News  

Memahami Fikih Rekreasi dan Pentingnya Wisata Halal

Dr. KH. Syamsul Yakin MA (kiri). (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Jakarta— Pernah dengar istilah “fikih rekreasi”? Apa sih yang dimaksud dengan “fikih rekreasi”?

Yuk kita tanyakan kepada dosen UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. KH. Syamsul Yakin MA.

“Secara bahasa ‘fikih’  (Arab: al-Fiqh) artinya jelas, tahu, dan paham. Jadi fikih itu menjelaskan yang samar, memberi informasi agar  diketahui dan dipahami. Sifat fikih itu praktis. Karena fikih merupakan panduan yang harus dilaksanakan. Kandungan fikih adalah hukum-hukum Islam. Ada lima kategori hukum Islam, yakni wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram,” kata Dr. Syamsul Yakin mengawali pembahasannya.

Berdasar lima kategori hukum yang dibebankan syariah ini, kata dia, pembahasan fikih rekreasi jadi simpel. “Pertama, apa saja yang wajib dilaksanakan selama rekreasi. Yang wajib ada dan dipegang teguh adalah keimanan kepada Allah dengan tetap mengesakan-Nya,” ujarnya.

Menurut Dr. Syamsul Yakin, rekreasi tidak menjadi dalil dilepaskannya keimanan, baik sementara apalagi permanen. Malah dalam Islam, rekreasi didedikasikan untuk mendekatkan diri dengan alam, manusia, dan Tuhan. “Diharapkan melalui ini terjadi proses kesembuhan mental (healing),” tuturnya.

Dr. Syamsul Yakin menambahkan, fikih rekreasi memberi pintu untuk mendapat diskon atau rukhshah. Utamanya adalah shalat lima waktu. “Ada ukuran jarak tempuh yang dibeberkan syariah soal ini. Lengkap dengan tata cara dan syarat-syaratnya. Namun mengingat sisi praktisnya, fikih rekreasi ini hanya memuat pendapat ulama yang paling valid saja,” paparnya.

Kedua, fikih rekreasi membicarakan apa saja amalan  sunah yang  tetap dapat  dilaksanakan selama rekreasi. Tentu amalan sunah dalam konteks ini mencakup semua perbuatan yang telah diperagakan oleh Nabi yang apabila dilaksanakan berbuah pahala. “Panduan fikih rekreasi ini memang disusun agar para pelancong tidak kehilangan pahala amalan sunah,” kata Dr. Syamsul Yakin yang juga pengasuh Ponpes Darul Akhyar Parungbingung, Depok, dan Ponpes Madinatul Qur’an Sawangan, Depok.

Misalnya, kata dia,  membaca doa keluar rumah. Andai berekreasi ke pantai, hendaknya membaca doa melihat laut dan langit. Andai berekreasi ke dataran tinggi, hendaknya membaca doa melihat gunung. Setumpuk amalan sunah bisa dibaca saat rekreasi.

Ketiga, fikih rekreasi mengupas apa saja yang mubah dilaksanakan. Amalan mubah ini tidak memiliki konsekuensi apa-apa apabila ditinggalkan. Namun beroleh pahala apabila dilaksanakan. “Asal saja rekreasi yang dijalani tidak menimbulkan dosa, baik pada mata, telinga, mulut, tangan, kaki, perut dan di bawah perut,” ujarnya.

Contohnya, saat rekreasi,  mubah hukumnya makan di tepi pantai atau di puncak gunung sepanjang tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bagi laki-laki mubah hukumnya mandi di laut dengan bertelanjang dada. Karena dada tidak termasuk aurat bagi laki-laki. Bagi perempuan, mubah hukumnya berjalan berdampingan di tepi pantai dengan suami untuk membuat suasana jadi romantis.

Keempat, fikih rekreasi mengupas apa saja yang makruh dilaksanakan. Makruh memang tidak sampai pada level haram. Tapi makruh yang secara leksikal berarti “dibenci”, yang membenci itu adalah Allah. “Karena itu selama rekreasi perbuatan makruh itu harus dihindari. Panduan fikih rekreasi tentu dijejali oleh contoh-contoh  perbuatan makruh,” tegasnya.

Baca Juga : Dr. Syamsul Yakin MA: Waspadai Post Holiday Syndrome

Misalnya, tertawa berlebihan, berpakaian terlalu mencolok mata, makan dan minum sambil berdiri di areal rekreasi, termasuk kencing berdiri, merokok,  tidak tidur hingga larut malam karena berpotensi kesiangan, dan mengganggu kenyamanan pelancong lain.

Kelima, fikih rekreasi mengupas secara tuntas apa saja yang haram apabila dilaksanakan selama berekreasi. Berbeda dengan mubah, konsekuensi melakukan perbuatan haram selama berekreasi adalah dosa. “Tentu tidak dibenarkan melakukan rekreasi yang hukumnya hanya mubah berakibat pada perbuatan haram yang akan berbuah dosa,” ujarnya.

Dr. Syamsul Yakin menambahkan, dalam panduan fikih rekreasi tentu akan dipaparkan sejumlah perbuatan haram yang pantang dilakukan. Misalnya, menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, berzina, minum arak dan sejenisnya, membunuh, riba, ghibah, namimah, dan lain sebagainya.

“Sekali lagi, inilah gambaran paling umum soal fikih rekreasi yang masih butuh sosialisasi. Untuk itu, tidak berlebihan apabila pihak pemerintah menyiapkan wisata halal untuk mendukung fikih rekreasi ini. Wisata halal juga dapat melibatkan pihak swasta untuk turut berinvestasi,” kata Dr. Syamsul Yakin MA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *