Milenianews.com, Mata Akademisi – Saat ini, media sosial seperti TikTok dan Instagram dipenuhi oleh berbagai video tafsir Al-Qur’an. Fenomena ini di satu sisi menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap kajian keislaman. Namun di sisi lain, tidak sedikit konten tafsir yang beredar justru mengandung kesalahan pemahaman, potongan ayat di luar konteks, bahkan hoaks keagamaan.
Kondisi ini sering kali menimbulkan kebingungan, khususnya bagi mahasiswa jurusan Tafsir Al-Qur’an. Pertanyaan mendasar pun muncul: mana informasi yang dapat dipercaya dan mana yang harus ditolak? Jika tidak disikapi secara kritis, informasi yang keliru dapat merusak hafalan, pemahaman, dan bangunan tafsir yang sedang dipelajari.
Perintah Al-Qur’an untuk Memverifikasi Informasi
Al-Qur’an sejatinya telah memberikan landasan metodologis dalam menyikapi informasi. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 6, Allah Swt. memerintahkan orang-orang beriman untuk memeriksa kebenaran berita yang dibawa oleh orang fasik, agar tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan.
Ayat ini sangat relevan dengan realitas era informasi digital. Media sosial memungkinkan siapa saja berbicara atas nama agama, tanpa jaminan kapasitas keilmuan. Oleh karena itu, sikap tabayyun bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban epistemologis bagi pencari ilmu Al-Qur’an.
Epistemologi: Bertanya tentang Kebenaran Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu, epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan. Secara sederhana, epistemologi mengajarkan kita untuk bertanya: “Apakah informasi ini benar atau hanya hoaks?”—pertanyaan yang kerap muncul ketika seseorang sedang menggulir media sosial.
Secara klasik, terdapat dua sumber utama pengetahuan. Pertama, pengalaman inderawi (empirisme), yakni pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan. Kedua, akal atau rasio (rasionalisme), yaitu pengetahuan yang diproses melalui penalaran logis.
Media Sosial sebagai “Pasar Bebas” Ilmu Agama
Di era digital, media sosial telah berubah menjadi semacam “pasar bebas” ilmu agama yang minim pengawasan. Ketika aplikasi dibuka, muncul video tafsir Al-Qur’an yang viral, dengan jutaan like, ribuan komentar, dan dibagikan ke berbagai platform. Sayangnya, popularitas sering kali dijadikan ukuran kebenaran.
Akibatnya, kitab-kitab tafsir otoritatif seperti Tafsir Ibnu Katsir, Jalalain, atau karya M. Quraish Shihab kerap kalah pamor dibandingkan video satu menit dengan jutaan pengikut. Banyak orang akhirnya lebih percaya pada konten yang terasa “relatable” daripada yang autentik dan metodologis.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Konten Manis, Dalil Kosong
Fenomena ini sejatinya telah diisyaratkan dalam QS. Al-Munafiqun ayat 4, yang menggambarkan orang-orang munafik mampu berbicara manis, tetapi hatinya kosong. Analogi ini relevan dengan realitas influencer keagamaan di media sosial: kontennya menarik, namun miskin landasan keilmuan.
Perubahan ini menunjukkan bahwa cara manusia memperoleh ilmu Al-Qur’an telah bergeser—dari kitab dan guru menuju algoritma. Jika tidak disikapi dengan kritis, bukan media sosial yang menjadi sarana dakwah, melainkan justru manusia yang menjadi korban informasi keliru. Di sinilah pentingnya filter epistemologi.
Tiga Langkah Menyaring Tafsir di Media Sosial
Untuk membedakan pengetahuan yang sahih dan hoaks di media sosial, terdapat tiga langkah sederhana yang dapat langsung diterapkan. Langkah ini berlandaskan pada empirisme, rasionalisme, dan wahyu Al-Qur’an.
Pertama, verifikasi inderawi (empirisme). Periksa apakah ayat yang dikutip benar, lengkap, dan tidak dipotong dari konteksnya.
Kedua, penalaran rasional (rasionalisme). Tanyakan apakah penafsiran tersebut masuk akal secara metodologis dan tidak bertentangan dengan kaidah tafsir.
Ketiga, rujukan wahyu dan otoritas keilmuan. Cek sumber tafsirnya—apakah merujuk pada kitab muktabar atau hanya opini personal.
Dengan cara ini, mahasiswa tidak lagi menjadi konsumen pasif media sosial, melainkan penjaga kemurnian ilmu Al-Qur’an.
Empirisme, Rasionalisme, dan Metode Al-Qur’an
Dalam epistemologi Barat, empirisme dipelopori oleh John Locke, yang menyatakan bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman inderawi. Namun Locke juga menegaskan bahwa pengalaman harus diolah oleh akal agar menjadi ilmu, bukan sekadar kesan sementara.
Sebaliknya, Rene Descartes sebagai tokoh rasionalisme menempatkan akal sebagai sumber utama pengetahuan. Melalui metode ragu sistematis—meragukan segala sesuatu yang bisa diragukan—Descartes menemukan prinsip Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Prinsip ini menegaskan pentingnya berpikir kritis dalam menemukan kebenaran.
Dalam konteks Islam, Al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai wahyu, tetapi juga sebagai metodologi verifikasi pengetahuan yang menggabungkan pengamatan, akal, dan petunjuk Ilahi.
Menjaga Kemurnian Wahyu di Era Digital
Media sosial di era digital telah menjadi ladang ujian besar dalam membedakan pengetahuan yang sahih dan hoaks. Tantangan ini sekaligus menguji tanggung jawab umat Islam dalam menjaga kemurnian Al-Qur’an dari kontaminasi informasi yang kacau.
Media sosial sejatinya bukan musuh. Ia dapat menjadi sarana dakwah yang sangat potensial apabila difilter dengan epistemologi yang benar. Dengan berpegang pada akal sehat, pengalaman, dan wahyu, umat Islam—khususnya mahasiswa tafsir—dapat tetap kokoh menjaga otentisitas ilmu Al-Qur’an di tengah badai informasi digital.
Penulis: Nayla Ziyadah Farha, Mahasiswa Institut Ilmu Ilmu Al-Qur’an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













