Milenianews.com, Mata Akademisi – Lingkungan dan manusia adalah ciptaan Tuhan yang saling bergantung dan berada dalam satu ekosistem. Keduanya memiliki perannya masing-masing yang membentuk keseimbangan dalam sistem ekologi. Lingkungan sangat penting bagi kelangsungan hidup bagi makhluk hidup, lingkungan sebagai tempat tinggal dan sumber kehidupan. Sedangkan manusia berperan sebagai khalifah di bumi, yang bertanggung jawab terhadap kelestarian ekosistem lingkungan. Keduanya memiliki peran yang saling berkaitan, yakni saling memberikan reaksi timbal balik satu sama lain.
Permasalahan terkait lingkungan hidup, menjadi isu global yang sangat mendesak untuk ditangani saat ini. Permasalahan tersebut meliputi degradasi lingkungan, perubahan iklim, kerusakan ekosistem, deforestasi dan pencemaran alam yang menjadi fondasi kehidupan di bumi. Tingkat deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia meningkat tajam dalam lima tahun terakhir. Terutama di tiga wilayah bencana longsor dan banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatra Barat. Berdasarkan berita yang diliput oleh CNBC Indonesia, pada rapat komisi IV DPR RI pada kamis 4 Desember 2025, menteri kehutanan Raja Juli Antoni menunjukkan data bahwa pada periode Januari hingga September 2025, tingkat deforestasi di Indonesia sebesar 166.450 hektar, meskipun menurun 23,01% dibanding tahun sebelumnya. Namun, prediksi menunjukkan potensi lonjakan hingga 600 ribu hektar akibat Pembangunan. Begitu juga dengan suhu di permukaan bumi, meningkat sebesar 0,86 derajat celcius pada tahun 2021, dengan kenaikan permukaan laut rata-rata 3,3 mm per-tahunnya, serta adanya pencairan es kutub dan gletser pegunungan yang mengancam keseimbangan iklim dan ekosistem.
Baca juga: Amanah dan Keadilan: Meninjau Ulang Sistem Politik di Indonesia Melalui Lensa Tafsir Al-Maraghi
Maka dari itu, agama islam memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan ekologis ini. Agama dapat memberikan landasan etis dan spiritual untuk membentuk etika lingkungan yang berkelanjutan. Seperti yang kita ketahui, agama islam adalah agama yang komprehensif dalam menanamkan prinsip dan ajaran yang berkaitan dengan lingkungan, yang dikenal sebagai ekoteologi islam. Ekoteologi adalah pendekatan teologis yang menempatkan lingkungan hidup sebagai bagian integral dari ajaran keimanan. Dalam konteks Islam, manusia dipandang sebagai khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi yang bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaga ciptaan-Nya.
Salah satu tokoh pemikir ekoteologis yang menekankan pentingnya etika lingkungan berbasis spiritualitas islam, serta menjadikan alam sebagai sarana mengenal sang Pencipta untuk menjaga keberkahan adalah Syekh Nawawi al-Bantani. Ia adalah salah seorang ulama besar Indonesia bertaraf Internasional, yang menjadi Imam Masjidil Haram di Saudi Arabia. Ia bergelar al-Bantani karena berasal dari banten, Indonesia. Syekh Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama intelektual yang ahli dalam bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir dan hadis. Ia juga seorang filsuf Pendidikan islam yang menekankan hubungan harmonis antara manusia, alam semesta dan nilai-nilai akhlak yang menjadi dasar konsep ekoteologi.
Manusia dan lingkungan adalah ciptaan Allah Swt yang memiliki hubungan erat, keduanya memiliki dampak satu sama lain. Dalam ekosistem manusia merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari unsur lainnya, baik makhluk hidup maupun benda mati. Oleh karena itu, keberlanjutan ekosistem sangat bergantung pada keberlangsungan hidup manusia. Manusia menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan atau kerusakan ekosistem. Allah Swt telah memberi peringatan kepada manusia atas perbuatannya di bumi, pada QS. Ar-Rum ayat: 41;
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan ayat di atas dalam kitab tafsirnya Marah Labid yakni, bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan laut disebabkan oleh dosa dan maksiat manusia. Tindakan-tindakan tersebut mencakup perbuatan merugikan seperti pembunuhan, pembakaran, kepunahan hewan, dan penurunan produksi mutiara. Kejadian di atas adalah sebagai respon alam terhadap tindakan manusia yang merusak lingkungan.
Syekh Nawawi al-Bantani, menjelaskan dalam Tafsir Marah Labid bahwa segala yang ada di bumi diciptakan “li mashlahatikum fid-dīn wa ad-dunya,” untuk kemaslahatan kalian (manusia) dalam hal agama dan dunia. Syekh Nawawi juga menyebut bumi sebagai sarana untuk al-istidlāl ‘ala muwjidikum, yakni media untuk mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Artinya, bumi bukan sekadar tanah untuk diinjak atau digali, tapi juga “tanda” untuk dibaca.
Relevansi pemikiran Syekh Nawawi al
Relevansi pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dengan problematika lingkungan modern:
1. Pemanasan global dan perubahan iklim
Dalam konteks ini, Syekh Nawawi al-Bantani menawarkan kerangka etis untuk menumbuhkan tanggung jawab manusia terhadap pelestarian bumi. Yakni menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan (mizan) yang telah Allah tetapkan di alam semesta. Prinsip ini mendukung upaya untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan aktivitas manusia yang merusak lingkungan, seperti emisi karbon serta deforestasi, yang menjadi penyebab utama pemanasan global. Pemikirannya tentang fasad fil-ardh (kerusakan di bumi) menekankan bahwa manusia memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk mencegah kerusakan dan memulihkan keseimbangan lingkungan sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt. Dengan demikian, gagasan Syekh Nawawi al-Bantani dapat menjadi landasan teologis dan etis dalam menghadapi tantangan perubahan iklim saat ini.
2. Krisis polusi (air, udara dan tanah)
Polusi, baik pada air, udara, maupun tanah, menjadi salah satu tantangan besar dalam masalah lingkungan hidup di era modern. Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa kebersihan tidak hanya berhubungan dengan aspek spiritual, tetapi juga mencakup interaksi manusia dengan lingkungannya. Polusi yang diakibatkan oleh limbah industri, pembakaran bahan bakar fosil, dan penggunaan bahan kimia secara berlebihan mencerminkan kurangnya tanggung jawab manusia terhadap alam yang telah dipercayakan oleh Allah sebagai amanah. Prinsip taharah yang digagas oleh Syaikh Nawawi al-Bantani mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan dan kesucian lingkungan demi kesejahteraan manusia saat ini dan generasi mendatang.
3. Deforestasi (kehilangan hutan secara permanen)
Deforestasi merupakan krisis lingkungan modern yang semakin mengancam keseimbangan ekosistem. Syaikh Nawawi al-Bantani menegaskan bahwa setiap makhluk ciptaan Allah memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam. Oleh sebab itu, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam seperti penebangan hutan secara tidak terkendali, yang tidak hanya melanggar prinsip keberlanjutan, tetapi juga merusak harmoni yang telah ditetapkan Allah Swt. Beliau mengingatkan bahwa manusia, sebagai khalifah di bumi, memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian ekosistem dan melindungi makhluk lain. Pemikiran ini sejalan dengan berbagai inisiatif modern, seperti penghijauan, konservasi hutan, dan perlindungan spesies yang terancam punah. Dengan menghidupkan pandangan Syekh Nawawi, manusia dapat menyadari bahwa menjaga keanekaragaman hayati merupakan bagian dari amanah Allah Swt, untuk melestarikan alam.
Oleh karena itu, perhatian manusia khususnya umat Islam dirasa memiliki tingkat kepentingan yang tinggi untuk kembali sadar dan mau memperbaiki kondisi lingkungan, sebagai bentuk ketaqwaan kepada Allah Swt dan hubungan yang baik dengan sesama makhluk yang ada di muka bumi.
Penulis: Syarvina Inayah Zain, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







