Milenianews.com, Bogor– Memasuki putaran ke-14, Subuh Bareng Ulama Umaro (SUBUUR) dipusatkan di Masjid Besar Riyadlush Shalihin (MBRS), Jalan Raya Parung, Kp. Pemagarsari RT 02/01, Parung, Bogor, Jawa Barat, Ahad, (12/1/2025).
Acara satu bulan sekali digagas Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa Parung, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Desa Parung, dan Pemerintah Desa Parung Kabupeten Bogor, mengahadirkan narasumber, Dr.H. Hasan Basri Tanjung, MA., yang juga dosen Universitas Ibnu Khaldun, Bogor.
Tampak hadir Kepala Desa Parung, H Nurwidia, SE; Ketua MUI Desa Parung, Ust. Yusuf Supandi; Ketua DMI Desa Parung, Ust. Muhammad Khaerudin; Ketua MBRS Drs. H. Jarkasih Adung, S.Ag; para kiyai dan tuan guru, Sekretaris Desa, staf, Kasi dan Kaur Desa Parung; Ketua BPD Desa Parung, Ust. Mulyadi Khadafi, S.Ag; para Ketua RW dan RT se-Desa Parung; para ketua DKM Se-Desa Parung; ketua Pengajian Se-Desa Parung; dan Jamaah Kaum Muslimin Muslimat.
Kepala Desa Parung, H. Nurwidia SE, merasa bersyukur atas program SUBUUR yang sudah memasuki tahun kedua. ”Alhamdulillah hari ini, kita bersama-sama melaksanakan shalat Subuh berjamaah sekaligus program Pemdes Parung bekerja sama dengan MUI dan DMI. Program Subuur ini sudah berjalan satu tahun dua bulan,” ujarnya seperti dalam rilis yang diterima Milenianews.com, Ahad, (11/1/2025).
Lebih lanjut, pria kelahiran Bogor 46 tahun silam itu mengatakan program ini bisa berjalan atas dukungan dari berbagai pihak.
”Program ini atas dukungan dari DKM, alim ulama, keliling ke-12 masjid yang ada di Desa Parung. Hadir untuk bersama-sama shalat berjamaah,” ujarnya.
Nurwidia mengajak kepada jamaah untuk Istiqomah memakmurkan masjid dengan shalat berjamaah setiap waktu terutama Subuh. ”Mari kita isi kegiatan yang sudah menjadi kewajiban sebagai Muslim, shalat berjamaah di masjid, minimal itu saja,” ujarnya.
”Kami mengucapkan terima kasih kepada warga masyarakat yang antusias melaksanakan kegiatan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Yang paling utama kita memakmurkan masjid keliling se-Desa Parung. Tujuannya adalah saling mengenal satu sama lain sekaligus studi banding cara pengelolaan masjid yang ada di Desa Parung. Saling sharing sambil silaturahim bersama-sama,” paparnya.
Empat Macam Kaca Mata
Dr.KH. Hasan Basri Tanjung, MA., dalam tausyiahnya di hadapan ratusan jamaah mengatakan ada empat macam kaca mata (cara pandang, red). Kaca mata apa yang digunakan untuk memengaruhi kehidupan seseorang. Bagaimana melihat persoalan tergantung kaca mata mana.
”Pertama, kaca mata raja. Artinya apa? Penguasa yang menggunakan cara pandang sesuai dengan kekuasaan. Siapa saja yang punya kekuasaan bisa menggunakan kaca mata raja. Penguasa mulai dari yang paling rendah yaitu kepala keluarga sampai yang paling tinggi yaitu presiden,” katanya.
”Raja terkecil kepala keluarga, selanjutnya RT, RW, Kades, Camat, Bupati, Gubernur sampai presiden. Bahayanya kalau tidak sesuai dengan dia (penguasa, red) dihukum, disiksa, diazab. Mudah-mudahan para pemimpin kita tidak menggunakan kaca mata raja. Mendengarkan apa yang di rakyatnya,” tegas ketua Yayasan Dinamika Umat, Telaga Kahuripan, Kemang, Bogor.
Kedua, kata pria kelahiran Desa Patihe, Kecamatan Sungai Kanan, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara, kaca mata kuda. ”Apa kaca mata kuda? Delman kaca matanya di samping. Sebenarnya mengapa diberi kaca mata kuda? Supaya fokus lihat ke depan. Ini perumpamannya. Orang yang menggunakan kaca mata kuda, dia hanya melihat satu arah. Tidak melihat arah yang lain. Ada bagusnya kalau dia fokus ke depan. Persoalannya dia fokus ke depan tapi kakinya menendang ke kiri, ke kanan,” ungkapnya.
”Inilah kaca mata yang digunakan oleh Wahabi dan Salafi. Mereka hanya belajar satu Mazhab, tapi Mazhab yang lain disalahkan. Untuk itu kepada para takmir, jaga masjid kita,” ajaknya.
Ketiga, lanjut ayah dua anak, kaca mata lalat. Lalat cari apa? Bangkai. Kaca mata lalat selalu mencari yang buruk-buruk saja. Jika berada di tengah-tengah orang saleh dilihatnya yang jeleknya.
”Kalau ke taman bunga ada bunga mawar yang sangat indah tapi ada duri pada batangnya. Kalau pakai kaca mata lalat, yang kelihatan bukan bunganya tapi durinya. Itulah orang-orang kacamata lalat yang kelihatan buruknya saja,” ujar mubaligh yang juga produktif menulis.
”Semuanya salah kalau pakai kacamata lalat, kita yang menderita, kita yang susah. Jangan pakai kacamata lalat, nanti menderita kita. Ingat sebaik-baiknya orang pasti ada salah dan kurangnya. Nabi Muhammad SAW yang Maksum saja selalu dicari-cari kesahannya apalagi kita,” katanya.
Keempat, kata HB Tanjung, kaca mata lebah. Yang terlihat semuanya indah. Lebah, andaikan dia lewat di tengah tumpukan sampah yang bau bangkai tapi ada satu bunga yang tumbuh, maka yang dilihatnya adalah bunga. Ibaratnya, di tengah-tengah orang yang buruk sekalipun, kalau dia pakai kaca mata lebah yang dicari kelebihannya.
”Lebah hanya minum yang baik, tempatnya yang baik, dan yang keluar dari mulutnya yang bersih berupa madu. Maka jadilah lebah. Mukmin itu seperti lebah,” ujarnya.
”Semua kita punya masalah. Semakin tinggi kedudukannya semakin banyak dan berat masalahnya. Tapi persoalannya bukan pada masalahnya. Tapi bagaimana sikap kita, cara pandang kita menyelesaikan masalah. Kalaulah besar masalah kita ini biarlah karena masih ada yang Maha Besar yaitu Allah SWT,” tandasnya.