Rasionalisme Asy`ariyah: Tanggapan atas Tafsir dengan Pendekatan Hermeneutika

Mata Akademisi, Milenianews.com – Al-Qur’an merupakan petunjuk yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Kebenaran Al-Qur’an itu mutlak, karena berasal dari Tuhan Yang Maha Benar. Akan tetapi, ketika Al-Qur’an sudah dikonsumsi manusia sebagai objek dari Al-Qur’an itu sendiri, maka kebenarannya menjadi relatif. Relatifnya kebenaran ini dikarenakan telah bersentuhannya ia dengan pemikiran manusia, dan hal ini tentu sesuatu yang tidak dapat dielakkan.

Tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini perkembangan penafsiran Al-Qur’an masih dan akan terus terjadi. Ilmu yang berkaitan dengannya pun semakin digali. Bahkan, para sarjana non muslim telah banyak mengambil peran, yaitu para orientalis yang menafsirkan dengan metode hermeneutika. Hermeneutika sendiri bukan saja digaungkan oleh para orientalis, melainkan juga oleh ulama muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi dan lainnya.

Metode hermeneutika yang merupakan cara memahami teks ilmiah ini juga dipakai untuk penafsiran bibel. Hal ini banyak menuai kontraversi karena dikhawatirkan akan kemungkinan adanya simpang siur pemahaman makna yang sebenarnya. Penyesatan melalui tafsir ayat Al-Qur’an juga menjadi momok menakutkan bagi banyak kalangan. Menyikapi hal ini, mari kita melihat dari sudut pandang salah satu aliran yang masih lestari dan banyak dianut di Indonesia bahkan dunia, yaitu Asy’ariyah.

Baca juga: Faham Jabariyah dan Qodariyah: Dari Akar Sejarah Hingga Relevansi Masa Kini

Sebagaimana yang telah masyhur, bahwa Asy’ariyah merupakan teologi yang muncul di tengah maraknya isu Mihnah oleh Mu’tazilah. Pendiri Asy’ariyah sendiri yaitu Abu Hasan Asy’ari merupakan mantan ulama Mu’tazilah yang sangat mengedepankan rasio akal. Akan tetapi, uniknya Asy’ariyah ini hadir sebagai teologi tandingan Mu’tazilah. Asy’ariyah sedari awal telah menampakkan jati dirinya, ketika mengambil posisi tengah antara kubu yang mempertahankan tradisi yaitu ahli sunnah yang tekstualis dan kubu Mu’tazilah yang besar-besaran mengambil inovasi keilmuan kala itu dengan memberikan keleluasaan akal secara berlebihan. Posisi tengah inilah yang menguntungkan Asy’ariyah dalam berbagai hal, karena menjadi lebih fleksibel dan moderat.

Asy`ariyyah menggabungkan antara penggunaan dalil naql dengan dalil aql, dimana dalil naql yaitu dalil yang berupa wahyu dari Al-Qur’an merupakan sumber utama yang harus dipedomani, sedangkan dalil aql sebagai dalil penjelas dalil naql. Jadi, tingkat rasionalitas Asy’ariyyah dalam menanggapi berbagai isu agama adalah moderat sehingga mudah beradaptasi. Dengan demikian, setelah bertahun-tahun eksis, bagaimana kiranya Asy’ariyah menanggapi persoalan tafsir kontemporer yang menitikberatkan inovasi keilmuan barat, terutama tafsir dengan pendekatan hermeneutika?

Hermeneutika merupakan teori dan metodologi interpretasi teks-teks kuno, suci, sastra, maupun filosofis. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani hermeneunein (menafsirkan) dan terkait dengan dewa Hermes dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pembawa pesan antara dewa dengan manusia. Metode hermeneutika dalam memahami teks, tidak hanya menafsirkan secara harfiah, tetapi juga mempertimbangkan konteks, maksud pengarang dan persepsi pembaca.

Pendekatan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an banyak memicu kontra karena beberapa hal, diantaranya; Pertama, universalitas hermeunetika sebagai metode masih diragukan karena berasal dari tradisi Barat, sedangkan Al-Qur’an diyakini sebagai teks suci berupa wahyu, bukan produk budaya. Sehingga pemakaian pendekatan hermeneutika yang umum dianggap tidak dapat diterapkan secara mentah.

Kedua, hermeunetika muncul dari lingkungan ilmiah yang terlalu mengandalkan analisis historis kritis, sehingga mulai menjauh dari pemikiran metafisis yang tidak seharusnya dikesampingkan. Ketiga, hermeunetika berasal dari Yunani diadopsi para teolog Kristen sebagai tafsir Bibel. Hal ini dikhawatirkan akan membawa asumsi teologi kristen ke dalam Al-Qur’an.

Menanggapi hal ini,  Asy’ariyah menyeimbangkan antara tafsir klasik dan kontemporer. Tafsir klasik menjadikan pemahaman salaf sebagai sumber rujukan, berpatokan pada ilmu-ilmu ulumul Qur’an yang sudah sejak lama dipakai para mufassir klasik. Sedangkan hermeneutika lebih menekankan interdisipliner ilmu, dan relevansi dengan zaman modern. Sehingga, tentunya perbandingan kedua hal ini memiliki sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Asy’ariyah memiliki pandangan yang kompleks, tercermin dari penuturan Quraish Shihab yang mengatakan bahwa; “pendekatan penafsiran hermeneutika mesti dibaca secara hati-hati karena di dalamnya ada nilai positif yang bisa diambil sebagai tambahan wawasan dan nilai negatif yang mesti diperhatikan”. Dari penjabaran Quraish Shihab sebagai ulama penganut aqidah Asy’ariyah seputar hermeneutika, dapat diambil kesimpulan bahwa Asy’ariyah yang moderat tidak menolak pemakaian hermeneutika, hanya saja bersikap lebih hati-hati.

Sebuah prinsip yang juga dianut oleh Nahdlatul Ulama, sebagai penganut aqidah Asy’ariyah menyatakan:

المحافظة على القديم صالح والاخذ بالجديد اصلاح

Memelihara tradisi lama itu baik dan mengambil kebiasaan baru itu lebih baik”.

Dari pernyataan ini, Asy’ariyah menjaga tradisi klasik dalam penafsiran Al-Qur’an karena telah teruji keabsahan dan kesesuaian dengan prinsip Islam. Begitu juga tidak menolak hermeneutika sebagai inovasi karena dapat membantu untuk memahami ayat secara kontekstual dan kekinian. Sehingga, dapatlah disimpulkan bahwa sejak awal hingga kini, Asy’ariyah memang merupakan aliran dengan pemahaman yang kompleks, yaitu tidak menutup mata atas perkembangan yang terjadi serta selalu mampu beradaptasi.

Sebuah Hadis juga mengatakan tentang kalimat hikmah yaitu; “Kalimat hikmah adalah barang berharga kaum mukmin yang hilang. Di mana saja ia menemukannya, ia lebih berhak terhadapnya.” (HR At-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Quraish Shihab pernah mengutip hadist tersebut dan mengaitkannya dengan pembolehan memakai tafsir hermeneutika sebagai usaha belajar dan mencari kebenaran dan hikmah. Tentu hal ini masih dengan  memperhatikan batasan agar tidak terjerumus pada pemahaman yang salah.

Sikap rasional, moderat dan open minded Asy’ariyah terhadap perkembangan ilmu terlihat jelas disini. Berbeda dengan Mu’tazilah yang terlalu membebaskan akal, terkadang memaksakan wahyu agar bersesuaian dengan rasio akal dan mendukung pendapat alirannya.

Sedangkan ahli sunnah menutup keleluasaan akal dalam penafsiran seperti dalam menanggapi ayat antropomorfisme yang tidak boleh ditakwil sama sekali, jadi terkesan kaku dan tekstualis,. Dari kedua kubu ini, Asy’ariyah menawarkan penggabungan keduanya, masih mengikuti dalil teks, tapi memberi jalan akal untuk menakwilkan sebatas kebutuhan teks tanpa berlebihan atau terlalu jauh dari makna asli.

Sehingga, dengan menerima hermeneutika secara bersyarat, Asy’ariyyah menunjukkan keterbukaan, kematangan rasionalitas dan kemampuannya beradaptasi sesuai zaman.

Baca juga: Akal, Wahyu dan Keadilan Ilahi: Menelusuri Warisan Intelektual Mu’tazilah dalam Dialektika Teologi Islam

Pendekatan tafsir hermeneutika sudah banyak dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam, terutama jurusan tafsir Al-Qur’an. Maka bersesuaian dengan pemahaman Asy’ariyah atas pemakaian pendekatan tafsir hermeneutika ini, yaitu mempelajari Al-Qur’an dengan pendekatan hermenatika itu adalah sesuatu yang baik, dan dapat membuka pemikiran dan wawasan terkait pemahaman Al-Qur’an dari banyak sudut pandang.

Inovasi ini juga bukan berarti mengisyaratkan bolehnya meninggalkan tradisi tafsir klasik, justru harus menjadikannya sebagai pegangan. Dengan demikian, Asy’ariyah mampu membentuk pola pikir yang lebih luwes, fleksibel, dan relevan dengan konsep kekinian tanpa menafikan tradisi lama.

Penulis: Hana Natasya, Dosen serta Karvina Sukma, Raina Najwa, Raudhatul Jannah, Mahasiswa Institut Ilmu Al- Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *