Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam riak zaman yang menggelora oleh arus informasi, globalisasi pemikiran, dan modernitas yang tak terelakkan, ilmu kalam menemukan dirinya berdiri di persimpangan: antara iman yang diturunkan dari langit, dan nalar yang tumbuh dari bumi. Tradisi teologis ini bukan tanpa luka—dihadapkan pada pertanyaan yang terus bergulir: apakah ia masih mampu menyapa dunia yang semakin rasional, atau akan tergilas menjadi sekadar catatan sejarah skolastik?
Di tengah krisis keimanan yang menggerogoti generasi muda, ilmu kalam ditantang untuk kembali bicara. Bagaimana ia dapat menjawab persoalan ketuhanan di tengah derasnya sekularisme, relativisme moral, dan bahkan ateisme digital? Dapatkah ilmu kalam menjembatani celah antara wahyu dan sains, antara keyakinan dan bukti empiris, di zaman ketika manusia lebih percaya pada algoritma daripada malaikat?
Iman dalam Krisis: Ketika Generasi Muda Mencari Tuhan di Dunia yang Serba Rasional
Generasi muda Muslim hari ini hidup dalam atmosfer yang sarat dengan informasi lintas ideologi dan budaya. Di era keterbukaan, muncul kegamangan: keberadaan Tuhan dipertanyakan, otoritas wahyu diuji, dan fungsi agama dilihat dengan kacamata kritis. Agama seringkali dianggap dogmatis, sementara ilmu kalam seolah terjebak dalam debat metafisika yang tidak lagi menjawab kegelisahan kontemporer.
Padahal, dalam perspektif Émile Durkheim, agama berfungsi untuk menciptakan kesadaran kolektif dan menjalin solidaritas sosial. Namun ketika ilmu kalam gagal hadir dalam ruang sosial yang berubah cepat, kehadirannya pun terasa redup. Inilah panggilan untuk revitalisasi.
Wahyu dan Sains: Menyatukan Dua Kutub yang Dipertentangkan
Ilmu kalam di masa klasik memang berjaya, tetapi hari ini ia kerap dianggap tak relevan. Ketika teori Big Bang, evolusi, dan struktur kosmos dibicarakan secara luas, ilmu kalam tampak gagap—terperangkap dalam diskursus lampau tentang sifat Tuhan atau kalam-Nya.
Maka muncul pertanyaan mendasar: di mana posisi akal dalam beragama hari ini?
Menurut pemikir seperti Harun Nasution dan Muhammad Abduh, ilmu kalam sejatinya memiliki potensi besar sebagai penuntun rasionalitas iman. Kalam tidak harus bertentangan dengan sains, melainkan bisa berdialog dengannya. Ketika wahyu dan akal bersua, lahirlah spiritualitas yang tercerahkan.
Baca juga: Pamali dan Tabu: Membaca Kearifan Lokal Lewat Kacamata Psikoanalisis Freud
Kalam Jadid: Jalan Tengah antara Tradisi dan Inovasi
Revitalisasi ilmu kalam bukan berarti menanggalkan akar sejarahnya, tetapi membaca ulang maknanya dalam konteks baru. Kalam jadid—ilmu kalam kontemporer—muncul sebagai alternatif untuk menjawab tantangan pluralisme, sekularisme, dan realitas digital.
Pemikir seperti M. Amin Abdullah menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam ilmu kalam: menggabungkan teologi, filsafat, ilmu sosial, bahkan sains lingkungan. Tantangan seperti kecerdasan buatan, hak digital, dan krisis iklim adalah medan baru yang menanti respons teologis.
Dari Madrasah ke Media Sosial: Kalam di Era Digital
Hari ini, platform digital adalah mimbar baru. Jika ilmu kalam ingin menjangkau generasi muda, maka ia harus menanggalkan jubah kaku dan hadir dalam bentuk visual yang komunikatif. TikTok, YouTube, dan Instagram bukan hanya arena hiburan, tetapi juga medan dakwah teologis yang potensial.
Dengan gaya yang lebih naratif, sederhana, dan dialogis, ilmu kalam bisa menyapa ulang mereka yang ragu, menyentuh kembali mereka yang mencari Tuhan di antara hiruk pikuk dunia digital. Di sinilah spiritualitas yang rasional menemukan wajah barunya.
Menjadi Penuntun Zaman: Kalam sebagai Jalan Iman yang Rasional
Seperti halnya Rebo Wekasan yang menjadi ruang kolektif bagi masyarakat Jawa untuk memaknai kehidupan, ilmu kalam kontemporer dapat menjadi ruang spiritual baru bagi Muslim modern. Ia adalah jembatan antara keyakinan dan argumen, antara langit dan bumi, antara yang ghaib dan yang nyata.
Revitalisasi ini bukan proyek elit akademik semata, tetapi kebutuhan mendesak untuk membimbing umat melewati zaman yang gelisah dan penuh tanya. Saat keimanan bukan lagi warisan, tapi pencarian. Maka ilmu kalam hadir bukan sebagai jawaban dogmatis, melainkan sebagai sahabat dalam dialog panjang tentang Tuhan, hidup, dan manusia.
Seperti air yang terus mengalir, ilmu kalam tidak boleh membatu dalam bejana sejarah. Ia harus terus menyesap makna baru dari zaman ke zaman, menyatukan iman yang mendalam dan nalar yang mencerahkan.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.