Relevansi Filsafat Ilmu Dalam Krisis Kebenaran Era Digital

Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan teknologi digital membuat arus informasi meningkat sangat cepat, sehingga setiap orang menerima berbagai berita dan data dari banyak sumber dalam waktu singkat. Banyaknya informasi ini seharusnya membantu masyarakat memahami dunia dengan lebih mudah, tetapi kenyataannya justru menimbulkan kebingungan baru. Informasi yang beredar sering bercampur antara yang benar, yang salah, dan yang sengaja dibuat untuk menipu. Ketidakmampuan membedakan ketiga hal tersebut melahirkan krisis kebenaran, yakni kondisi ketika masyarakat tidak lagi yakin pada apa yang sebenarnya terjadi.

Pandangan kritis terhadap pengetahuan sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani kuno ketika para filsuf pra-Sokrates mulai menolak penjelasan yang hanya bersumber dari cerita turun-temurun. Mereka menuntut penjelasan yang dapat diterima akal sehingga setiap jawaban harus memiliki dasar yang jelas. Kebiasaan berpikir seperti inilah yang kemudian melahirkan ontologi dan epistemologi sebagai dua bidang utama dalam filsafat ilmu. Ontologi membahas hakikat keberadaan sesuatu, sedangkan epistemologi mengkaji bagaimana pengetahuan diperoleh dengan dasar yang benar.

Baca juga: ‘Amil Tanazu’ Perspektif Bashrah : Prinsip Logis dan Penolakan Syadz Kufah dalam Nahwu Klasik

Pemikiran Yunani tersebut terus berkembang dan menemukan bentuk baru ketika dipadukan dengan tradisi Islam klasik. Tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd berusaha menjaga hubungan antara akal dan wahyu agar ilmu pengetahuan tetap rasional sekaligus bermakna. Mereka menegaskan bahwa ilmu tidak cukup hanya benar secara logika, tetapi harus memberikan manfaat moral dan sosial. Cara pandang ini membuat filsafat Islam memiliki ciri khas tersendiri, yaitu menggabungkan kekuatan akal untuk menilai kebenaran dengan nilai-nilai agama yang menjaga tanggung jawab manusia.

Ketika era digital tiba, manusia kembali menghadapi situasi baru yang lebih rumit dari sebelumnya. Sumber informasi tidak lagi terbatas pada guru atau buku, tetapi sudah berpindah ke media sosial yang dapat diakses siapa saja. Akibatnya, fakta dan pendapat bercampur tanpa batas yang jelas. Salah satu contoh nyata yang menunjukkan betapa rapuhnya kebenaran di era digital adalah munculnya teknologi video palsu yang dikenal sebagai deepfake. Video tersebut sering terlihat begitu nyata sehingga banyak orang langsung mempercayainya. Padahal, video yang tampak meyakinkan sekalipun bisa jadi hasil rekayasa komputer dan tidak memiliki kaitan dengan kenyataan.

Fenomena seperti deepfake menegaskan bahwa filsafat ilmu kembali memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Epistemologi mengajarkan bahwa kebenaran harus diuji melalui proses yang jelas, seperti memeriksa sumber informasi, metode pembuatannya, dan alasan yang mendasarinya. Sementara itu, ontologi mengingatkan bahwa apa yang muncul di layar digital tidak selalu mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Dengan memahami kedua prinsip ini, seseorang dapat bersikap lebih hati-hati ketika melihat informasi, sehingga tidak mudah tertipu oleh tampilan visual yang menyesatkan.

Dalam dunia pendidikan Islam, cara berpikir seperti ini sebenarnya sudah lama diajarkan melalui pendekatan pembelajaran yang menyatukan agama, bahasa, logika, dan ilmu sosial. Tujuannya agar seseorang dapat memahami persoalan secara menyeluruh dan tidak terpaku pada satu sudut pandang saja. Pendekatan ini menjadi penting karena dunia modern sering membuat manusia hanya melihat informasi dari satu sisi tanpa memeriksa keseluruhan. Tradisi pendidikan Islam berusaha menjaga keseimbangan tersebut dengan mengajarkan bahwa akal dan nilai moral harus berjalan bersama agar ilmu pengetahuan tidak kehilangan arah.

Baca juga: Humanisasi di Era Modern: Integrasi Nilai Kemanusiaan Dalam Al-Qur’an dan Realitas Sosial

Di tengah semakin banyaknya informasi, kemampuan berpikir kritis menjadi kebutuhan utama. Foto yang terlihat asli bisa saja diedit, berita yang banyak dibagikan belum tentu benar, dan data yang tampak ilmiah bisa saja dipilih tanpa konteks yang lengkap. Tanpa kemampuan untuk menghubungkan berbagai informasi, masyarakat akan mudah terjebak dalam kesalahpahaman. Filsafat ilmu membantu dengan memberikan kebiasaan untuk selalu bertanya tentang sumber, bukti, dan logika yang digunakan dalam sebuah informasi. Sikap ini membuat seseorang tidak mudah terpengaruh oleh kabar yang tidak jelas.

Pada akhirnya, filsafat ilmu berfungsi sebagai alat untuk menjaga kejernihan berpikir di tengah derasnya informasi digital. Filsafat ilmu mengingatkan bahwa menilai kebenaran tidak cukup hanya mengandalkan apa yang terlihat, tetapi juga harus memahami alasan yang mendukungnya. Selain itu, filsafat ilmu mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya kumpulan teori, tetapi juga harus diiringi nilai moral agar tidak disalahgunakan. Ketika teknologi semakin canggih dan manipulasi semakin mudah dilakukan, manusia membutuhkan cara berpikir yang lebih matang agar tidak kehilangan arah. Karena itu, filsafat ilmu tetap relevan sebagai kompas yang membantu manusia menemukan kebenaran di tengah dunia digital yang penuh ilusi.

Penulis: R. Chalsa Billa, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *