Milenianews.com, Bogor– Rektor Universitas Ummi Bogor yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS menjadi narasumber audiensi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di kantor BRIN, Jakarta, Jumat (19/12/2025). Ia membawakan makalah berjudul “Pemetaan Kebutuhan Riset dan Inovasi untuk Pembangunan Agro-maritim Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”. Acara tersebut dihadiri langsung Kepala BRIN, Prof. Arif Satria.
Ia mengawali makalahnya dengan penegasan bahwa riset dan inovasi merupakan penentu kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa. “Fakta empiris dan sejarah telah membuktikan bahwa sejak Kejayaan Romawi, the Golden Age of Moslem (Abad -6 s/d Abad 17), dan Hegemoni Kapitalisme (Abad-19 s/d sekarang Abad-21); bangsa-bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat adalah mereka yang mencintai ilmu, menguasai (menemukan) dan menerapkan inovasi IPTEKS dalam kehidupan berbangsa dan bernegara nya (Science-Based Planning and Decision Making Processes),” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Wallace-Murphy (2007).
Anggota DPR RI priode 2024-2029 itu juga mengemukakan bahwa kapasitas inovasi bangsa ditentukan oleh: sektor Riset, Kesehatan, Pendidikan, dan ekosistem riset dan inovasi yang kondusif.
Mengutip data Scimago Journal & Country Rank 1996-2024, Prof. Rokhmin mengungkapkan bahwa negara-negara dengan anggaran dan produktivitas riset tinggi, turut menguasai kemajuan teknologi global. “Amerika Serikat menduduki peringkat ke-1 dengan skor mencapai 97.69 poin. Indonesia berada pada peringkat ke-93 dengan skor 74.5 poin. Skor tersebut kalah oleh Filipina yang berada pada peringkat ke-27 dengan skor 91.57 poin,” paparnya.
Negara-negara dengan anggaran riset tinggi, memiliki indeks inovasi yang juga tinggi. Contohnya Swedia dengan belanja riset 3.4% pada tahun 2022 berada pada peringkat kedua untuk indeks inovasi global dengan skor 64.5 poin pada tahun 2024. “Data ini menunjukkan bahwa tingginya anggaran riset turut mendorong produktivitas inovasi nasional,” ujarnya.
Sejak tahun 1901, belum ada peneliti atau ilmuwan Indonesia yang menjadi “Nobel Laureate”. Padahal, Indonesia memiliki jumlah peneliti yang cukup besar dan institusi perguruan tinggi yang banyak. “Kondisi ini harus menjadi bahan refleksi bersama,” kata Prof. Rokhmin yang juga Ketua Umum MAI (Masyarakat Akuakultur Indonesia).
Sementara itu, mengutip data Research and Development Ranking in Agrifood, Korea Selatan dan Jepang sebagai pemimpin global (skor 100) dalam inovasi agri-food, sementara Indonesia masih berada di level Low Performance dengan skor 21,5. “Kesenjangan skor yang lebar ini menegaskan adanya disparitas riset yang signifikan antar negara, sehingga diperlukan akselerasi investasi R&D untuk memperkuat daya saing dan ketahanan pangan nasional di masa depan,” ujarnya.
Ia lalu menyebutkan penyebab rendahnya kinerja riset dan inovasi bangsa Indonesia, yakni:
- Kebanyakan aktivitas R & D (Litbang) hanya untuk menghasilkan tulisan ilmiah (research just for research) dan prototipe teknologi (invensi). Sedikit sekali (3 – 4%) yang menghasilkan produk inovasi komersial yang dibutuhkan manusia dan pembangunan →Hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau pembangunan bangsa.
- Rendahnya kreativitas, daya inovasi, dan entrepreneurship kebanyakan peneliti.
- Mayoritas pengusaha (industri) mengharapkan ‘quick-wins’ (hasil instan). Sedangkan, sebagian besar hasil penelitian berupa prototipe (invention) baru bisa di scalling-up (hilirisasi atau diindustrikan) menjadi inovasi teknologi komersial pada umumnya memerlukan waktu yang lebih lama.
- Tingkat keberhasilan Indonesia mentransformasi (mengindustrikan) hasil penelitian dari tahap prototipe = invensi (technological readiness) yang sudah mendapatkan hak paten menjadi produk teknologi komersial (inovasi) hanya 3,5%. (KemenRistekDikti, 2019).
- Minimnya dana, prasarana, dan sarana R & D.
- Kurangnya insentif dan penghargaan dari pemerintah kepada industriawan yang mau (willing) mengindustrikan dan mengkomersialkan invensi para peneliti menjadi inovasi yang dibutuhkan konsumen (pasar) domestik maupun global (ekspor).
- Peran pemerintah sebagai ‘penjodoh’ (match maker) antara peneliti yang telah menghasilkan prototipe (invensi) dengan industriawan (pengusaha) untuk mentransformasi invensi menjadi inovasi masih jauh dari optimal.
- Rendahnya penghargaan ekonomi maupun sosial dari pemerintah dan masyarakat kepada peneliti.
- Minimnya kerjasama PENTA-HELIX:Academician/Peneliti/Perekayasa –Business – Government – Civil Society – Media Masa.
- Political commitment Pemerintah, DPR, dan elit pemimpin bangsa terhadap R & D dan inovasi sangat rendah.
- Kegagalan sistem pendidikan → mayoritas lulusan hanya bisa menghafal, tetapi lemah dalam hal analytical capability and problem solving, kreativitas, inovasi, teamwork, dan etos kerja unggul/akhlak mulia.
- Rendahnya status gizi dan kesehatan masyarakat.
Prof. Rokhmin juga mengutip Studi oleh American University of Beirut (2025) melalui Research Integrity Risk Index (RI²) menilai 20 kampus di Indonesia dalam hal integritas riset. Dari hasil penilaian, hanya IPB University yang masuk kategori “sesuai variasi global” (zona hijau) untuk bidang STEM, sementara mayoritas kampus lainnya berada di zona merah, oranye, dan kuning. “Fenomena ini menunjukkan lemahnya integritas dan kualitas ekosistem riset nasional, serta berdampak pada rendahnya kepercayaan global terhadap publikasi ilmiah dari Indonesia,” kata Prof. Rokhmin yang juga Ketua Dewan Pakar ASPEKSINDO (Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan se-Indonesia).
Baca Juga : Prof. Rokhmin Dahuri: Ada Tiga Jurus Utama Dalam Merespons Bencana
Ia menegaskan, dari perspektif ekonomi, ada dua persyaratan bagi suatu negara bisa menjadi maju, Sejahtera dan berdaulat, yakni:
- Memiliki produktivitas dan daya saing yang tinggi → Kuncinya: Kapasitas Riset dan Inovasi.
- Mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata > 7% per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).

Di bagian akhir makalahnya, Perof. Rokhmin Dahuri, yang juga Menteri Kelautan dan Perikanan 2001-2004, menyampaikan usulan perbaikan tata Kelola BRIN:
- Setiap aktivitas RISET harus ditujukan untuk: (1) memecahkan permasalahan bangsa dan dunia saat ini maupun di masa depan; (2) pendayagunaan potensi pembangunan (SDA, SDM, dan posisi geoekonomi) bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa; dan (3) sesuai dengan kebutuhan pasar dan dinamika pembangunan (market and development-oriented research). Output RISET semacam ini pasti layak publikasi di Jurnal Ilmiah nasional maupun internasional.
- Para peneliti BRIN harus meningkatkan kapasitasnya agar mampu menghasilkan hasil riset yang inovatif dan sesuai kebutuhan konsumen (pasar) di dalam maupun luar negeri: invensi yang mencapai technological readiness.
- Para peneliti BRIN harus melibatkan (bekerjasama dengan) pihak industri (users) dan pemerintah sejak tahap perencanaan, implementasi, industrialisasi (scaling up) sampai pemasaran hasil R & D.
- Pemerintah harus menyediakan infrastruktur, sarana, dan anggaran (> 3% PDB) penelitian yang mencukupi; serta memberikan kesejahteraan dan penghargaan kepada para peneliti seperti halnya (benchmarking) di negara-negara maju atau emerging economies lainnya yang lebih maju dan makmur.
- Pemerintah dan masyarakat menjamin kesejahteraan serta lebih menghargai peneliti, ilmuwan, dosen, dan guru sebagaimana di emerging economies yang lebih maju atau di negara industri maju dan kaya.
- Pihak industri (swasta nasional dan BUMN) harus meningkatkan jiwa nasionalisme nya, sehingga dalam menggunakan teknologi tidak semata berdasarkan pada pertimbangan financial cost and benefit → mau mengembangkan teknologi nasional dari hasil riset tahap prototipe (INVENSI) bangsa sendiri.
- MNC (Multi National Corporation) diwajibkan melakukan transfer teknologi dan mengindustrikan (komersialkan) INVENSI peneliti nasional dengan melibatkan (mempekerjakan) peneliti, dosen, dan mahasiswa di perusahaan (industri) nya, seperti di Singapura, Korea, dan China.
- Pemerintah memberikan insentif (seperti tax deduction dan bebas biaya impor untuk state of the art technology) dan penghargaan bagi swasta (industri) yang mau mengindustrikan INVENSI peneliti nasional.
- Peningkatan kerjasama yang lebih produktif dan sinergis antar para peneliti dan lembaga R & D di Perguruan Tinggi, LIPI, BPPT, Kementerian, dan swasta.
- Transfer (curi) teknologi dari negara-negara maju atau MNC (Multi National Corporations), seperti melalui reverse engineering.
- Perbaikan sistem dan cara kerja sektor pendidikan & kesehatan supaya mampu menghasilkan: (1) lulusan yang mumpuni dalam bidangnya, kreatif, inovatif, berjiwa entrepreneur, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, dan memiliki etos kerja/akhlak mulia; (2) memproduksi hasil R & D yang bermanfaat, dan (3) memberikan pengabdian kepada masyarakat → Research-Based University dan World-Class University.
- Rekayasa sosial agar kehidupan bangsa menghargai dan mencintai IPTEKS dan profesi peneliti, dan working environment di lembaga LITBANG yang membahagiakan.
- Fungsi utama BRIN: (1) menyusun Roadmap Riset dan Inovasi Nasional sebagai panduan untuk lembaga LITBANG K/L, Perguruan Tinggi, BUMN, dan Swasta; (2) match-making antara peneliti dengan industri untuk peningkatan transformasi INVENSI menjadi INOVASI; (3) publikasi ilmiah di Jurnal Q1 Internasional dan Nasional; (4) advokasi dan promosi; dan (5) koordinasi dan pendampingan.
- Struktur Kelembagaan BRIN: (1) seperti sekarang penggabungan LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, dan Badan Litbang milik K/L → Konsekuensi Kebajikan: (a) Tingkatkan koordinasi dan sinergi dengan K/L tentang riset & Inovasi; dan (b) penambahan anggaran APBN signifikan, atau (2) secara fisik BRIN = LIPI + BPPT + BATAN + LAPAN; dan Badan Litbang K/L dikembalikan ke K/L → BRIN sebagai Koordinator Nasional semua aktivitas Riset dan Inovasi, sejak tahap planning sampai MONEV.
- Perbaikan Struktur Organisasi dan Tata Kelola BRIN: (A) Kedeputian berbasis kelompok (kluster) IPTEK dan kebutuhan strategis nasional, seperti: (1) Pertanian dan Pangan; (2) Kemaritiman dan Pangan Biru; (3) Kehutanan dan Manajemen DAS; (4) Energi dan Sumber Daya Mineral; (5) Kesehatan dan Farmasi; (6) Transportasi dan Alat Transportasi; (7) Perumahan, Bangunan, Infrastruktur, dan Kewilayahan; (8) Industri Manufaktur (Elektronik, Otomotif, Tekstil dan Produk Tekstil, Semen, dan lainnya); (9) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Global, Tsunami, Bencana Hdirometri, Gempa Bumi, dan Bencana Alam lainnya; dan (10) Teknologi Industri 4.0 (Big Data, Quantum Computing, IoT, AI, Blockchain, Robotics, Drone, dan lainnya), Semikonduktor dan Chips, New Materials, dll). (B) Setiap Kedeputian menangani Riset dan Inovasi, dari hulu (Ilmu Dasar, proposal riset) → Riset (output: Invensi) → hilir, ilmu terapan (output: inovasi, informasi ilmiah untuk planning and decisionmaking process, dan publikasi ilmiah Q1 Nasional dan Internasional). (C) Kolaborasi dan Sinergi: within BRIN; BRIN dengan Perguruan Tinggi, K/L, BUMN (Danantara), Swasta, Koperasi, Masyarakat Sipil, LSM, dan dunia internasional. (D) Evaluasi status peneliti dan perekayasa.
- Para elit pemimpin bangsa (Presiden, Menteri, DPR, Gubernur, Bupati/Walikota, Ketum partai, dan CEO) lebih komitmen, mencintai, dan mendukung R & D dan IPTEKS → science-based planning and decision making processes.













