga ku.

“Sudah ya, sudah hampir magrib aku duluan pulang ya,” kata Almira pada ku.

Sedikit pun ia tak hiraukan perubahan jiwa ku. Gejolak jiwa ku yang terhenti oleh undangan pernikahan berwarna biru ini.

Setelah semua keakbraban ini terjalin begitu indah, dan aku merasa dia adalah jodoh ku yang sudah ku temukan. Di saat kedekatan ini ku artikan lain, ternyata selama ini aku hanya menjaga jodoh orang lain. Ku jaga dia yang begitu ku kagumi, ku jaga dia yang begitu ku harap, ku jaga dia sebab ku hormati, ku jaga dia sebab ku ingin dia akan halal untuk ku nanti. Ternyata rasa ini tak mungkin terbalas.

Penulis : Puteri Pelangi

 

Sobat Milenia yang punya cerita pendek, boleh kirimkan naskahnya ke email redaksi@milenianews.com, untuk dibagikan ke Sobat Milenia lainnya.

Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *