Reformasi Polri yang Dipreteli di Meja Kekuasaan

reformasi

Mata Akademisi, Milenianews.com – Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan Keppres Nomor 122/P Tahun 2025 dan memasukkan nama Listyo Sigit Prabowo ke dalam Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian kian mempertebal rasa kecewa masyarakat Indonesia terhadap arah pembenahan institusi keamanan negara. Di tengah gelombang tuntutan publik agar Listyo Sigit dicopot dari jabatan Kapolri, ia justru diseret masuk ke ruang yang seharusnya menjadi tempat membersihkan luka-luka lama. Ironi ini begitu terang sehingga sulit dipahami oleh nalar paling sederhana sekalipun.

Dalam bahasa orang kampung, bagaimana mungkin orang yang ikut melahirkan masalah justru ditugaskan menyusun resep penyembuhan?

Baca juga: Ketika Hukum Menjadi Cermin Retak Bangsa

Kekecewaan itu bukan sekadar bisik-bisik warung kopi. Ia muncul dalam bentuk paling gamblang ketika sejumlah tokoh masyarakat memilih keluar dari forum audiensi Komisi Reformasi Polri. Kehadiran Roy Suryo dan beberapa tokoh lain ditolak dengan alasan status tersangka kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi.

Penjelasan Jimly Asshiddiqie bahwa komisi tidak pantas menerima pendapat seorang tersangka seketika memancing tanda tanya besar. Padahal, sebelumnya Jimly sendiri menyatakan bahwa kasus tersebut tidak layak dibawa ke pengadilan. Ketidakkonsistenan ini menampilkan retaknya kompas moral seorang ilmuwan publik di hadapan tekanan politik yang tak terlihat tetapi terasa pekat.

Penolakan itu juga memperlihatkan persoalan yang lebih besar, yakni komisi ini tampaknya gamang menentukan perannya. Jika mereka tidak mau mendengar kasus-kasus yang menjadi wajah paling nyata dari kekacauan penegakan hukum, lalu dari mana mereka memulai reformasi? Para pakar kepolisian dunia seperti David Bayley dan Andrew Goldsmith menegaskan bahwa reformasi hanya bisa berjalan bila masyarakat yang menjadi korban penyalahgunaan kewenangan diberi ruang untuk bersuara. Dalam konteks Indonesia, menutup pintu bagi mereka yang ingin menyampaikan keluhan justru mengulangi pola lama, di mana suara rakyat dianggap bising, sementara suara penguasa dianggap kebenaran tunggal.

Fenomena Listyo Syndrome dan Institutional Capture

Inilah yang disebut banyak kalangan sebagai Listyo Syndrome, yaitu sebuah fenomena ketika orang-orang yang diberi mandat untuk mengawasi polisi justru terpikat oleh aura kekuasaan birokrasi yang seharusnya mereka kritisi. Dalam kajian psikologi politik, ini disebut sebagai institutional capture, ketika pribadi-pribadi independen kehilangan jarak kritis dan mulai melihat masalah melalui mata mereka yang sedang dipersoalkan. Dalam kondisi demikian, reformasi hanya menjadi ritual administratif tanpa keberanian untuk mengusik inti persoalan.

Listyo Sigit adalah figur yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi simbol kegamangan institusi Polri. Banyak kasus besar yang merebak di era kepemimpinannya membuat publik ragu terhadap komitmen institusi dalam menjaga integritasnya. Namun yang lebih mengkhawatirkan bukanlah dirinya semata, melainkan cara kekuasaan mempertahankannya di posisi strategis bahkan setelah kritik mengalir deras. Ketika ia masuk ke komisi reformasi, publik merasa bahwa gagasan perubahan yang dipromosikan pemerintah hanya berhenti sebagai slogan.

Peristiwa audiensi itu sekaligus menunjukkan bagaimana etika diperlakukan secara selektif. Kehadiran seseorang yang berstatus tersangka dianggap tidak pantas, tetapi menghadirkan seorang Kapolri yang sedang berada di pusat kontroversi justru dianggap sepenuhnya sah. Etika bukan lagi kompas moral, melainkan perabot politik yang bisa dipindahkan sesuai kebutuhan. Publik melihat dengan jelas bagaimana nalar jernih dikalahkan oleh kepentingan yang dipoles sedemikian rupa.

Jika menengok pengalaman reformasi kepolisian di negara lain, seperti Georgia, Afrika Selatan, atau bahkan Timor Leste, pintunya selalu satu, yaitu keberanian mendengar kritik masyarakat. Tanpa itu, reformasi hanya menjadi dokumen indah tanpa roh. Indonesia seolah belum memulai langkah pertama itu.

Komisi ini, yang seharusnya menjadi jembatan antara polisi dan rakyat, justru mempertebal tembok di antara keduanya.

Baca juga: Desentralisasi yang Dijanjikan Pemerataan tapi Tak Kunjung Terwujud

Pada akhirnya, keputusan Presiden Prabowo memasukkan Listyo Sigit ke dalam komisi ini menjadi simbol arah politik negara dalam menata institusi keamanan. Di saat rakyat mendambakan polisi yang amanah dan dekat dengan masyarakat, negara justru mempertahankan figur yang tengah dipersoalkan kepercayaannya. Reformasi kehilangan daya dorong ketika dituntun oleh mereka yang menjadi bagian dari masalah.

Harapan rakyat Indonesia untuk memiliki polisi yang benar-benar melindungi dan menyayangi warganya kini tampaknya kembali digantung di awang-awang. Tetapi sejarah selalu menunjukkan bahwa suara rakyat tak pernah benar-benar padam. Ketika jalan formal dibatasi, suara itu akan mencari celah. Demokrasi hanya dapat bertahan jika akal sehat dihidupkan kembali, bukan dibungkam oleh kenyamanan kekuasaan. Dan reformasi Polri hanya akan berarti bila ia dimulai dari keberanian moral, yakni keberanian untuk mendengar suara rakyat, bukan menutupinya demi mempertahankan wajah lama yang telah kehilangan kepercayaan publik.

Penulis: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *