Santri di Era Digital: Menjaga Jati Diri Pesantren di Tengah Arus Zaman

santri

Milenianews.com, Mata Akademisi – Santri adalah seseorang yang menuntut ilmu agama Islam dan tinggal di pondok pesantren. Pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang mengajarkan berbagai aspek keagamaan, seperti membaca Al-Qur’an, memahami hadis, mempelajari hukum Islam, serta membentuk akhlak yang mulia.

Dalam kehidupan sehari-hari di pesantren, santri menjalani aktivitas pembelajaran, ibadah, serta pembentukan disiplin dan karakter. Mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan agama, tetapi juga diajarkan bagaimana menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghormati guru (ta’dzim), disiplin terhadap waktu, hidup sederhana, dan menjalani kehidupan yang teratur.

Baca juga: Ontologi Adab dalam Budaya Pesantren: Fondasi Pembentukan Karakter dan Kesadaran Keilmuan Santri

Dengan demikian, pesantren mendidik santri agar menjadi generasi yang memahami ajaran Islam secara mendalam sekaligus memiliki kepribadian berakhlak mulia dan bermanfaat bagi umat. Seluruh proses pendidikan ini dijalani dengan penuh keikhlasan, semata-mata untuk meraih rida Allah Swt.

Tantangan Digital dan Stigma terhadap Santri

Namun, tantangan yang dihadapi santri masa kini tidaklah sedikit. Era digitalisasi membawa dampak yang bersifat ganda: di satu sisi mempermudah akses informasi, di sisi lain menghadirkan arus informasi yang tidak selalu terjaga kebenarannya.

Banjir informasi di media digital kerap memunculkan pemberitaan tentang kekerasan atau penyimpangan yang terjadi di sebagian kecil pesantren. Sayangnya, narasi semacam ini sering digeneralisasi, sehingga menimbulkan stigma negatif terhadap santri secara keseluruhan. Akibatnya, sebagian orang tua yang tidak memiliki latar belakang pesantren merasa cemas atau ragu untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan pesantren.

Selain itu, masih ada anggapan bahwa santri merupakan sosok yang kuno, terbelakang, dan tertinggal zaman. Persepsi ini menjadi tantangan tersendiri bagi santri dalam menjaga identitas dan karakter di tengah derasnya arus informasi digital.

Menjaga Keseimbangan antara Tradisi dan Modernitas

Menghadapi kondisi tersebut, santri dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan antara nilai-nilai tradisi pesantren dan tuntutan dunia modern. Setidaknya, ada tiga hal penting yang perlu diperkuat oleh santri di era kontemporer.

Pertama, spiritualitas dan akhlak, yakni memperkuat keimanan, ketakwaan, serta terus memperbaiki akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, intelektualitas dan keterampilan, yaitu meningkatkan kecerdasan serta menguasai keterampilan digital dan teknologi agar tidak tertinggal oleh perkembangan zaman. Ketiga, karakter sosial, yaitu menjadi pribadi yang melek informasi, memiliki literasi digital yang baik, tidak mudah terjebak budaya instan, serta tetap menjaga nilai kebersamaan dan solidaritas.

Ketiga aspek ini menjadi fondasi penting agar santri tetap relevan tanpa kehilangan jati dirinya.

Jika pada masa lalu perjuangan santri identik dengan perlawanan fisik terhadap penjajah, bahkan dengan kesiapan untuk gugur sebagai syuhada, maka di era digital perjuangan tersebut mengalami transformasi.

Saat ini, perjuangan santri tidak lagi di medan perang, melainkan di ruang digital. Santri dituntut mampu mengendalikan jari-jarinya di media sosial: melawan hoaks, menyebarkan konten yang bernilai positif, serta menjaga nama baik diri, pesantren, dan identitas kesantrian. Media sosial menjadi medan dakwah baru yang menuntut kebijaksanaan, etika, dan kecerdasan.

Santri sebagai Generasi Intelektual dan Sosial

Di tengah berbagai tantangan tersebut, masyarakat sebenarnya juga melihat santri sebagai generasi muda yang mencintai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Kehidupan santri masa kini mencerminkan dinamika masyarakat modern: kritis, adaptif, namun tetap berpegang teguh pada nilai agama dan cinta tanah air.

Potensi besar ini menjadikan peran santri tidak boleh diabaikan. Sebaliknya, santri justru perlu diberi ruang dan dukungan agar dapat berkontribusi lebih luas dalam kehidupan sosial, budaya, dan kebangsaan.

Santri di era kontemporer memiliki peran strategis sebagai penghubung antara nilai-nilai Islam tradisional dan perkembangan zaman. Dengan karakter kuat yang dibentuk di pesantren serta kemampuan adaptasi terhadap teknologi, santri tidak hanya mampu menjaga jati diri, tetapi juga berpotensi menjadi motor perubahan.

Mereka dapat menjadi penjaga nilai-nilai kebaikan di dunia digital, jembatan antar kelompok masyarakat, serta aktor penting dalam pembangunan bangsa dengan cara yang kontekstual dan relevan dengan zaman.

Spiritualitas Pesantren dan Etika Digital

Dengan demikian, narasi peradaban santri kontemporer merefleksikan perjalanan filosofis yang mendalam: dari pesantren sebagai sumber iman dan akhlak menuju platform digital sebagai ruang baru untuk berkarya dan berdakwah. Santri tidak sekadar beradaptasi dengan teknologi, melainkan menginternalisasikannya dengan nilai-nilai keislaman yang esensial.

Perpaduan antara spiritualitas pesantren dan kecakapan digital melahirkan peradaban baru yang inklusif—menjunjung tradisi sekaligus adaptif terhadap inovasi. Dalam konteks ini, santri berpotensi menjadi penyeimbang arus globalisasi agar tetap bersifat manusiawi dan berkeadilan.

Baca juga: Dari Huruf ke Hafalan: Perjalanan Santri Bersama Metode Yanbu’a

Selain menjaga nilai agama, santri juga memiliki tanggung jawab besar dalam memelihara budaya bangsa. Di tengah arus globalisasi yang serba cepat dan cenderung menyeragamkan cara hidup, santri berperan sebagai penjaga kearifan Islam Nusantara yang kaya akan kebijaksanaan lokal.

Pemanfaatan teknologi digital tidak berarti santri kehilangan identitasnya. Sebaliknya, teknologi dapat menjadi sarana untuk menyebarkan nilai perdamaian, toleransi, dan kesopanan di ruang publik digital. Dengan penguasaan teknologi, santri juga memiliki peluang besar untuk berinovasi dalam bidang pendidikan, usaha kreatif, serta dakwah yang lebih komunikatif dan mudah dijangkau oleh masyarakat luas.

Dengan demikian, santri bukan hanya pelanjut tradisi, tetapi juga agen perubahan yang mampu menghadapi tantangan zaman secara cerdas, kritis, dan tetap beretika.

Penulis: Devia Hilyatuzzahra, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *