News  

Mengenal Komponen Wisata halal, Salah Satunya Terkait Aksesibilitas  

Dr. KH. Syamsul Yakin MA.

 Milenianews.com, Jakarta– Wisata halal atau halal tourism artinya wisata yang diizinkan, diperbolehkan, dan disahkan oleh syariah atau hukum Islam. Pada awalnya wisata halal hanya sebagai paket layanan tambahan atau extended services amenitas. Namun belakangan menjadi paket tersendiri.

“Mengingat wisata halal merupakan paket khusus yang banyak dicari turis, baik lokal maupun mancanegara,” kata Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. KH Syamsul Yakin MA dalam rilis yng diterima Milenianews.com, Senin (28/4/2025).

Ia menyebutkan, komponen wisata halal bukan hanya pada objeknya, seperti laut, gunung, hutan, situs tapi juga pada sarana pendukung atau amenitas. Misalnya, akomodasi. Pengelola wisata halal harus menyediakan hotel, motel, cottage, villa, dan apartemen yang terbebas dari perkara yang haram.

“Terutama memisahkan lokasi kamar antara laki-laki dan perempuan secara ketat. Terkecuali bagi suami-istri dengan bukti otentik yang sah,” ujarnya.

Komponen lainnya, kata dia,  adalah makanan dan minuman. Penyelenggara wisata halal harus menyiapkan fasilitas restoran, coffee shop, snack bar yang halal. Halal dalam konteks ini dipisah antara pengunjung laki-laki dan perempuan. Di samping tentunya makanan dan minuman yang halal bahan bakunya, cara mendapatkannya, pemerosesan,  pengeolahan, dan penyimpanannya.

“Dalam konteks ini pengelola wisata halal harus transpran soal makanan dan minuman yang disediakan,” tegasnya.

Ia menambahkan, komponen penting lainnya dalam wisata halal adalah terpisahnya bangunan toilet umum dengan jarak tertentu untuk laki-laki dan perempuan. Dalam wisata konvensional, sanitasi seperti kamar mandi dirancang satu lokasi. Kondisi ini terlihat merata baik kamar mandi bilas di pantai, toilet umum di hotel atau penginapan lainnya.

“Pentingnya juga agar tempat wudhu dipisah antara laki-laki dan Perempuan,” tuturnya.

Baca Juga : Memahami Fikih Rekreasi dan Pentingnya Wisata Halal

Ditemukan pada wisata konvensional masalah parkir yang mahal, karena diatur oleh perorangan atau tidak resmi. Termasuk pada saat turis membutuhkan transportasi dari satu wahana ke wahana lainnya, seringkali harus mengeluarkan biaya mahal.

“Tentu praktik seperti ini tidak halal karena tidak saling menyenangkan dan memuaskan. Singkatnya sisi akseisbilitas merupakan komponen yang harus ada pada wisata halal,” tegas DR. Syamsul Yakin yang juga pengasuh Ponpes Darul Akhyar Parungbingung, dan  Pesantren Madinatul Qur’an Sawangan – keduana berlokasi di Kota Depok.

Di hotel, baik di tepi pantai atau di gunung kerap terdapat kolam renang, lapangan olahraga,  dan sarana aktif lainnya untuk umum. Dalam wisata halal, sarana aktif seperti ini harus dipisah antara laki-laki dan perempuan. Sebab laki-laki tidak halal memandang aurat perempuan asing (lain). “Ini adalah salah satu komponen  yang menjadi prasyarat wisata halal,” ujar Syamsul Yakin.

Untuk menambahkan pengetahuan praktis, sebaiknya pengelola wisata halal, baik pemerintah maupun swasta, agar menerbitkan buku panduan fikih rekreasi yang menjadi pegangan bagi para turis selama berada di area wisata halal. Kendati buku panduan ini hanya bersifat suplemen dan bukan termasuk amenitas, tapi sangat dibutuhkan seperti halnya buku panduan wisata yang berisi peta, wahana, dan lain-lain.

Hari ini destinasi wisata halal mulai  banyak di Indonesia. Untuk menyebut contoh, di Aceh, Sumatera Barat, Lombok, Kepulauan Riau,  Jakarta, dan lainnya. “Untuk memajukan wisata halal ini, pemerintah harus menggandeng swasta. Termasuk menerbitkan payung hukum, semisal Peraturan Daerah (Perda)  tentang wisata halal. Sementara Majelis Umum Indonesia (MUI) diharapkan mengeluarkan fatwa tentang wisata halal,” tegas Dr. KH. Syamsul Yakin MA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *