Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam sejarah pemikiran Islam klasik, Jabariyah muncul sebagai mazhab teologi yang menekankan kekuasaan mutlak Tuhan atas segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Paham ini menempatkan manusia dalam posisi pasif: seperti wayang yang digerakkan oleh dalang ilahi. Dalam konteks keimanan, Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan sejak awal oleh Qada dan Qadar Allah.
Namun, pertanyaannya: di era modern yang menjunjung tinggi rasionalitas, akuntabilitas, dan kebebasan individu, apakah konsep Jabariyah masih relevan? Ataukah justru menjadi tantangan bagi pemahaman tentang kehendak bebas manusia?
Fatalisme Jabariyah: Warisan Teologi Klasik
Menurut Asy-Syahrastani, Jabariyah adalah keyakinan yang meniadakan peran manusia dalam perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa dalam paham ini, semua tindakan manusia adalah produk dari kehendak Tuhan—tanpa ruang bagi ikhtiar manusia. Dalam kerangka ini, manusia dianggap tidak bertanggung jawab atas pilihannya karena ia tak memiliki kehendak bebas.
Paham ini seolah membekukan dinamika manusia dalam perubahan sosial. Ketika kemiskinan, ketidakadilan, atau keterbelakangan dianggap sebagai bagian dari takdir yang tidak bisa diubah, maka tidak ada insentif untuk memperbaiki keadaan.
Ketika Teologi Bertemu Ilmu Modern
Modernitas menghadirkan tantangan baru bagi determinisme Jabariyah. Ilmu pengetahuan seperti psikologi kognitif, neurosains, dan filsafat etika membuktikan bahwa manusia memiliki kapasitas membuat keputusan secara sadar dan rasional. Dalam bidang hukum, prinsip akuntabilitas individu tak dapat dinegosiasikan: seseorang dihukum karena dinilai memiliki pilihan.
Jean-Paul Sartre bahkan menyatakan bahwa manusia “terkutuk untuk bebas”—ia harus memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya. Maka jika Jabariyah menghilangkan kehendak bebas, bagaimana agama menjawab tuntutan tanggung jawab moral itu?
Baca juga: Generasi Muda dan Krisis Akar Teologi: Ke Mana Asy’ariyah Pergi?
Reinterpretasi Jabariyah: Takdir dan Pilihan dalam Satu Ruang
Sebagian pemikir kontemporer mencoba membuka jalan tengah: bahwa kehendak manusia tetap ada, namun berada dalam kerangka pengetahuan dan kehendak Tuhan yang luas. Dalam pengertian ini, Jabariyah tak harus dimaknai sebagai fatalisme mutlak, tetapi sebagai bentuk penyerahan setelah usaha maksimal—sebuah etika ikhtiar.
Konsep takdir dalam Islam sendiri terbagi menjadi dua: takdir mubram (yang tak bisa diubah) dan takdir muallaq (yang bisa dipengaruhi oleh usaha dan doa manusia). Di sinilah ruang kehendak bebas mendapat tempat. Manusia diberi akal, diberi waktu, diberi alat, dan karenanya diminta bertanggung jawab.
Jabariyah dalam Kehidupan Sosial Kontemporer
Di banyak masyarakat Muslim, pengaruh Jabariyah tercermin dalam sikap pasif terhadap persoalan struktural. Dalam ekonomi, misalnya, keyakinan bahwa rezeki adalah mutlak dari Tuhan kadang menumpulkan semangat inovasi dan pemberdayaan. Dalam pendidikan, siswa diposisikan sebagai penerima ilmu secara pasif, bukan sebagai pencari makna.
Namun, justru di titik ini, reinterpretasi teologi sangat dibutuhkan. Teologi bukanlah produk statis, tapi respons dinamis terhadap realitas. Ketika teologi gagal menjawab problem sosial kontemporer, maka ia tak hanya kehilangan makna, tetapi juga kehilangan peran transformatifnya.
Teologi yang Mendidik, Bukan Membelenggu
Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga etika dan aksi. Dalam banyak ayat, manusia diajak untuk berpikir, berusaha, dan bertanggung jawab. Dalam surat ‘Abasa ayat 18–19, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dan “menentukannya”—bukan dalam arti menjadikannya robot, tetapi membekalinya dengan potensi untuk memilih.
Di sinilah pentingnya menempatkan Jabariyah secara kritis. Ia bukan untuk dibuang, tetapi untuk dimaknai ulang dalam ruang teologi yang lebih terbuka, rasional, dan kontekstual.
Ruang Baru bagi Teologi Humanistik
Teologi Jabariyah yang dogmatis perlu dibuka dengan wacana baru yang mengakui kehendak manusia tanpa menafikan keagungan takdir Tuhan. Ini bukan pertarungan antara iman dan akal, melainkan jembatan yang menghubungkan keduanya. Seperti air yang mengalir mencari celah, teologi harus mampu bergerak mengikuti zaman tanpa kehilangan sumbernya.
Manusia modern bukan hanya makhluk percaya, tetapi juga makhluk berpikir. Maka agama pun, dalam wajah teologinya, harus mampu memberikan ruang dialog yang hidup antara takdir dan ikhtiar, antara keyakinan dan pertanggungjawaban.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.